Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI balik gundukan pasir konon terselip sejuta rahasia alam. Butiran-butiran pasir yang meluruh dari puncak gundukan kerucut kini mulai dipercaya membawa isyarat-isyarat khusus yang bisa menggambarkan banyak gejala, mulai dari bencana gempa bumi, letusan gunung berapi, pola penularan penyakit, sebaran kobaran api pada kawasan hutan yang terbakar, bahkan sampai pada fluktuasi harga saham. Teori gundukan pasir (sand pile) itu merupakan satu topik yang paling seru dibahas pada pertemuan ilmiah yang diselenggarakan oleh masyarakat fisikawan Amerika, di Baltimore, awal Mei lalu. Pembahasan atas teori itu berpijak, antara lain, pada hasil riset tim dari Universitas Duke yang dipimpin oleh Dr. Robert P. Behringer. Untuk melakukan riset soal gundukan pasir itu tim Dr. Behringer hanya bermodalkan sebuah perkakas pencurah pasir seharga Rp 170 ribu, plus satu unit perkakas foto ronsen seperti yang biasa dipakai di rumah-rumah sakit. Lewat penelitian sederhana itu, tim Universitas Duke ini mencoba mempelajari fenomena yang disebut pengaturan titik kritis sendiri, selforganized criticality. Dalam riset itu, pasir dicurahkan dari atas. Hasilnya merupakan gundukan pasir, bisa landai atau lancip, tergantung jumlah dan kecepatan curahan. Yang terang, gundukan itu suatu saat akan mencapai titik puncak tertinggi, dengan sudut tertentu. Inilah kondisi final yang oleh Behringer disebut titik keseimbangan. Bila pada keadaan demikian sejumlah pasir terus ditimpakan ke puncak kerucut, secara perlahan keseimbarigan itu akan terganggu. Kawasan puncak gundukan itu sebagian akan longsor dan meluruh ke bawah. Lewat foto-foto riset Behringer itu diperoleh gambaran bahwa kelongsoran itu diikuti oleh terbentuknya puncak kerucut baru. Begitulah keseimbangan baru tercipta. Peluruhan pasir pada seputar kerucut itu, menurut riset Behringer, ternyata ada "aturan mainnya". Butir-butir pasir itu menggelinding turun dari kawasan puncak kerucut sembari membentuk lapisan yang ketebalannya berbeda. Ada bagian lapisan yang lebih tebal, yang membentuk garis-garis lengkung mirip elips, yang disebut fronts. Ada beberapa ukuran fronts, sepintas formasinya mirip ornamen kulit ular sanca (lihat gambar). Sudut kerucut gundukan pasir itu juga mempengaruhi bagaimana perubahan bentuk fronts. Pada kerucut landai, fronts itu bergerak ke bawah sembari tampak makin tebal dan kentara, dan makin samar pada kerucut lancip. "Terus terang, kami tak punya teori untuk menjelaskan fenomena ini," ujar Behringer seperti dikutip koran New York Times. Riset tentang gundukan pasir itu ternyata juga dilakukan oleh pakar fisika dari Universitas Minnesota, Chicago, dan Laboratorium Nasional Brookhaven, AS, serta Universitas Lyons di Prancis. Sejauh ini memang belum terdengar lahirnya dalil-dalil fisika, apalagi ilmu sosial, dari gundukan pasir itu. Tapi para peneliti itu yakin betul bahwa gundukan pasir itu kelak bisa menjelaskan hukum-hukum keseimbangan, dan akibat-akibat yang bakal terjadi jika keseimbangan itu terguncangkan. Ambillah contoh tentang gempa bumi. Susunan lempengan-lempengan bumi, menurut Per Bak, teoretisi fisika dari Brookhaven yang hadir dalam pertemuan di Baltimore itu, tak ubahnya dengan formasi gundukan pasir. Tubuh bumi juga "diganggu" oleh lempengan-lempengan yang selalu bergerak dan saling mendesak, seperti halnya peluruhan yang terjadi ketika sejumlah pasir itu ditimpakan di puncak gundukan pasir. Tapi bagaimana mengamankan agar desak-desakan antarlempeng itu tak menimbulkan patahan yang menyebabkan gempa bumi? Sayang, para peneliti gundukan pasir itu belum menemukan jawaban. Mereka baru sanggup mengemukakan catatan bahwa luruhnya butiran-butiran pasir itu mirip betul dengan catatan terjadinya getaran-getaran pada perut bumi. Kemiripan ini terjadi dalam frekuensi kejadian maupun skala peluruhannya. Jadi, katakanlah, luruhan asir itu terjadi 10 kali, dengan perbandingan antara peluruhan berat dan ringan 9:1, maka perbandingan gempa ringan dan berat pun 9:1. Tentang hubungan fisik antara tumpukan pasir dan tubuh bumi, belum ada penjelasannya. Yang lebih edan, para fisikawan itu juga mencoba menghubungkan fenomena pada gundukan pasir itu dengan fluktuasi harga di bursa saham. Studi ini berangkat dari asumsi bahwa fluktuasi harga di pasar saham bisa terjadi lantaran perubahan harga saham dari satu perusahaan saja. Gejala ini mirip dengan fenomena pada gundukan pasir, yang bisa mengalami peluruhan cukup besar hanya akibat menggelindingnya sebutir pasir di salah satu tebingnya. Berbekal asumsi itu Benoit Mandelbrot, ahli matematika dari IBM, membuat sebuah model matematika untuk meramalkan harga-harga saham setelah terjadinya gejolak di bursa saham, semisal krisis Wall Street hampir dua tahun silam. Model itu bersandar pada prinsip-prinsip gundukan pasir, yang senantiasa akan mencapai keseimbangan baru setelah datangnya guncangan. Dalam menyusun model, Mandelbrot mengklasifikasikan bentuk, ukuran butiran, dan posisinya pada struktur gundukan pasir. Lantas, variabel-variabel itu disusun dalam sebuah persamaan matematik. Pada persamaan itu, setiap butir pasir dianalogikan dengan selembar saham. Jika harga saham itu bergerak, oleh Mandelbrot, ditamsilkan sebagai lepasnya sebutir pasir dari struktur gundukan. Bagaimana hasil akhir dari pergerakan itu, tentu, tergantung dari jumlah, posisi, dan ukuran pasir yang lepas dari induknya. Dengan cara yang kurang lebih sama, prinsip gundukan pasir itu dipakai pula untuk membuat model matematik untuk peramalan penyebaran penyakit menular serta menjalarnya kobaran api di kawasan hutan yang terbakar. Namun, sejauh ini, belum terdengar bagaimana hasil uji coba model gundukan pasir itu di lapangan yang sebenarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo