Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Sains

Titik Terdingin di Indonesia pada Kemarau Juli, Ini Catatan BMKG

Berdasarkan pengamatan BMKG pada 1-5 Juli, suhu udara kurang dari 15 derajat Celsius tercatat di beberapa wilayah, yang seluruhnya di dataran tinggi.

7 Juli 2018 | 10.47 WIB

Prakiraan cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). TEMPO/Fahmi Ali
Perbesar
Prakiraan cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). TEMPO/Fahmi Ali

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Bandung - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat, selain Bandung dan beberapa kota di Jawa, ada daerah lain yang lebih dingin suhunya pada musim kemarau ini. Daerah terdingin lainnya tersebar di lereng atau kaki gunung.

Baca: Suhu Udara Menurun Akibat Aphelion? Ini Penjelasan BMKG

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Tony Agus Wijaya, Kepala Stasiun Geofisika Bandung BMKG, mengatakan, berdasarkan pengamatan BMKG di seluruh wilayah Indonesia pada 1-5 Juli 2018, suhu udara kurang dari 15 derajat Celsius tercatat di beberapa wilayah, yang seluruhnya berada di dataran tinggi atau kaki gunung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Daerah terdingin itu antara lain di Frans Sales Lega, Nusa Tenggara Timur; Wamena, Papua; dan Tretes, Pasuruan. "Suhu terendah tercatat di Frans Sales Lega dengan nilai 12 derajat Celsius pada 4 Juli 2018," kata Tony lewat keterangan tertulis, Sabtu, 7 Juli 2018.

Sementara itu, untuk wilayah lain di Indonesia, selisih suhu terendah selama awal Juli 2018 ini terhadap suhu terendah rata-rata selama 30 hari terakhir tidak begitu besar. Data itu menunjukkan fenomena aphelion memiliki pengaruh yang kurang signifikan terhadap penurunan suhu di Indonesia.

"Masyarakat tidak perlu khawatir secara berlebihan terhadap informasi yang menyatakan bakal terjadi penurunan suhu ekstrem di Indonesia," kata Tony.

Banyak tersiar kabar di tengah masyarakat pada 6 Juli 2018 bahwa suhu udara di wilayah Indonesia akan mengalami penurunan drastis akibat aphelion atau bumi sedang berada di posisi terjauh dari matahari. Fenomena astronomis itu terjadi setahun sekali pada kisaran bulan Juli.

Pada waktu yang sama, wilayah Indonesia tengah berada di musim kemarau. Kondisi ini, ujar Tony, menyebabkan seolah aphelion memiliki dampak yang ekstrem terhadap penurunan suhu di Indonesia.

Faktanya, kata dia, penurunan suhu di bulan Juli belakangan ini lebih dominan disebabkan oleh kandungan uap di atmosfer yang sedikit dalam beberapa hari terakhir di wilayah Indonesia, khususnya Jawa, Bali, juga Nusa Tenggara Barat dan Timur. Kondisi itu terlihat dari tutupan awan yang tidak signifikan selama beberapa hari terakhir.

Berdasarkan teori fisika, kata Tony, uap air dan air merupakan zat yang efektif dalam menyimpan energi panas. Sehingga rendahnya kandungan uap di atmosfer ini menyebabkan energi radiasi yang dilepaskan oleh bumi ke luar angkasa pada malam hari tidak tertahan atau tersimpan di atmosfer. Energi yang digunakan untuk meningkatkan suhu di lapisan atmosfer dekat permukaan bumi juga kurang signifikan.

"Hal inilah yang menyebabkan suhu udara di Indonesia saat malam hari di musim kemarau lebih rendah dibanding saat musim hujan atau peralihan," ujarnya.

Selain itu, pada Juli ini, wilayah Australia tengah berada pada musim dingin. Sifat dari massa udara yang berada di Australia ini dingin, kering, dan memiliki tekanan yang relatif tinggi. Tekanan udara yang relatif tinggi di Australia ini menyebabkan pergerakan massa udara dari Australia menuju Indonesia. Dampaknya, terjadi penurunan suhu udara yang semakin besar pada malam hari di Indonesia, khususnya Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Simak artikel lainnya tentang BMKG di kanal Tekno Tempo.co

Erwin Prima

Erwin Prima

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus