Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI koleksi perpustakaan desa, Sudiyanto menemukan buku teknologi terapan itu. Berjudul Pompa Air Tenaga Air—kitab aslinya berbahasa Belanda—isi buku itu tiba-tiba saja mencerahkan benak Yanto. Ia berpikir, apa salahnya mencoba membuat pompa seperti dalam buku itu untuk mengatasi krisis air di desanya.
Desa Grumbul Glempang tempat ia tinggal, juga Desa Kotayasa di Kecamatan Sumbang, Banyumas, Jawa Tengah, sedang paceklik air. Warga desa harus berjalan kaki ratusan meter menuruni lereng untuk mendapatkan air dari Sungai Lumarapi atau sumber mata air Tuk Sladan, yang dulunya disebut Tuk Begu. Desa Kotayasa malah terletak jauh di ketinggian Gunung Slamet (3.450 meter), sekitar 3.000 meter di atas permukaan laut.
Warga bukannya tak pernah mencoba membuat sumur. Meski sudah digali hingga 25 meter, air yang keluar amat sedikit. Bahkan pada musim kemarau sumur tak berair sama sekali. Untuk berlangganan air dari perusahaan daerah air minum, kebanyakan warga merasa tak mampu. Jarak Desa Kotayasa dengan kota terdekat, Purwokerto, juga cukup jauh: sekitar 17 kilometer.
Kondisi inilah yang membuat pengurus Karang Taruna Desa Grumbul itu tergerak membuat pompa air bertenaga air. Dalam buku tersebut dijelaskan secara terperinci bagaimana mengalirkan air dari lokasi rendah ke tempat yang lebih tinggi. Cara pembuatannya pun cukup sederhana, yakni dengan memanfaatkan teknologi hydraulic ram (hydram). Sayang, dalam buku itu tertulis pompa hanya mampu mengalirkan air setinggi tujuh meter. Sedangkan sungai atau sumber air di Desa Kotayasa jaraknya mencapai ratusan meter.
Tanpa dasar pengetahuan mekanika fluida, Yanto tetap nekat mencoba. Kendala pertama yang dihadapi: ia tak punya modal. Beruntung, saudara-saudaranya mau meminjamkan uang Rp 5 juta untuk membeli bahan yang diperlukan.
Pada awalnya Yanto mengaku telah mengikuti semua prosedur yang ditulis dalam buku. Setelah peralatan terpasang, ia mengalirkan air ke dalam pompa tapi air tak mau menyembur. ”Sepuluh kali gagal. Selama sekitar dua tahun saya terus mengutak-atik pompa air tersebut,” ucap ayah lima anak lulusan aliyah ini. ”Banyak tetangga menganggap saya gila waktu itu.”
Tak patah arang, lelaki yang kini berusia 41 tahun itu terus berupaya memperbaikinya. Pada suatu saat sebuah ketidaksengajaan terjadi. Pompa hydram buatannya bocor. Tapi kebocoran itu justru membuat aliran air kian deras. Seperti mendapat angin segar, Yanto memodifikasi pompa air tersebut dengan membuat beberapa lubang. Hasilnya, air mampu menyembur setinggi 18 meter, lebih tinggi dari yang tertulis di buku. Air bahkan bisa menjangkau ketinggian 300 meter. ”Saya langsung berteriak seperti orang gila. Ternyata percobaan saya tak sia-sia,” ucapnya.
Mulanya Yanto hanya membuat saluran pipa air khusus ke rumahnya. Jarak ketinggian antara sumber air dan rumahnya 315 meter. Tetangganya yang dulu mencemooh kini ikut menikmati air hasil pompa hydram buatannya. Agar warga mudah memperoleh air bersih, dibuatlah sebuah bak penampungan. Pada musim kemarau, warga Desa Kotayasa tak lagi kekurangan air bersih.
Pompa air tenaga air buatan Yanto ini akhirnya terdengar hingga melampaui batas Desa Kotayasa. Panitia Indonesia Berprestasi Award (IBA) 2008 menangkap informasi tersebut. Indonesia Berprestasi adalah suatu kompetisi prestasi yang diselenggarakan PT Excelcomindo Pratama Tbk., salah satu perusahaan telekomunikasi di Indonesia. Salah satu kategori yang dilombakan adalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Di kategori ini, temuan Yanto didaftarkan.
”Kami memilih mereka yang mampu membangkitkan semangat anggota masyarakat lain, sekecil apa pun prestasi yang dibuat oleh orang tersebut,” ucap Adrie Subono, salah satu anggota dewan juri. ”Dengan semangat yang tertular, akan muncul multiplier effect yang menciptakan orang-orang berprestasi lain bagi lingkungannya,” Adrie menambahkan.
Setelah melalui verifikasi ketat, pompa air tenaga air buatan Yanto dinyatakan sebagai pemenang di Jakarta dua pekan lalu. Menurut dewan juri, teknologi pompa air tersebut amat aplikatif dan memiliki manfaat yang besar bagi masyarakat yang hidup di pegunungan. Di putaran final ia mengalahkan seorang profesor yang membuat teknologi listrik tenaga surya. ”Lumayan juga, orang tak berpendidikan mengalahkan profesor,” kata Yanto sembari tertawa lebar.
Mekanisme kerja pompa buatan Sudiyanto cukup sederhana. Air dari sumber air ditampung dalam sebuah bak dengan ketinggian sekitar lima meter. Air dialirkan ke tempat yang lebih rendah menggunakan pipa. Dengan kemiringan tertentu air tersebut dialirkan ke hydram. Setelah masuk ke hydram, disemburkan ke atas atau ke tempat penampungan air di sekitar perkampungan penduduk. Semua proses tak membutuhkan bahan bakar minyak maupun listrik.
Prinsip kerja pompa air tersebut adalah memanfaatkan daya dorong air dari ketinggian tertentu untuk menaikkan kembali air tersebut. Kemiringan antara air turun, pompa, dan air naik juga menjadi faktor penting. ”Ini yang saya belum tahu rumus fisikanya,” ujar Yanto terus terang. Ia berharap ada ahli atau konsultan yang bisa membantunya menemukan rumus fisika tersebut.
Hydram dibuat dari pipa galvins. Terdiri atas pipa input (tempat air masuk), pompa, dan pipa output. Di dalam pompa (berbentuk tabung berdiameter 40 sentimeter), ada klep yang terbuat dari potongan ban bekas. Fungsinya mengatur komposisi udara dan air yang akan dimampatkan ke saluran output. Komposisi yang pas antara udara dan air inilah yang menjadikan air bisa terdorong ke atas. Semakin terjal atau semakin tinggi air dialirkan, semakin kuat pula daya dorongnya.
Setelah sukses membuat desanya berkecukupan air, Yanto kini terobsesi membantu desa lain yang memiliki masalah serupa. Di depan rumahnya, teras berukuran 2 x 3 meter persegi menjadi bengkel pembuatan pompa hydram. Namun hingga kini hasil karyanya belum dipatenkan. Penyebabnya, ya itu tadi, ia belum tahu rumus fisika temuannya. Penjelasan mekanika fluida yang logis memang diperlukan lembaga paten untuk temuan Yanto.
Sembari menanti uluran tangan ilmuwan yang mau membantunya, ia mulai menerima pesanan pompa hydram dari daerah lain seperti dari Tegal dan Purbalingga. Untuk pompanya saja, ia menjual Rp 1,5 juta. Untuk pipa berukuran 1 dim ia memasang harga Rp 2,5 juta dan ukuran 2 dim dikenai tarif Rp 3,5 juta. Jasa borongan atau pembangunan satu unit juga bisa dia kerjakan, dengan ongkos Rp 25 juta. ”Saya tak mengambil untung banyak, kok,” ujarnya. ”Ini lebih ke proyek sosial. Yang penting banyak warga menikmati temuan saya.”
Firman Atmakusuma, Aris Andrianto (Banyumas)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo