Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ILMU pengetahuan selalu punya dua sisi antagonis: harapan dan kecemasan. Perkembangan teknologi kloning manusia, yang mencuat beberapa tahun lalu, pun tak lepas dari kontroversi itu. Bahkan, polemik itu kini kian panas setelah House of Lords (majelis perwakilan rakyat tingkat tinggi) di Inggris menyetujui kloning embrio manusia, akhir Januari 2001.
Meski baru sampai tahap persetujuan atas kloning embrio, Inggris pun menyadari bahwa terobosan itu akan diterpa gelombang protes. Karenanya, persetujuan itu memuat pelbagai rambu, di antaranya embrio hasil kloning hanya untuk kepentingan medis. Selain itu, dalam proses pengkloningan tak boleh terjadi percampuran antara gen manusia dan hewan. Dan yang paling penting, embrio tak boleh dikembangkan hingga berusia sembilan bulan. Sebab, pada fase ini dikhawatirkan embrio bisa tumbuh laiknya janin manusia.
Teknik kloning embrio manusia ini serupa dengan metode pembuatan Dolly, domba kloning pertama. Satu inti sel (nukleus) yang diambil dari sel dewasa dipertemukan dengan sel telur yang sudah dibuang inti selnya. Hasil penggabungan ini lantas ditampung dalam blastocyst. Pada tahap ini, calon embrio mulai tumbuh. Tahap berikutnya berupa embryonic stem cells, dengan mengesktraksi embrio hasil kloning dan mengembangkannya di laboratorium.
Embrio yang sedang tumbuh dalam umur hitungan hari merupakan media terbaik bagi pertumbuhan sel induk (stem cells). Sel induk di embrio ini bisa berkembang menjadi jaringan tubuh yang mana saja, bergantung pada rekayasa yang dikehendaki.
Secara teori, sel induk bisa dikembangkan menjadi sel saraf, darah, otot, ataupun tulang. Jaringan baru yang terbentuk ini diyakini bisa menggantikan jaringan tubuh yang rusak. Dari sinilah harapan penyembuhan Alzheimer, kerusakan jantung, dan penyakit lainnya yang belum bisa diobati sampai sekarang menemukan titik terang.
Agar jaringan baru tak ditolak sistem kekebalan tubuh pasien, sangat ideal bila sel induk berasal dari materi genetis si pasien. Misalnya, untuk menyembuhkan penyakit jantung atau kerusakan kornea mata, yang diambil adalah sel dari bagian jantung atau kornea mata pasien.
Tentu saja tujuan mulia kloning embrio untuk kesehatan itu didukung banyak pihak. Dr. Austin Smith dari Genome Research Centre di Universitas Edinburgh, contohnya. Menurut Smith, bila kloning embrio dilarang sebagaimana larangan terhadap kloning manusia, itu sama saja dengan menyingkirkan harapan kesembuhan para pasien.
Meskipun demikian, yang menentang kloning embrio pun tak sedikit. Mereka mempersoalkan aspek moralnya. Apalagi mereka tak merasa yakin bahwa sel stem dewasa bisa menjawab persoalan medis. Buktinya, sampai saat ini jaringan tubuh yang dikembangkan dari sel stem tali pusar dan sel sumsum tulang manusia dewasa tidak fleksibel. Dalam jangka waktu lama, sel stem dewasa juga lebih sulit dirawat.
Lebih dari itu, mereka mencemaskan kalau-kalau kloning embrio merupakan langkah awal kloning manusia sepenuhnya (reproductive cloning). Keresahan ini bukannya tanpa alasan. Soalnya, suatu konsorsium ilmuwan sudah berencana melakukan kloning manusia pada tahun 2003. Grup ini dipimpin Dr. Severino Antinori dari Italia, yang hasil kerjanya antara lain membantu wanita pascamenopause untuk menjadi hamil.
Teknik yang diterapkan grup Antinori identik dengan teknik kloning hewan. Menurut Panos Zavos, profesor fisiologi reproduksi dari Universitas Kentucky, Amerika Serikat, juru bicara grup ini, kloning manusia bertujuan membantu pasangan yang tak bisa memperoleh keturunan, dengan catatan pasangan itu tak hendak menginginkan anak biologis yang berasal dari sel telur atau sperma orang lain. Zavos menjamin, teknologi grupnya tak akan digunakan bagi individu yang ingin membuat kloning dirinya sendiri.
Zavos juga meyakinkan bahwa bayi hasil kloning akan dilahirkan dalam waktu paling lambat 24 bulan. Perkiraan biayanya sekitar US$ 50 ribu per pasien. Tapi, harga itu, kata Zavos, bisa ditekan hingga US$ 20 ribu. Bagaimanapun, tutur Zavos, dunia harus siap menghadapi fakta teknologi kloning manusia yang sudah hadir. Sebab itu, ia menambahkan, lebih baik menangani teknologi itu secara baik dan bertanggung jawab ketimbang menafikannya.
Toh, rencana Zavos dan kawan-kawan dikritik keras oleh Griffin, Asisten Direktur Roslin Institute di Skotlandia. Menurut Griffin, yang sukses mengkloning Dolly, rencana itu justru tak bertanggung jawab. Sebab, kata Griffin, banyak kasus hewan kloning meninggal dalam kandungan atau sesaat setelah lahir. Bila teknik itu tetap diterapkan pada manusia, ia menandaskan, langkah itu selain menumbuhkan harapan palsu juga sangat berbahaya bagi ibu ataupun anak.
Jadi, kloning manusia tetap akan terjadi?
Yusi Avianto Pareanom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo