Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK ada monumen kuno di dunia ini yang memiliki keragaman relief tumbuhan melebihi Candi Borobudur. Monumen bercorak agama Buddha dari abad ke-8 dan 9 Masehi ini telah mendokumentasikan beraneka ragam spesies tumbuhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasil penelitian tim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)—kini menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)—serta Museum dan Cagar Budaya Warisan Dunia Borobudur membuktikan hal tersebut. Riset yang dimulai sejak lima tahun lalu itu telah dipublikasikan di jurnal internasional Biodiversitas dalam artikel bertajuk "The Identification of Plant Eeliefs in the Lalitavistara Story of Borobudur Temple, Central Java, Indonesia". Salah satu temuan utama penelitian kami, setidaknya 63 spesies tumbuhan terpahat di dinding Candi Borobudur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal yang menarik adalah, bahwa jumlah spesies tumbuhan tersebut diperoleh hanya dari relief kisah Lalitavistara, satu dari lima gugus relief naratif di Candi Borobudur. Gugus relief Lalitavistara terdiri dari 120 panil. Artinya, masih terdapat 1.340 panil dalam empat gugus relief naratif lainnya, yakni Karmawibhangga, Jataka, Avadana, dan Gandavyuha, yang belum diteliti secara komprehensif.
Sungguh tak terbayangkan kejutan besar yang menunggu jika proses identifikasi relief tumbuhan kelak tuntas dilakukan terhadap seluruh panil relief naratif tersebut. Riset lanjutan yang amat penting ini masih terus berjalan untuk menyasar pada gugus panil tersisa. Target terdekat adalah menuntaskan identifikasi relief tumbuhan pada kisah Karmawibhangga yang berjumlah 160 panil.
Terdapat banyak panil relief Latitavistara di Candi Borobudur yang menggambarkan keanekaragaman spesies tumbuhan maupun satwa yang hidup lestari berdampingan dengan manusia secara harmonis. Foto: N.J. Krom (1927)
Upaya mengidentifikasi spesies tumbuhan pada relief candi ini bukan semata-mata sebagai pendataan jumlah atau pun angka, melainkan juga untuk memahami bagaimana perspektif manusia di masa lalu terhadap alam sekitarnya. Belajar dari hasil penelitian terhadap relief Lalitavistara, dapat disimpulkan, masyarakat Jawa kuno memiliki apresiasi yang tinggi terhadap kelestarian keanekaragaman tumbuhan sebagai cerminan lingkungan alam yang ideal.
Nilai-nilai tersebut yang agaknya kini semakin tergerus.
Belajar dari Relief Lalitavistara
Proses identifikasi spesies tumbuhan pada relief Lalitavistara dimulai dengan pendataan dokumentasi relief. Dokumentasi yang digunakan yaitu dari masa kolonial maupun dengan memotret ulang relief untuk mendapatkan pemahaman bentuk pahatan yang lebih akurat dan detail. Pendataan kemudian dilakukan terhadap karakter morfologi untuk setiap figur tumbuhan di dalam panil relief, meliputi bentuk perawakan (habitus), akar, batang, daun, bunga, maupun buahnya.
Kami juga membuat sketsa dari sebagian pahatan tersebut untuk memudahkan proses identifikasi. Data ini kemudian dibandingkan dengan berbagai referensi botani sehingga diperoleh nama spesies atau genus tumbuhan yang paling memungkinkan.
Relief spesies tumbuhan asam (Tamarindus indica) dari famili Fabaceae digambarkan secara detail dan akurat, dengan karakter daun, percabangan, ataupun buah yang berkesesuaian dengan tumbuhan aslinya di panil relief Lalitavistara, Candi Borobudur. Kami menggunakan sketsa untuk memudahkan identifikasi. Foto: N.J Krom (1927). Sketsa: Destario Metusala
Hasilnya, tim berhasil mengidentifikasi setidaknya 63 spesies tumbuhan dari 53 genus dan 34 famili. Lima famili tumbuhan dengan penggambaran jumlah spesies terbanyak yaitu Fabaceae sebanyak 8 spesies; Moraceae 6 spesies; serta Myrtaceae, Apocynaceae, dan Meliaceae masing masing 4 spesies.
Jumlah spesies tumbuhan yang tergambar pada relief kisah Lalitavistara di Candi Borobudur tersebut bahkan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah tumbuhan yang tertulis dalam kitab panduannya, yakni sutra Lalitavistara. Kitab dari India itu hanya memuat informasi tentang 32 famili tumbuhan yang terdiri dari 44 genus dan 54 spesies.
Jumlah 63 spesies yang telah kami identifikasi itu juga angka minimal. Sebab, sebanyak 21 figur tumbuhan tidak dapat diidentifikasi hingga tingkat genus maupun spesies lantaran kondisi relief yang terkikis parah ataupun karakter morfologinya terbatas.
Kendati begitu, hasil identifikasi ini menemukan banyak spesies tumbuhan yang terpahat pada relief Candi Borobudur merupakan spesies asli Pulau Jawa dan tidak tertulis di kitab sutra panduannya. Sejauh yang penulis ketahui, tidak ada candi Hindu-Buddha yang memiliki jumlah keragaman relief tumbuhan sebanyak atau bahkan sekedar mendekati jumlah yang tergambar di Candi Borobudur.
Selain jumlahnya melimpah, relief tumbuhan pada dinding Candi Borobudur digambarkan dengan begitu akurat, detail, serta berkesesuaian dengan spesies tumbuhan aslinya. Beberapa di antaranya dipahat dalam beberapa fase pertumbuhan.
Relief tumbuhan pisang (Musa acuminata), misalnya, digambar dengan fase pertumbuhan berbeda, dari anakan muda, dewasa sedang berbunga, hingga dewasa sedang berbuah. Begitu pula figur tumbuhan teratai (Nymphaea nouchali) dan lotus (Nelumbo nucifera) digambarkan tumbuh bersama dalam sebuah kolam yang menunjukkan beberapa fase pertumbuhan bunga dari kuncup hingga mahkotanya gugur.
Kekaguman kami tidak berhenti di situ saja. Di sebuah panil relief naratif ini, berbagai relief tumbuhan tidak diposisikan secara acak dan sembarangan. Komposisinya digambarkan secara cermat, sesuai dengan lingkungan yang sesuai dengan habitat asli tumbuhan di kehidupan nyata.
Sebagai contoh, spesies tumbuhan yang adaptif pada lingkungan lembap biasanya digambarkan tumbuh pada area tepian sungai, tepi kolam, ataupun tempat dengan tanda simbol air. Begitu pula spesies yang dikenal sebagai tanaman budi daya biasanya digambarkan tumbuh secara monokultur pada sebuah hamparan atau tertanam berkelompok secara tumpang sari di sebuah tegalan atau kebun pekarangan.
Relief spesies lotus (Nelumbo nucifera) yang memperlihatkan organ bunga dan daun pada beberapa fase fenologi yang berbeda. Dok. Destario Metusala
Gambaran Nilai Para Leluhur
Melimpahnya keragaman relief tumbuhan pada Candi Borobudur yang dipahat secara presisi memantik rasa penasaran lebih dalam di antara para peneliti.
Sebagian besar spesies tumbuhan yang dipahat di dinding candi itu hanya berfungsi sebagai komponen pembangun suasana atau latar. Sebenarnya pahatan tumbuhan itu tidak berpengaruh signifikan terhadap inti pesan dari relief naratif. Lantas mengapa relief Candi Borobudur harus berisi pahatan spesies tumbuhan sebanyak dan sedetail itu?
Sementara itu, banyaknya keragaman relief tumbuhan yang harus dipahat di panil-panil candi pasti membutuhkan investasi pikiran dan energi yang amat besar. Apalagi para silpin atau pemahat tak hanya harus memahami karakter morfologi spesies tumbuhan sebanyak itu, tapi juga karakter habitat alaminya.
Salah satu panil relief Lalitavistara di Candi Borobudur yang menunjukkan penggambaran spesies tumbuhan sesuai dengan habitat aslinya. Foto: N.J. Krom (1927)
Pilihan yang lebih sederhana tentu sangat terbuka bagi mereka ketika membangun Borobudur. Secara teknis, pemahatan akan lebih mudah jika menggunakan lebih sedikit spesies tumbuhan dalam penggambaran relief. Para pemahat juga tidak perlu direpotkan untuk memahami kerumitan morfologi berpuluh-puluh spesies tumbuhan yang harus sinkron di setiap bagian-bagiannya.
Tapi, kenyataannya, opsi itu tak dipilih. Nenek moyang kita malah mengambil pilihan yang jauh lebih sulit dengan mengakomodasi jumlah spesies tumbuhan yang sangat banyak untuk digambarkan pada panil relief Borobudur. Pilihan ini memberikan sebuah pesan tegas tentang pentingnya keanekaragaman hayati.
Para peneliti, tentu saja, masih merangkai kemungkinan motif tersebut dengan logika. Dengan memperhatikan berbagai aspek penggambaran relief tumbuhan yang begitu mengagumkan, sulit rasanya menafikan dugaan bahwa para pemahat era Jawa kuno telah memiliki pemahaman yang baik mengenai pengetahuan dasar botani dan ekologi tumbuhan.
Pada masa modern ini, berapa banyak spesies tumbuhan yang mungkin mampu dipahami oleh seorang mahasiswa biologi untuk dapat menggambarkannya kembali secara tepat dan akurat? Apakah 10, 20, atau bahkan lebih dari 50 spesies? Berapa pun jumlahnya, akan selalu dibutuhkan sebuah proses untuk memahami keanekaragaman tumbuhan. Begitu juga yang mungkin terjadi di masa lampau.
Besarnya investasi pemikiran, waktu, keterampilan, dan tenaga yang dicurahkan para silpin dalam menggambar tumbuhan dengan menakjubkan di dinding Borobudur merupakan wujud dari nilai luhur nenek moyang. Nilai tersebut tidak lain dan tidak bukan berupa kesadaran untuk menjunjung tinggi kelestarian keanekaragaman hayati dan alam sekitarnya.
Pada masa itu hasil alam dari beragam tumbuhan telah menjadi penyokong utama bagi kehidupan masyarakat dan kerajaan. Beragam tumbuhan itu juga penting bagi perdagangan mancanegara dari Jawa.
Maka tidak berlebihan apabila masyarakat Jawa kuno menganggap keanekaragaman tumbuhan yang lestari sebagai simbol kehidupan yang makmur, subur, dan berlimpah. Saking pentingnya kelestarian keanekaragaman tumbuhan bagi masyarakat Jawa kuno hingga perlu dicatat secara apik pada sebuah monumen bernilai spiritual tinggi seperti Candi Borobudur.
Catatan pada relief itu seakan-akan juga diniatkan sebagai pesan dari lelulur kepada generasi di masa sekarang dan mendatang.
Namun entah seberapa besar kekecewaan mereka saat ini. Nusantara yang dulu merona hijau oleh rimbunnya hutan tropis yang begitu kompleks sudah berubah begitu jauh. Tutupan hutan di Pulau Jawa kini hanya tersisa 19 persen. Alih fungsi lahan untuk perkebunan, permukiman, industri, dan infrastruktur menyebabkan hutan menyusut secara masif. Kondisi ini menjadi ancaman serius bagi kelestarian keanekaragaman hayati di dalamnya.
Ancaman itu bahkan sudah terjadi. Per Juni 2024, sebanyak 117 spesies tumbuhan asli Pulau Jawa masuk kategori terancam punah versi daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN). Potret kehidupan harmonis manusia dan alam yang diabadikan pada relief candi berusia 1.200 tahun tampaknya kini mustahil terjadi lagi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini bagian dari Kolokium, program penulisan sains popular dan pengembangan komunitas peneliti yang dikelola Tempo. Sebagai rubrik, Kolokium terbit setiap Sabtu.