Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Hormon Penikmat Rasa Asin

Neuron yang merespons hormon aldosteron menyebabkan ingin menikmati rasa asin.

6 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Neuron yang merespons hormon aldosteron menyebabkan ingin menikmati rasa asin.

  • Mereka menemukan kelompok sel saraf atau neuron tertentu yang mendorong nafsu makan untuk mengkonsumsi garam.

  • Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah sodium yang diperkenankan untuk dikonsumsi tiap hari tak boleh lebih dari 5 gram.

Sulit berhenti. Itulah yang terjadi saat mengemil keripik. Sebab, tak pernah cukup sekali, tangan selalu tergoda untuk mengambil yang kedua dan ketiga. Apa yang membuat mulut tak berhenti mengunyahnya?

Sekelompok peneliti di Beth Israel Deaconess Medical Center di Boston, Amerika Serikat, mengungkap sebabnya. Mereka menemukan kelompok sel saraf atau neuron tertentu yang mendorong nafsu makan untuk mengkonsumsi garam.

Rasa asin itulah yang membuat mulut tak berhenti mengunyah dan membuat tangan mengambil camilan lagi dan lagi. Hal yang berbeda dengan penganan ringan dengan rasa di luar itu, manis misalnya.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah sodium yang diperkenankan untuk dikonsumsi tiap hari tak boleh lebih dari 5 gram. Di Amerika, rata-rata orang mengkonsumsi hingga 8 gram per hari.

“Kebanyakan orang makan garam melebihi yang dianjurkan, 80-140 persen lebih banyak dari seharusnya,” kata Jon Resch, anggota tim peneliti. Nyatanya, rasa asin ini tak hanya ada di keripik, tapi juga di berbagai penganan lain.

Ada dampak buruknya. Mengkonsumsi garam di atas standar WHO menimbulkan masalah pada tekanan darah dan risiko penyakit kardiovaskular, seperti stroke dan serangan jantung koroner.

Sebaliknya, jika asupannya dalam takaran yang pas, justru sangat berguna. Sebab, manusia tak dapat bertahan hidup tanpa garam yang membantu menyeimbangkan kandungan air di tubuh, serta memainkan peran penting dalam mengatur tekanan darah dan fungsi sel.

Itu sebabnya, jika konsumsi garam dikurangi ke tingkat yang dianjurkan, WHO memperkirakan sekitar 2,5 juta kematian per tahun dapat dicegah. Negara anggota WHO pun sepakat untuk mengurangi asupan garam sebesar 30 persen pada 2025.

Tujuan tim peneliti ini sinkron dengan target itu. Mereka mencari tahu bagaimana caranya mengurangi konsumsi garam dengan mencari penyebab ketagihan rasa asin.

Resch dan rekan-rekannya di Divisi Endokrinologi, Diabetes, dan Metabolisme Harvard Medical School menjelaskan cara kerja otak yang dapat memicu perilaku pencarian dan konsumsi garam tersebut.

Bagian dari neuron dikenal sebagai NTSHSD2 yang ditemukan Resch satu dekade lalu bersama koleganya, Joel Geerling, yang kini menjadi ahli saraf terkemuka di Iowa University, menjadi kunci dalam penelitian ini.

Dalam serangkaian percobaan, para periset menunjukkan aktivitas neuron ini saat tikus kekurangan garam. Di samping itu, hormon aldosteron yang dilepaskan tubuh saat kekurangan garam juga meningkatkan respons sel otak.

Menurut Resch, neuron ini sangat dipengaruhi oleh hormon aldosteron. Sebab, saat diberikan pada neuron lainnya, tak ada reaksi yang ditimbulkan. “Ini adalah fitur unik dan sangat tak terduga dari neuron NTSHSD2 ini.”

Para periset juga mengungkapkan bahwa neuron tak bertanggung jawab untuk menggerakkan nafsu makan garam. Pada tikus yang tidak kekurangan mineral ketika diaktifkan secara artifisial, mereka terpicu oleh adanya hormon angiotensin II, yakni zat kimia yang juga dikeluarkan oleh tubuh selama kekurangan sodium.

Meski belum diidentifikasi, dari sinilah kemudian para peneliti menyimpulkan seperangkat neuron lain yang sensitif terhadap angiotensin II yang mungkin berperan dalam nafsu makan terhadap garam.

Temuan ini menunjukkan hubungan gabungan dua set neuron berbeda yang merespons aldosteron dan angiotensin II menyebabkan mengidam atau rasa ingin memakan sesuatu yang asin.

Resch mengatakan perselisihan sodium-appetite yang dia dan koleganya ungkap memberikan kerangka fisiologis untuk hipotesis yang diajukan pada awal 1980-an.

“Tapi yang menjadi pertanyaan utama adalah di mana angiotensin II bekerja di otak dan bagaimana sinyal bekerja bersamaan dengan neuron NTSHSD2 yang merespons aldosteron,” ujar Resch.

FIRMAN ATMAKUSUMA | DAILYMAIL | DAILYSCIENCE


Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus