LAMPU merah-kuning-hijau di persilangan jalan Jakarta sudah kelewat banyak. Kendaraan berderet panjang gara-gara lampu pengatur lalu lintas itu. Demi mengurangi kemacetan di persilangan jalan, Jakarta dipaksa membangun lintas layang atau terowongan. Dan terowongan tampaknya menjadi pilihannya untuk membangun jalan lintasan. Tahun ini akan dibangun di silang Dukuh Atas, bersebelahan dengan Kali Banjir Kanal dan rel kereta api Manggarai-Tanah Abang. Underpass itu akan menghubungkan Pejompongan-Manggarai-Matraman. Yang menarik, terowongan ini dibangun dengan sistem box jacking. Teknik "mendorong kotak" ini memungkinkan para ahli konstruksinya membuat terowongan tanpa harus mengusik lalu lintas di atasnya seperti penggalian underpass Casablanca-Rasuna Said, yang sampai kini belum usai. Tak ada penggalian yang mengharuskan Jalan Sudirman ditutup atau dibelokkan. "Ini keistimewaan box jacking," ujar Budi Widiantoro, ahli jalan raya dari Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta. Sistem box jacking ini, kata Budi, tampaknya akan menjadi andalan untuk jalan underpass baru di Jakarta. Paling tidak, terowongan di Cipinang, jalan tembus Pondok Kopi-Kampung Melayu di bawah jalan by pass D.I. Panjaitan akan dibangun dengan sistem box jacking itu. Memang ada syarat untuk menerapkan teknik baru yang diadopsi dari Jepang ini. Badan jalan yang ditembus harus lebih tinggi dari jalan baru. Tanah yang diterobos mesti lunak, tak keras seperti karang atau berbatu-batu. Kondisi ini terpenuhi di Dukuh Atas. Jalan Sudirman hampir delapan meter lebih tinggi daripada jalan tembusnya, dan bertumpu pada tanah uruk yang lunak. Lintas layang dianggap tak cocok di Dukuh Atas. Sebab, puncak jalan layang bisa kelewat tinggi dari permukaan jalan baru itu. "Kalau dipaksakan jalan layang itu akan terlalu curam," tutur Budi, lulusan Teknik Sipil ITB 1978. Untuk membangun terowongan dengan teknik box jacking itu, tubuh terowongan dicetak lebih dulu. Bentuknya berupa lorong beton bertulang segi empat, lebar 20 meter dan tingginya 7 meter. Panjangnya sekitar 50 meter -- sama dengan lebar bahu Jalan Sudirman. Tebal beton terowongan itu 80 cm. Di tengah lorong ada tiang-tiang penguat setebal dinding terowongan. Lorong beton itu nantinya akan dibagi menjadi tiga potong, masing-masing 600 ton. Pada potongan lorong (segmen) terdepan dipasang pelat baja serupa mata bajak yang panjangnya tujuh meter di bagian atas dan bawahnya hampir berimpit dengan ujung terdepan segmen. "Itu berfungsi sebagai pisau yang akan menyayat tanah," ujar Dr. Wiratman Wangsadinata, ahli beton yang menjadi konsultan proyek ini. Untuk mendorong segmen-segmen beton menembus perut Jalan Sudirman, digunakan beberapa dongkrak pendorong hidrolik berkekuatan 1.000 ton yang bergerak horizontal. Dongkrak inilah yang mendorong lorong beton itu menembus badan jalan. Setelah segmen pertama didorong masuk, segmen di belakangnya jadi tumpuan dongkrak. Demikian seterusnya dengan segmen ketiga. Hantaman dongkrak pendorong secara bertahap menusuk badan jalan. "Sehari paling banter 2,5-3 meter," kata Wiratman. Setiap kali tubuh lorong beton itu masuk, tanah yang terjebak di dalamnya dikeruk keluar. Begitulah, dongkrak ini diperlukan sampai ketiga segmen beton itu masuk menjadi terowongan. Satu segmen dengan yang lain kemudian diikat dengan pelat-pelat baja yang dilas. Gerakan lorong beton itu tentunya akan membuat jalan aspal di atasnya retak-retak dan mengganggu lalu lintas. Apalagi, atap lorong dan muka Jalan Sudirman hanya beda 60 cm. Maka, aspal di situ harus dikupas dulu dan dihampar lembaran besi yang disangga gelagar-gelagar baja. Pemasangan lantai besi itu cuma perlu 30 jam yang tak mengganggu lalu lintas karena bisa selesai dikerjakan sejak Sabtu sore hingga Senin dini hari. Terowongan beton ini juga tak perlu fondasi. Beban bangunan beton cuma menimbulkan tekanan 6 ton/m2 terhadap tanah di bawahnya. Artinya, lebih ringan dari tanah galian yang dikeruk sebanyak 3.900 ton yang bertekanan 11 ton/m2. "Tanpa fondasi pun, terowongan ini tak akan amblas," tutur Wiratman. Sebelum Dukuh Atas, Jakarta juga pernah membuat terowongan dengan box jacking di bawah Jalan M.T. Haryono, dekat Gedung BKKBN. Tapi, terowongan Cawang yang dibangun 1989 itu cuma sembilan meter lebarnya dan memasukkan segmen-segmennya dengan tali penarik, bukan dongkrak pendorong. Terowongan Dukuh Atas ini menelan Rp biaya 12 milyar, plus Rp 3 milyar lagi untuk pemindahan saluran air, telepon, dan listrik. Lebih mahal dari terowongan konvensional di Jalan Rasuna Said yang cuma Rp 8,5 milyar. Biaya proyek Dukuh Atas ini sebagian besar ditanggung Yayasan Dapenso BNI 46 dan PT Landmark, yang punya gedung jangkung di sebelah lorong itu. "Terowongan Dukuh ini bakal menambah daya tarik Gedung BNI bagi penyewa," ujar Teuku Abdullah dari Dapenso. Underpass ini, kecuali memperlancar lalu lintas, juga membuat Landmark dan Gedung Bank BNI, yang mendanainya, lebih mudah dicapai dari segala jurusan. Putut Trihusodo dan Ivan Haris (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini