Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Longsor Kubah Lava Semeru

Penyebab Gunung Semeru meletus adalah longsornya kubah lava. Dipicu hujan lebat.

11 Desember 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Erupsi Semeru pada Sabtu, 4 Desember 2021, dipicu longsornya kubah lava.

  • Hujan lebat di puncak Semeru membuat kubah lava labil, lalu meluncur sebagai awan panas guguran.

  • Volume magma pada letusan Semeru kali ini tidak banyak, tapi abu vulkanisnya banyak karena akumulasi dari letusan sebelumnya

SURONO, 66 tahun, tidak melihat ada perubahan perilaku Gunung Semeru. Begitu pun saat gunung tertinggi di Jawa yang berada di wilayah Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Malang, Jawa Timur, itu meletus pada Sabtu, 4 Desember lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat terjadi erupsi pada pukul 14.50 WIB, gunung dengan puncak Mahameru setinggi 3.676 meter di atas permukaan laut itu berstatus waspada alias level II. “Tidak ada yang aneh-aneh. Perilakunya normal,” kata Surono, yang menjabat Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) 2005-2014, Senin, 6 Desember lalu.

PVMBG Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral masih mempertahankan status level II itu walau terjadi erupsi disertai awan panas guguran. Erupsi adalah keluarnya material seperti gas, abu, dan magma dari perut gunung melalui kepundan yang ada di kawah. Ketika erupsi, Semeru—kawah aktifnya terkenal dengan nama Jonggring Saloko—melontarkan material di sekitar puncaknya. “Jadi Semeru makin tinggi dan semok karena dibentuk dari letusannya,” ujar doktor geofisika dari Université Savoie Mont Blanc, Prancis, ini.

Menurut Surono, jenis erupsi Semeru tergolong efusif dengan mengeluarkan lelehan magma yang kemudian membuat jalur lava seperti lidah panjang di sekitar puncak. Lava yang bertumpuk itu membentuk kubah di ujung lidah. “Dari puncak (jaraknya) sekitar 500 meter ke bawah,” tuturnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Volume kubah lava yang terus terbangun makin bertambah. Surono mengaku tidak tahu persis volume kubah lava yang terbentuk sampai 4 Desember lalu. “Biasanya tidak dihitung. Kalau jatuh paling ditambang (pasirnya),” ucapnya.

Selain itu, kata Surono, tingkat bahaya kubah lava Semeru lebih kecil dibanding Merapi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Surono bercerita, pada Desember 2010, ia meminta evaluasi kubah lava Merapi dengan citra satelit Amerika Serikat.

Diketahui volumenya sekitar 3,5 juta meter kubik dengan kecepatan pembentukan sekitar 27 meter kubik per detik. Biasanya, setelah letusan, Surono menjelaskan, kawah Merapi akan tertutup kubah lava. Selanjutnya ada dua kemungkinan yang bisa terjadi.

Pembentukan kubah lava di Merapi berhenti kalau tekanan dari perut gunung tidak cukup kuat. Sebaliknya, jika tekanannya besar, terjadi letusan. “Saya lihat tekanannya masih tinggi. Betul meletus, dan 3,5 juta meter kubik (kubah lava keluar) sekali lempar,” ujarnya. Karena itu, Merapi selalu dipantau.

Adapun kubah lava Semeru yang longsor menjadi awan panas guguran biasanya tertampung di Sungai Besuk Kobokan. “Kemarin itu terlalu banyak dari biasanya.”

Kubah lava, Surono menjelaskan, tidak stabil karena materialnya berupa magma cair. Sebagian kubah lava mendingin dan mengeras, tapi di dalamnya masih ada lava cair, berbaur dengan gas seperti sulfur dioksida (SO2). Cuaca hujan turut membuat kubah lava labil, lalu meluncur sebagai awan panas guguran. “Hujan kan bikin longsor di mana-mana juga,” tutur Surono, yang disertasi doktoralnya membahas Gunung Kelud di Jawa Timur.

Para penambang pasir, kata Surono, biasanya mempunyai tanda peringatan sendiri. Jika di atas gunung turun hujan, bakal ada lahar dari atas sehingga para penambang lebih dulu lari untuk menghindar. Begitu pula masyarakat di sekitar Besuk Kobokan. Tapi pada Sabtu, 4 Desember lalu, yang datang bukan lahar berkecepatan belasan kilometer per jam. “Kemarin yang datang awan panas guguran. Datang dengan kecepatan ratusan kilometer per jam,” ucapnya.

Vulkanolog dari Institut Teknologi Bandung, Mirzam Abdurrachman, mengatakan lahar dan awan panas Semeru berasal dari material vulkanis hasil letusan sebelumnya. Abu vulkanis letusan Gunung Semeru sekarang, kata Mirzam, cenderung berat, ditandai dengan warna kelabu pekat. Hal itu menandakan, dalam letusan-letusan sebelumnya, abu vulkanis jatuh bertumpuk hanya di sekitar area puncak Semeru. “Ini yang menjadi cikal-bakal melimpahnya material lahar letusan 2021,” ujarnya saat dihubungi, Ahad, 5 Desember lalu.

Gunung Semeru mengeluarkan lava pijar terlihat dari Desa Sumberwuluh, Lumajang, Jawa Timur, pada 6 Desember 2021/ANTARA/Zabur Karuru

Pengajar pada Kelompok Keahlian Petrologi, Vulkanologi, dan Geokimia Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB tersebut mengatakan faktor hujan juga berkontribusi pada dampak letusan Semeru kali ini. “Kemudian ada hujan, prosesnya (erupsi) dipercepat tiba-tiba, kita enggak punya waktu banyak,” tutur Mirzam. “Letusan kali ini volume magmanya sebetulnya tidak banyak, tapi abu vulkanisnya banyak karena akumulasi dari letusan sebelumnya,” ucapnya.

Pada hari terjadinya erupsi, intensitas curah hujan harian di kawasan Lumajang berkategori sedang hingga lebat. Menurut Koordinator Bidang Observasi dan Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Malang Ahmad Luthfi, BMKG mengumpulkan data pengukuran curah hujan di Lumajang dari sembilan pos pendata. Pengukuran dilakukan selama 24 jam, yakni sejak pukul 07.00 hingga pukul 07.00 esoknya.

Dari pengukuran pada 4 Desember, curah hujan di Senduro terpantau 35 milimeter per hari, di Supiturang 48 mm per hari, dan Pronojiwo 15 mm per hari. “Di beberapa daerah yang berdekatan dengan lokasi bencana hujannya dalam kategori lebat dalam rentang waktu 24 jam,” kata Luthfi. Adapun ihwal curah hujan di puncak Semeru saat itu, “Kami belum punya alat pengamatan sehingga datanya tidak ada.”

Kapan gunung api seperti Semeru akan meletus masih sulit diprediksi secara ilmiah. Menurut Mirzam Abdurrachman, ada dua pendekatan yang bisa diambil. Pertama, metode prediksi jangka panjang dengan mengetahui interval waktu letusan dan perkiraan volume magmanya. Kedua, metode prediksi jangka pendek menggunakan instrumen serta data perubahan suhu dan deformasi gunung. Mirzam mengatakan, berdasarkan data dan pengamatannya, Semeru punya interval letusan jangka pendek satu-dua tahun.

Menurut Surono, PVMBG sudah memberikan peringatan bahaya aktivitas Semeru dengan penetapan status waspada. Selain itu, peta kawasan rawan bencana sudah dibuat. Surono berharap penataan ruang menggunakan data peta tersebut. “Daerah-daerah yang ada lahar, awan panas, janganlah jadi tempat tinggal,” ujarnya. Namun dia mengakui upaya relokasi warga adalah masalah yang sensitif, berkaitan dengan kesuburan tanah dari material lahar gunung api.

Siaran pers di situs web PVMBG menyebutkan pada Sabtu, 4 Desember lalu, terekam getaran banjir di Semeru mulai pukul 13.30 WIB. Kemudian pada pukul 14.50 WIB teramati awan panas guguran dengan jarak luncur 4 kilometer dari puncak atau 2 kilometer dari ujung aliran lava ke arah tenggara. PVMBG menyimpulkan berdasarkan pengamatan visual bahwa kemunculan awan panas guguran disebabkan oleh ketidakstabilan endapan kubah lava. Aktivitas yang terjadi pada 1 dan 4 Desember lalu adalah aktivitas permukaan atau erupsi sekunder.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus