Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Kenapa Makan Keripik Bikin Nagih? Ini Jawaban Ilmiahnya

Sulit berhenti, itulah yang terjadi saat mengemil keripik.

31 Oktober 2017 | 18.03 WIB

Tips Diet: Ini alasan kamu tak bisa berhenti memakan keripik
Perbesar
Tips Diet: Ini alasan kamu tak bisa berhenti memakan keripik

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sulit berhenti, itulah yang terjadi saat mengemil keripik. Sebab, tak pernah cukup sekali, tangan selalu tergoda untuk mengambil yang kedua dan ketiga, bahkan lebih dari itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apa sebenarnya yang membuat mulut tak berhenti mengunyahnya? Apakah karena kriuk-kriuk-nya? Sekelompok peneliti di Beth Israel Deaconess Medical Center di Boston, bulan lalu, mengungkap sebabnya. Dalam penelitian yang mereka lakukan terdapat kelompok neuron tertentu yang mendorong nafsu makan untuk mengkonsumsi sodium atau garam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Rasa asin itulah yang membuat mulut tak berhenti mengunyah dan membuat tangan mengambil lagi, dan lagi. Hal berbeda dengan penganan atau makanan ringan dengan rasa di luar itu, manis misalnya. Itu sebabnya, makanan ringan berupa keripik kentang dengan rasa asin atau gurih bertebaran di warung. Dan, ternyata ini tidak bagus.

Sebab, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah sodium yang diperkenankan untuk dikonsumsi tiap harinya tidak boleh lebih dari 5 gram. Di Amerika Serikat, rata-rata penduduk di sana mengkonsumsi hingga 8 gram per harinya.

"Kebanyakan orang makan garam melebihi garam yang dianjurkan, bahkan 80–140 persen lebih banyak dari seharusnya," kata Jon Resch, salah seorang anggota tim peneliti. Nyatanya, rasa asin ini tak hanya ada di keripik, tapi juga di berbagai penganan lain.

Ada dampak buruknya. Mengkonsumsi garam di atas standar WHO itu dapat menimbulkan masalah pada tekanan darah dan risiko penyakit kardiovaskuler, seperti stroke dan serangan jantung koroner.

Sebaliknya, jika asupannya berada dalam takaran yang pas, ini sangat berguna. Sebab, manusia tidak dapat bertahan hidup tanpa garam--yang membantu menyeimbangkan kandungan air di tubuh, serta memainkan peran penting dalam mengatur tekanan darah dan fungsi sel. Jadi, yang benar adalah yang pas takarannya.

Itu sebabnya, jika masyarakat mengurangi konsumsi garam ke tingkat yang dianjurkan, WHO memperkirakan sekitar 2,5 juta kematian per tahun dapat dicegah. Para negara anggota WHO pun telah sepakat untuk mengurangi asupan garam penduduk global sebesar 30 persen pada 2025.

Tujuan tim peneliti ini sinkron dengan target itu. Mereka mencari tahu bagaimana caranya mengurangi konsumsi garam dengan mencari penyebab ketagihan rasa asin itu.

Resch dan rekan-rekannya di Divisi Endokrinologi, Diabetes, dan Metabolisme Harvard Medical School menjelaskan cara kerja otak yang dapat memicu perilaku pencarian dan konsumsi garam tersebut.

Bagian dari neuron--yang dikenal sebagai NTSHSD2--yang ditemukan Resch satu dekade bersama koleganya, Joel Geerling, yang sekarang menjadi ahli saraf terkemuka di Iowa University, menjadi kunci dalam penelitian ini. Dalam serangkaian percobaan, para periset menunjukkan aktivitas neuron ini saat tikus kekurangan garam. Di samping itu, hormon aldosteron--yang dilepaskan tubuh saat kekurangan garam--juga meningkatkan respons sel otak.

Menurut Resch, neuron ini sangat dipengaruhi oleh hormon aldosteron. Sebab, saat diberikan pada neuron lainnya, tak ada reaksi yang ditimbulkan. "Ini adalah fitur unik dan sangat tak terduga dari neuron NTSHSD2 ini."

Para periset juga mengungkapkan bahwa neuron tidak bertanggung jawab untuk menggerakkan nafsu makan garam. Pada tikus--yang tidak kekurangan mineral--ketika diaktifkan secara artifisial, mereka terpicu oleh adanya hormon angiotensin II, yakni zat kimia yang juga dikeluarkan oleh tubuh selama kekurangan sodium.

Meski belum diidentifikasi, dari sinilah kemudian para peneliti menyimpulkan seperangkat neuron lain yang sensitif terhadap angiotensin II yang mungkin berperan dalam nafsu makan terhadap garam. Temuan menunjukkan hubungan gabungan dua set neuron berbeda yang merespons aldosteron dan angiotensin II menyebabkan ngidam atau rasa ingin memakan sesuatu.

Resch mengatakan perselisihan sodium-appetite yang dia dan kolega ungkap memberikan kerangka fisiologis untuk hipotesis yang diajukan pada awal 1980-an. "Beberapa pertanyaan tetap berkaitan dengan bagaimana nafsu makan sodium bekerja, tapi yang utama adalah di mana angiotensin II bekerja di otak dan bagaimana sinyal bekerja, bersamaan dengan neuron NTSHSD2 yang merespons aldosteron," ujar Resch.

Masih perlu penelitian lebih jauh, tentu saja. Namun, saat mereka masih terus bekerja, yang terbaik yang bisa kita lakukan adalah menjauh dari godaan kerenyahan keripik dan makanan lain yang gurih dan kaya garam.

Simak artikel menarik lainnya tentang keripik hanya di Tempo.co.

DAILY MAIL

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus