Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

sains

Tingkat Efikasi 7 Vaksin Covid-19 di Dunia: Sinovac, Pfizer, Novavax

WHO menghendaki tingkat efikasi vaksin Covid-19 sebesar 70 persen dengan minimun yang harus dicapai 50 persen.

2 Februari 2021 | 15.18 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Petunjuk dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap perusahaan pembuat vaksin Covid-19 harus memastikan tingkat efikasi vaksin mereka sekurang-kurangnya adalah 50 persen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca:
Efikasi Vaksin Covid-19 Drop Lawan Virus Baru dari Afrika Selatan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Organisasi yang berkantor pusat di Jenewa, Swiss, ini menetapkan standar vaksin dalam dokumen yang disebut dengan Target Product Profile (TPP).

Dalam TPP ini ada beberapa ukuran standar yang dipenuhi berkenaan dengan efikasi, masa perlindungan, dosis pemberian dan kondisi penyimpanan vaksin. Dokumen itu menyebutkan WHO menghendaki tingkat efikasi 70 persen dengan minimun yang harus dicapai 50 persen.

Menurut, Adrian Esterman, kepala bagian BioStatistika dan Epidemiologi di University of South Australia, Adelaide, efikasi dan efektivitas vaksin memiliki perbedaan yang sederhana.

"Tingkat efikasi adalah seberapa bagus vaksin itu bekerja dalam uji klinis. Tingkat efektivitas adalah bagaimana vaksin itu bekerja ketika sudah diberikan kepada masyarakat umum," kata Esterman kepada ABC, 14 Januari 2021 lalu.

Artinya bila 100 orang divaksinasi dalam uji klinik dan tingkat efikasi menunjukkan 50 persen, berarti 50 orang yang divaksin itu akan kebal dari penyakit. Esterman menerangkan ketika vaksin yang sama diberikan kepada masyarakat umum, tingkat efikasinya bisa berbeda, karena dalam uji coba, tidak semua lapisan masyarakat masuk dalam uji coba.

Sementara, Jodie McVernon, Direktur Bidang Epidemiologi dan Penyakit Menular di Doherty Institute, Melbourne, mengatakan target 50 persen yang diterapkan WHO itu menunjukkan "keadaan yang sedang kita hadapi sekarang ini" dan otoritas di seluruh dunia berusaha mencari sesuatu yang bisa membantu mengatasinya.

"Yang kita lihat sekarang adalah sistem layanan kesehatan yang kewalahan, kondisi ekonomi yang memburuk dengan dampak sosialnya dan banyaknya kematian," kata McVernon.

Berikut tingkat efikasi beberapa vaksin Covid-19 di dunia:

1. Sinovac

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengumumkan efikasi atau tingkat khasiat vaksin Sinovac yang diuji klinis di Indonesia, tepatnya di Bandung, Jawa Barat, pada 12 Januari 2021. Efikasi vaksin Covid-19 yang dikembangkan Sinovac Biotech dari Cina tersebut dinyatakan sebesar 65,3 persen.

Angka itu lebih rendah daripada efikasi vaksin Sinovac yang diuji di Turki maupun Brasil. Masing-masing telah lebih dulu mengumumkan klaim efikasi yang dihasilkan sebesar 91,2 persen dan 78,0 persen.

Tentang efikasi berbeda sesama hasil uji klinis vaksin Sinovac, Tim Komnas Penilai Obat, Jarir At Thobari, menjelaskan sejumlah faktor yang mungkin menjadi sebabnya. "Pertama, epidemiologi Covid-19 di Indonesia sendiri," kata Jarir dalam konferensi pers, Senin, 11 Januari 2021.

Faktor lainnya, Jarir menyebutkan, yaitu perilaku masyarakat, proses transmisi dari satu orang ke orang lain, dan karakteristik populasi atau subyek yang diikutsertakan dalam penelitian. Di Turki, kata Jarir, subyek uji klinisnya adalah 20 persen tenaga kesehatan dan 80 persen orang yang memiliki risiko tinggi.

Pun dengan uji klinis di Brasil. "Ini risiko penularan tinggi, bisa mengakibatkan angka kejadian atau efikasi jadi lebih tinggi juga," katanya.

Sedang di Bandung, Jarir membandingkan, relawan vaksin yang dilibatkan berasal dari populasi umum. Menurut Jarir, hal tersebut justru menjadi informasi yang baik bagi penggunaan vaksin itu Indonesia nantinya, "Karena populasi umum itu perlindungannya segitu."

2. Sputnik V

2. Sputnik V

Pemerintah Rusia mengumumkan hasil sementara dari uji klinis vaksin Covid-19 yang dikembangkannya, Sputnik V. Efektivitas vaksin itu diklaim meningkat dari sebelumnya disebutkan sebesar 92 persen, kini angkanya menjadi 95 persen per dua kali suntikan atau dosis.

Klaim pertama diumumkan Rusia pada awal November 2020, sedang yang terbaru disebutkan telah berdasarkan data uji klinis dari 19 ribu relawan. Sputnik V dikembangkan dengan teknik atau metode yang sama dengan yang digunakan tim vaksin University of Oxford dan AstraZeneca, yakni berbasis teknologi viral vector.

Rusia bukan hanya mengklaim lebih unggul daripada vaksin AstraZeneca-Oxford--sesama vaksin viral vector. Sputnik V juga menyatakan setiap dosisnya bakal lebih murah dibandingkan vaksin Moderna dan Pfizer--dua kandidat dari vaksin mRNA yang dinilai memiliki efikasi selevel, yakni lebih dari 90 persen.

Rusia membuat perbandingan itu meski masing-masing juga masih berdasarkan hasil sementara dan klaim karena belum ada laporan utuh yang dipublikasikan secara ilmiah. Dengan rencana setiap dosis dijual kurang dari $10, Kepala RDIF (Dana Investasi Langsung Rusia) Kirill Dmitriev menambahkan, "Ini bisa dua kali lebih murah."

3. AstraZeneca

3. AstraZeneca

Pada 23 November 2020, AstraZeneca mengumumkan hasil uji klinis fase final atas calon vaksin Covid-19 yang mereka kembangkan memiliki efikasi rata-rata 70 persen. Angka efikasi vaksin ini sejatinya hanya 62 persen, tapi terdongkrak karena 'kecelakaan'.

Saat uji klinis dilakukan rupanya ada kelompok relawan yang hanya menerima 0,5 dosis pada suntikan pertamanya. Tapi, justru pada kelompok inilah efikasi vaksinasi terpantau lebih efektif menghindarkan penerimanya dari Covid-19, yakni mencapai 90 persen.

Kepala Eksekutif AstraZeneca, Pascal Soriot, menyatakan bahwa, baik pada efikasi 62 maupun 90 persen, hasil uji vaksinnya tidak disertai efek samping serius yang terkonfirmasi. Sedang 'kecelakaan' pemberian 0,5 dari dosis seharusnya justru berarti vaksinnya akan bisa dibagikan ke lebih banyak orang nantinya.

"Lebih banyak yang bisa divaksin. Ini artinya kita mempunyai vaksin untuk dunia," kata Direktur Vaksin di University of Oxford, Andrew Pollard, menambahkan. 

4. Pfizer

4. Pfizer

Perusahaan farmasi Amerika, Pfizer, mengumumkan pada 9 November 2020 bahwa berdasarkan data yang diamati awal, vaksin Covid-19 yang dikembangkannya memiliki tingkat efektivitas lebih dari 90 persen. Angka itu, jika bertahan hingga analisa akhir, diaku jauh melampaui efikasi yang diharapkan sebelumnya.

Pfizer menyebut analisa interim berdasarkan kajian terhadap 94 kasus terkonfirmasi positif Covid-19 pertama yang muncul dari antara 43 ribuan relawan uji klinis vaksinnya. Analisa itu mendapati kurang dari 10 persen dari jumlah kasus positif itu yang berasal dari relawan penerima suntikan vaksin.

Selebihnya, lebih dari 90 persen, berasal dari mereka yang menerima plasebo atau cairan biasa sebagai kontrol. Lebih jauh, Pfizer menyatakan bahwa vaksin yang dikembangkannya memberi efek perlindungan tujuh hari setelah pemberian dosis kedua, atau 28 hari setelah yang pertama.

Pfizer mengembangkan vaksinnya itu bersama mitranya dari Jerman, BioNTech. Mereka menggulirkan uji klinis fase tiga atau final sejak 27 Juli lalu dengan merekrut 43.538 relawan. Per Minggu 8 November, sebanyak 38.955 relawannya telah menerima dua kali suntikan.

CEO Pfizer, Albert Bourla, menyatakan vaksinnya lebih dekat untuk bisa membantu masyarakat dunia menghentikan krisis kesehatan global yang sedang melanda. "Kami masih menunggu data keamanan dan efikasi tambahan dari ribuan relawan vaksin kami dalam beberapa pekan ke depan," katanya, saat itu.

5. Moderna

5. Moderna

Raksasa farmasi Amerika Serikat, Moderna , mengklaim vaksin Covid-19 yang dikembangkannya mampu melindungi 100 persen relawan uji coba dari gejala parah Covid-19. Vaksin juga disebut menunjukkan konsistensi untuk semua usia, ras, etnis dan demografi jenis kelamin.

Klaim itu berdasarkan hasil utuh evaluasi terhadap uji klinis tahap tiga yang sudah dijalaninya melibatkan 30 ribu relawan di Amerika Serikat. Total, Moderna mendapati 196 relawan terinfeksi Covid-19, terdiri dari 185 orang dari kelompok penerima plasebo dan 11 dari mereka yang telah menerima suntikan calon vaksin.

Dari 196 kasus Covid-19 itu, sebanyak 30 di antaranya berkembang hingga memiliki gejala parah atau berat dan seorang di antaranya akhirnya meninggal. Namun, seluruhnya dipastikan berasal dari kelompok plasebo. Itu sebabnya Moderna mengeluarkan klaim 100 persen kalau vaksin yang dikembangkannya mampu melindungi dari gejala yang parah.

Moderna juga mengatakan 196 kasus Covid-19 yang sama mencakup 33 orang dewasa berusia di atas 65 tahun. Sebanyak 42 sukarelawan berasal dari berbagai kelompok ras, termasuk 29 Latin, 6 kulit hitam, 4 Asia-Amerika, dan 3 peserta multiras.

Selain itu, Moderna melaporkan tidak ada efek samping baru yang muncul selama pemantauan dilakukan secara internal. Efek samping yang paling umum hanya kelelahan, kemerahan dan nyeri di tempat suntikan, sakit kepala dan nyeri tubuh, yang meningkat setelah dosis kedua namun berumur pendek.

"Kami yakin memiliki vaksin yang sangat mujarab dan memiliki data untuk membuktikannya. Kami berharap dapat memainkan peran utama untuk titik balik  pandemi ini,” kata Kepala Medis Moderna, Tal Zaks, 30 November 2020.

Hasil evaluasi akhir itu menghitung efikasi vaksin secara keseluruhan dalam melawan infeksi virus corona Covid-19 adalah sebesar 94,1 persen. Angka ini sebenarnya lebih rendah daripada yang diumumkan Moderna pada 16 November lalu yakni 94,5 persen namun Zaks menganggap perbedaan itu tak signifikan secara statistik. 

“Vaksin itu menyebabkan gejala mirip flu yang signifikan pada beberapa peserta, yang sejalan dengan vaksin yang begitu manjur. Tapi sejauh ini tidak menimbulkan masalah keamanan yang signifikan,” kata Zaks menambahkan.

6. Johnson & Johnson

6. Johnson & Johnson

Janssen, anak perusahaan dari Johnson & Johnson, raksasa farmasi dari Amerika Serikat, mengumumkan vaksin Covid-19 yang dikembangkannya memiliki efikasi 66 persen dalam uji skala dunia. Hasil ini berbasis uji dengan hanya satu dosis atau satu kali penyuntikan.

Untuk uji vaksin satu dosis Johnson & Johnson ini, efikasi drop dari angka 72 persen di Amerika menjadi 57 persen di Afrika Selatan. Seperti diketahui, satu dari tiga varian baru virus corona Covid-19 yang lebih mudah menular telah terdeteksi menyebar di Afrika Selatan.

Jenis baru virus Covid-19 dari Afrika Selatan itu diberi label varian 501Y.V2 atau B.1351. Beberapa mutasi yang dibawanya, yakni E484K dan K417N, telah mengubah protein paku si virus--bagian yang digunakan virus corona untuk menginfeksi sel.

Di laboratorium, perubahan terbukti memandulkan kemampuan antibodi monoklonal dalam memerangi virus. Dalam draf laporannya awal Januari lalu, Jesse Bloom, ahli biologi evolusi di Fred Hutchinson Cancer Research Center, menunjukkan E484K juga mengurangi potensi sera konvalesen dari beberapa donor hingga 10 kali lipat--meski belum tentu kekebalan tubuh juga menjadi berkurang 10 kali lipat karenanya.

Meski efikasi lebih rendah, Johnson & Johnson meyakinkan tidak ada peserta uji klinis di Afrika Selatan yang sampai dirawat di rumah sakit apalagi sampai meninggal. "Itu bagi kami adalah hasil paling penting dalam uji saat ini," kata Kepala Riset dan Pengembangan Farmasi Global di Johnson & Johnson.

7. Novavax

7. Novavax

Vaksin Covid-19, Novavax, telah melewati pengujian yang mencakup partisipan di Inggris, Amerika Serikat, Meksiko, dan Afrika Selatan. Hasilnya, dua dosis vaksin itu ditemukan mampu melawan varian virus corona Inggris dan memberi efektivitas 86 persen, tapi hanya 60 persen efektif saat melawan varian dari Afrika Selatan.

Uji dalam skala yang lebih kecil di Afrika Selatan bahkan memunculkan angka efikasi 49,4 persen. Novavax melaporkan kalau sekitar enam persen dari peserta uji klinis di Afrika Selatan juga positif HIV. Bagi mereka yang negatif HIV, vaksin Covid-19 yang dikembangkan bisa memiliki efikasi 60 persen tersebut.

Uji Novavax di Afrika Selatan juga mengungkap fakta lain yang mungkin menjadi aral bagi efikasi vaksin: sepertiga partisipan uji klinis didapati pernah terinfeksi Covid-19 sebelumnya dan beberapa terinfeksi kembali. Ini memunculkan dugaan bahwa sistem imun tubuh yang alami tak mampu menghadang varian baru virus corona.

Stanley Erck, Presiden dan CEO Novavax, mengklaim sebagai yang pertama menggelar uji efikasi vaksin Covid-19 miliknya di hadapan virus yang bermutasi. Itu sebabnya tim penelitinya telah memprediksi adanya dampak terhadap hasil uji klinis. "Tapi besar perubahan yang ditunjukkan telah sedikit mengejutkan kami," katanya.

BERBAGAI SUMBER

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus