Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Di mana Pusat Sriwijaya?

Pendapat yang simpang siur mengenai pusat kerajaan Sriwijaya. Seameo dengan proyek SPAFA menyelenggarakan lokakarya. Biaya ada, proyek Sriwijaya tak perlu ditawarkan secara internasional.

31 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KERAJAAN Sriwijaya -- diduga berkuasa dari abad ke-VII s/d abad ke-XIII -- dianggap memegang kekuasaan maritim pertama untuk wilayah Asia Tenggara. Tapi di mana pusatnya? Sudah banyak sarjana menulis buku tentang Sriwijaya. Masih ada saja kontroversi, pendapat yang simpang siur. Oleh karena itu SEAMEO (Southeast Asian Ministers of Education Organization) yang berpusat di Bangkok kini mencoba meluruskan sejarah itu. Antara lain dua pekan lalu di Hotel Horizon, Jakarta, SEAMEO dengan proyek SPAFA untuk urusan purbakala menyelenggarakan lokakarya. "Lokakarya ini tidak memasalahkan persoalan klaim," kata Dr. R. Soekmono, Ketua dalam seminar tersebut. Lanjut profesor yang juga mengetuai tim restorasi Candi Borobudur ini: "Yang diinginkan ialah hasil yang maksimal, yaitu suatu point research untuk memungkinkan kesatuan pendapat tentang Sriwijaya." Di tahun 1920, H. Otley Beyer pernah berspekulasi bahwa Sriwijaya mempunyai kekuasaan politik tertinggi di Asia Tenggara termasuk Pilipina. Elizabeth Hassell, ahli terkenal lainnya di tahun 1950 menolak perkiraan Beyer. Tapi "Pilipina tidak pernah di bawah kekuasaan Sriwijaya," demikian Dr. Juan R. Francisco dari Manila dalam seminar itu, "karena aspek lain dari kehadiran Sriwijaya lebih bersifat kultural ketimbang politis." Sementara itu, beberapa ahli sejarah percaya bahwa letak kekuasaan Sriwijaya berada di Kedah, Perak atau Perlis di Malaysia. Karena di tempat-tempat tersebut, peninggalan candi dan beberapa patung perunggu serupa dengan yang terdapat di Sumatera atau Muangthai Selatan. George Coedes (penulis dari Le Royaume de Crivijaya, 1918) bahkan menyebut benda-benda itu sebagai barang seni Sriwijaya. "Sayangnya," kata Nik Hassan Shuhaimi Nik Abdul Rahman, guru besar purbakala dari Malaysia, "belum ada ilmiawan yang mendalami studinya tentang barang-barang seni yang konon ada persamaannya antara Sumatera dan jasirah Asia Tenggara. Dan hal ini selalu saja menimbulkan pendapat yang saling kontroversial." "Penelitian yang lebih mendalam dan terencana akan bisa menghapus pendapat yang saling bertentangan itu," ujar Prof. O.W. Wolters, yang hadir dalam lokakarya ini sebagai konsultan. Duduk dalam Departemen Sejarah di Univ. Cornell, Wolters telah menulis dua buku tentang Sriwijaya arly Indonesian Commerce a study of the origins of Srivijaya (New York, 1967) dan The Fall of Srivijaya in Malay History (Kuala Lumpur, 1970). "Soal pusat kekuasaan Sriwijaya, itu tidak penting lagi," ujar Wolters kepada Toeti Kakiailatu dari TEMPO. "Juga karena kerajaan tersebut cukup lama eksistensinya, tidaklah salah kalau ibukotanya juga berpindahpindah." "Tetapi pusat mula kekuasaan pasti di Sumatera, " kata Soekmono. Demikian juga beberapa pendapat para ilmiawan Indonesia lainnya seperti Prof. Dr. S. Sartono dari Departemen Geologi ITB, drs. Boechari dari Universitas Indonesia, dra. S. Sulaiman dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional atau drs. A. Lapian dari Leknas-LlPI. Semua itu telah meyakinkan (dalam kertas kerja mereka di pra-seminar Desember lalu), bahwa data-data eksistensi kekuasaan Sriwijaya di sekitar Palembang-Jambi menemukan physical evidents yang paling nyata. "Peta Asia Tenggara di zaman Sriwijaya sangat berbeda dengan peta yang kita hadapi sekarang," ujar Soekmono lagi. Dia telah merekonstruksikan peta selat Malaka berdasarkan geomorfologi, bahwa pantai timur pulau Sumatera bertambah lebar. Muara sungai Batanghari rata-rata bertambah 75 meter dan muara sungai Musi bertambah 125 meter setiap tahunnya, sehingga menjadi bentuk yang seperti sekarang. "Tetapi semua itu masih harus direkonstruksikan cerita sejarah tentang kebenarannya dugaan saya," kata Soekmono. Biaya Ada Memang sulit menduga-duga keadaan sekitar 1000 tahun yang lalu dengan iklim tropis yang sering membuat aus apa saja. "Itulah yang sulit dalam mencari definite evidents dari Sriwijaya ini," kilah drs. Buchari, "ditambah lagi dengan kwalitas batu dari candi-candi tidak sebagus yang ada di Jawa." Boechari, demikian juga pendapat ilmiawan Indonesia lainnya merasa perlu penyelidikan secara areal fotografi dilaksanakan secara tuntas. "Untuk melihat bekas-bekas rural atau urban zaman itu, seperti ketika kami foto dari udara daerah Trowulan beberapa waktu yang lalu," tambah Boechari. Boechari juga tidak menyangkal pendapat Wolters tentang kemungkinan ibu kota Sriwijaya berpindah-pindah menurut raja-raja yang memerintah waktu itu. M.C. Subhadradis Diskul dari Universitas Silpakorn, Bangkok, bahkan meyakinkan hal ini dalam kertas kerjanya. Tahun 1230, kejatuhan Sriwijaya mulai tampak, demikian tulisnya. Waktu itu, raja dari Tambralinga di Chaiya mengambil oper kekuasaan. Raja yang berasal dari Muangthai Selatan ini memerintah sekitar 20 tahun lamanya. "Tahun 1275, Sriwijaya ditundukkan oleh raja dari Jawa," tulis Diskul. Persamaan dengan itu, datang pula pengaruh Islam di Svarnadipha (Sumatera) dan Javadipha (Jawa), sementara Marcopolo dalam catatan perjalanannya di tahun 1291 hanya menulis bahwa pulau Sumatera waktu itu diperintah oleh 9 orang raja yang tidak besar kekuasaannya. Di balik semua dugaan tersebut, SPA FA kemudian memutuskan untuk mengadakan penelitian bersama antar negara setelah saling membetulkan atau mendebat teori si Polan atau si Anu. Penelitian akan berjalan 5 tahun lamanya. Dimulai dari pencatatan kembali bibliografi tentang Sriwijaya sampai ke penyelidikan tentang nama-nama tempat (Ancient Toponyms) atau penyelidikan lewat Antropologi Budaya dan Ethno Linguistics, semuanya ada 7 proyek. Dari pihak Indonesia, sebuah proyek yang berjangka waktu sama dengan SPA FA juga telah masuk dalam Pelita III. Penggalian di tiga tempat: Kota Cina, Barus dan Muara Takus, akan digalakkan lewat para ahli arkeologi, geologi ahli keramik dan paleobiologi. Tempat Pabrik "Biaya ada dan proyek Sriwijaya ini tidak perlu ditawarkan secara internasional seperti pemugaran candi Borobudur," kata Dr. R.P. Suyono, Pemimpin Proyek Penelitian dan Penggalian Purbakala. Selama ini, proyek kepurbakalaan tidak pernah kekurangan biaya, kecuali kekurangan tenaga. "Sebelumnya,' kata Boehcari, "kami selalu konsentrasi di Jawa dan Bali." Kesukaran lain yang rupanya akan kesandung ialah perobahan ekologi. Ada kemungkinan lokasi pabrik Pupuk Sriwijaya kini adalah daerah arkeologi. "Tapi apa boleh buat sekarang," kata Suyono . "Kemudian saya baca di koran bahwa daerah Kedukan Bukit akan dibuat proyek non-arkeologis oleh penguasa setempat," kata Boechari. Hal ini telah dilaporkan kepada Wakil Presiden Adam Malik yang dengan sukarela melongok ke lokakarya SPAFA. Malik berjanji akan menyetop penggusuran pemukiman penduduk yang ada di kaki Bukit Siguntang. Kata Suyono lagi: "Mudah-mudahan, proyek setempat yang baru tidak akan mengganggu keseimbangan rencana kerja kami."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus