Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MATA jeli Pak Pyong-sen, seorang wanita Korea yang bekerja
sebagai pustakawati pada Perpustakaan Nasional Perancis, mungkin
harus merubah catatan tentang sejarah buku dan teknik percetakan
yang selama ini ditulis.
Pyong-sen yang bertugas sejak 1967, ketika sedang membereskan
buku-buku klasik Korea yang telah tertumpuk selama puluhan
tahun, menemukan suatu buku kuno. Itu sebuah kitab suci berjudul
Chikchi Simgyong, alias Tripitaka versi Korea, ditulis dengan
huruf Tionghoa (Kanji) dan diterbitkan tahun 1377. Masa itu
merupakan zaman pemerintahan Raja Woo dari Dinasti Koryo
(918-1392). Si pustakawati kemudian mempertunjukkan buku itu
pada Pameran Sejarah Buku yang sedang diadakan oleh
perpustakaan.
Ditemukannya Chikchi Simgyong telah mendorong diadakannya
penelitian di Korea tentang teknik percetakan masa kuno dan
bibliografi. Diketahui bahwa ilmu cetak-mencetak adalah hal yang
paling dasar sebagai pendorong perkembangan kebudayaan.
Pada tahun 1891, Maurice Courant, yang pernah bekerja sebagai
sekretaris pada Kedutaan Perancis di Korea pada masa dinasti
terakhir Yi, menulis sebuah bibliografi tentang Korea. Dalam
karyanya Courant memperkenalkan buku suci tersebut. Dikatakannya
bahwa kitab itu dicetak dengan teknik pencetakan letter zet dan
dikerjakan pada tahun 1377 di kuil Hungdoksa, di Chongju, 74 mil
sebelah Selatan Seoul.
Menurut para sejarawan Korea, kitab itu adalah salah satu dari
sekian banyak benda-benda kuno yang dirampok oleh
serdadu-serdadu Perancis ketika mereka menyerbu Pulau Kangwa
yang terletak di pantai barat, pada akhir abad ke-19.
Kemungkinan lain adalah bahwa seorang diplomat yang pernah
bertugas di Seoul, telah membawanya ke Perancis. Tetapi karena
di pantai Pulau Kangwa ada ruangan di bawah air tempat
penyimpanan naskah-naskah kuno, besar kemungkinan buku itu
memang terbawa ke Eropa sebagai hasil rampokan. Berikut ini
adalah riwayat sekitar dicetaknya buku tersebut.
Dinasti Koryo selalu mendapat gang guan dari suku-suku
pengembara dari luar perbatasan, terutama orang Tartar dan
Mongol. Tahun 1213, raja mengungsi ke Pulau Kangwa karena
serangan bangsa Mongol. Ia meminta pertolongan dari para pendeta
Bud untuk mengusir musuh. Karena suatu hasil karya yang baik
diperlukan sebagai penopang bujukan itu, maka raja memerintahkan
untuk membuat papan-papan yang diukir, sebagai alat cetak
buku-buku suci Buda. Teknik mengukir tulisan pada papan dengan
demikian berkembang pesat pada masa itu.
Akhirnya, pada masa pemerintahan Raja Kojong (1214- 1260),
sebanyak 81.258 papan cetakan dapat dibuat. Semuanya ada di
Pulau Kangwa. Papan-papan cetak itu dipelihara sebagai harta
berharga di sebuah kuil yang bernama Haein-sa, sebelah Tenggara
Seoul. Sayang ada di antaranya yang dirusak oleh tentara
Hideyoshi dari Jepang yang datang menyerang Korea pada abad ke
16.
Menurut seorang sarjana ahli agama Buda di Korea, Chikchi
Simgyong, yang sekaligus membuktikan bahwa Dinasti Koryo sangat
dipengaruhi para pendeta Buda yang bermain di belakang layar,
adalah sebuah kitab yang berisi peraturan tentang disiplin
Budisme Zen. Sekte itu paling berpengaruh dalam agama Buda. Di
Tiongkok namanya Chan, di Korea Son dan di Jepang Zen. Narna Zen
lah yang paling dikenal di dunia Barat. Kata itu sendiri
sebenarnya berarti 'meditasi' dan sekte ini sangat menekankan
praktek meditasi seperti yang diajarkan pe,ndeta sucinya
Popchong.
Sekte Son mulai dikenal di Korea pada masa Dinasti Silla
(57-953), salah satu dari tiga dinasti yang memerintah pada masa
kuno. Ini dimulai dengan kembalinya pendeta Pobnang dari
Tiongkok di pertengahan abad ke-7. Pada masa itu pendeta-pendeta
Buda harus pergi belajar ke Tiongkok dan tinggal di sana sampai
puluhan tahun.
Perlu Dirobah
Syahdan, Johannes Gutenberg (1398-1468) sampai saat ini dikenal
sebagai orang pertama di dunia yang menemukan cara mencetak
dengan logam. Tapi kenyataan bahwa Chikchi Simgyong dicetak
dengan cara letter zet logam membuktikan bahwa orang-orang Korea
sebenarnya telah menggunakan teknik ini 75 tahun lebih pagi dari
Cutenberg. Tambahan lagi Sipchilsachan Kogumtongyo, sebuah kitab
yang berasal dari Korea mengenai sejarah Tiongkok, dicetak
dengan cara pencetakan logam pula pada 1403. Ini berarti lebih
dari 53 tahun mendahului Kitab Injil Mazarin atau Injil
Gutenberg yang terkenal itu. Toh masih ada lagi. Tercatat dalam
sejarah Korea adalah Sangjong Yemun, sebuah buku mengenai tata
cara, juga dicetak dengan letter zet logam, terbit tahun 1232.
Sayangnya buku ini sudah tidak bisa didapatkan lagi.
Buku-buku sejarah baku pada saat ini mengatakan: "Gutenberg
adalah orang pertama yang menemukan teknik mencetak letter zet
dengan logam. Ini berarti bahwa teknik cetak jadi praktis".
Sekarang kalimat itu perlu dirubah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo