Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu tak bakal terlupakan Noel Rosal. Rumah Wali Kota Legazpi, ibu kota Provinsi Albay, Filipina itu tiba-tiba terkepung banjir bandang. ”Saya hampir mati dan harus berenang untuk menyelamatkan diri,” katanya berkisah.
Kamis dua pekan lalu itu, topan Durian mengamuk di Filipina. Di Provinsi Albay saja, hampir 1.116 orang tewas. Sekitar 130 ribu rumah hancur atau rusak. Lebih dari 800 ribu warga terjebak tanpa listrik, air bersih, dan makanan. ”Setiap sudut provinsi menderita. Ini kehancuran total,” ujar Gubernur Albay, Fernando Gonzales. ”Sepanjang sejarah, tak pernah kami melihat air seperti sekarang ini. Hampir semua permukiman terendam,” ujar dia, seperti dikutip kantor berita AP.
Padahal negeri itu baru saja sembuh dari luka akibat topan Cimaron pada Oktober lalu. Sebulan sebelumnya, topan Xangsane yang mengamuk menyebabkan kerusakan parah di Manila dan menewaskan lebih dari 200 orang.
Menurut daftar topan yang dikeluarkan typhoon2000.ph, topan Durian merupakan badai paling mematikan ketiga di Filipina sejak 1946. Peringkat pertama diduduki topan Thelma, yang membunuh 5.100 orang pada 1991. Di peringkat dua ada topan Ike, yang mengamuk pada 1 September 1984 dan menewaskan 3.000 orang.
Beruntung, sistem peringatan dini terhadap serangan angin ribut berfungsi baik. Topan Durian sudah terpantau saat mulai terbentuk di tenggara Kepulauan Chuuk di Samudra Pasifik pada 24 November. Dari depresi tropis pada 25 November, Badan Meteorologi Jepang kemudian menaikkan statusnya menjadi badai tropis pada 26 November malam. Saat itulah ia mendapat nama Durian.
Nama itu merupakan usul para ahli cuaca Thailand. Mereka memang berhak mengusulkan nama, sungguhpun tidak menjadi korban topan Durian. Ada kesepakatan, jika angin puyuh terjadi di timur Filipina, Malaysia, dan Taiwan, negara itu berhak memberi nama. Jika badai terjadi di utara dan timur Benua Kanguru, yang memberi nama Australia.
Sengsara di Filipina, nikmat di Yogyakarta. Sehari setelah lesus menyapu Filipina, nelayan pantai Baron, Yogyakarta, panen ikan. Musim lobster sepertinya juga bakal datang lebih cepat, membikin Ngatno, ketua kelompok nelayan di timur Parangtritis itu, berseri-seri.
Tidak jelas cara badai di Filipina membuat perairan Yogyakarta menjadi penuh ikan. Namun para ahli cuaca meyakini Efek Kupu-kupu yang diperkenalkan ahli cuaca Edward Lorenz pada 1961. Dalil itu ringkasnya berbunyi: gara-gara kepakan sayap seekor kupu-kupu di sebuah tempat di bumi, muncul topan di tempat lain.
Memang mustahil topan Durian tidak mempengaruhi iklim regional. Badai ini berembus amat dahsyat. Kecepatan anginnya sempat berada di atas 200 kilometer per jam dan masuk kategori 4 dari 5 kategori kekuatan topan (lihat infografis). Saking kuatnya embusan topan ini, kubah lava Gunung Mayon, sekitar 350 kilometer tenggara Manila, roboh. Setidaknya delapan desa di lerengnya lenyap terkubur.
Kepala Seksi Observasi dan Informasi Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Maritim Tanjung Perak Surabaya, Arif Triyono, mengatakan bahwa topan Durian memperkecil peluang hujan di Indonesia. Ini lantaran uap air yang ada di Indonesia tertarik ke utara. Atmosfer, ujar Arif, ibarat bejana berhubungan. Jika tekanan udara di salah satu titik lebih rendah, udara dari tekanan tinggi akan mengalir ke wilayah itu. Tekanan udara di lokasi topan Durian lebih rendah dibandingkan tekanan udara di Indonesia. Maka, mengalirlah udara dan awan ke Filipina.
Kini topan Durian sudah punah. Angin yang kaya uap air tidak lagi tersedot ke utara. Karena itu, kata Arif, ”Peluang terjadinya hujan di Indonesia lebih besar dibandingkan sekitar sepuluh hari sebelumnya, selama berlangsungnya badai.”
Bukan kali ini saja topan memundurkan musim hujan di Indonesia tahun ini. Semula BMG memprediksi bahwa musim hujan bakal turun pada dekade kedua September. Tapi di Jepang terjadi angin ribut, hingga musim hujan tertunda. Sekarang mestinya sudah masuk musim hujan. ”Tapi, akibat topan Durian di Filipina, musim kemarau memanjang,” ujar Kepala Seksi Cuaca Badan Meteorologi dan Geofisika Yogyakarta, Agus Triyanto, pekan lalu.
Untunglah tak semua awan terisap ke Filipina. Di beberapa daerah di Jawa dan Sumatera, peluang turun hujan tetap besar, terutama di dataran tinggi. Di sekitar Gunung Merapi atau gunung yang lain, misalnya. ”Tapi sifatnya hanya hujan lokal,” kata Agus.
Agus menghitung, dampak topan Durian belum habis hingga pertengahan Desember. Jadi, musim kemarau setidaknya akan terus berlangsung hingga dekade kedua Desember. Diperkirakan, ”Musim hujan akan tiba mulai 11-20 Desember nanti.” Tentu saja ini dengan catatan: tidak ada topan dahsyat lagi di dekat wilayah Indonesia.
Topan Durian juga membuat laut lebih bergolak. Perairan Indonesia yang paling terpengaruh adalah Sulawesi bagian utara, dengan gelombang laut yang bisa setinggi 3 meter. Sementara itu, di Laut Jawa, tinggi gelombang dapat mencapai 2,5 meter, dari biasanya yang hanya 0,5-1,5 meter. Gelombang juga relatif lebih tinggi di wilayah Kepulauan Masalembo, Kangean, dan sekitar Bawean.
Di kawasan pantai selatan Pulau Jawa dan Sumatera, topan Durian menyebabkan angin bertiup lebih kencang. Gelombang laut di wilayah ini, kata Agus, tiba-tiba bisa mencapai ketinggian di atas 3 meter. Mungkin karena itu musim lobster tiba lebih cepat di lepas pantai Yogyakarta.
Yosep Suprayogi, Sunudyantoro, Syaiful Amin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo