Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepolisian menyatakan korban tewas Tragedi Kanjuruhan bertambah menjadi 132 jiwa setelah seorang pasien yang dirawat meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Saiful Anwar, Malang, Selasa, 11 Oktober 2022. Sementara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyatakan penyebab kematian ratusan korban di Stadion Kanjuruhan adalah penggunaan gas air mata oleh kepolisian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dokter forensik dari Universitas Padjadjaran, Yoni Fuadah Syukriani mengatakan, ada beberapa cara untuk mengetahui penyebab kematian massal seperti Tragedi Kanjuruhan, Malang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Selain otopsi atau pembedahan jenazah, penyebab kematian bisa diketahui dari rekam medis korban selama perawatan beberapa hari sebelum meninggal. “Sebab kematian bisa disimpulkan dari hasil perawatan, juga kalau orang sempat dirawat di rumah sakit,” kata staf medis Kedokteran Forensik Rumah Sakit Umum Pusat dr. Hasan Sadikin Bandung itu, Kamis, 6 Oktober 2022.
Menurut Yoni, otopsi merupakan cara yang meyakinkan untuk mengetahui penyebab kematian seseorang. Namun, jika jasad sudah dikubur dan banyak perubahan yang terjadi, kondisi itu akan menyulitkan pemeriksaan. “Golden period-nya 36 jam setelah wafat,” ujarnya.
Yoni mengatakan, ada dua pihak yang berhak meminta otopsi, yaitu kepolisian dan keluarga. Pihak kepolisian bisa meminta visum et repertum, sementara ajuan dari keluarga disebut otopsi klinik. Cara lain yang bisa ditempuh untuk mengusut penyebab kematian yaitu lewat otopsi verbal atau pengumpulan informasi dari orang-orang terdekat. “Merunut kejadian ke belakang sebelum meninggal,” ujarnya.
Selain dengan kedua cara itu, dugaan penyebab kematian hanya bisa secara teori. Misalnya korban yang terinjak-injak, terdorong dari belakang, terhalang lalu terjepit bagian dada sehingga tidak bisa bernafas. “Atau pada bagian jantung terinjak-injak itu biasanya orang nggak bisa napas. Teori dari kejadian seperti itu banyak,” kata Yoni.
Adapun pada korban yang sempat dirawat beberapa hari kemudian meninggal, penyebab kematiannya bisa disimpulkan. “Dokter kalau menganggap hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium cukup untuk mengarahkan pada sebab kematian, sebetulnya bisa,” ujar Yoni. Cara seperti otopsi bedah mayat, menurutnya, punya tingkat yang lebih tinggi daripada otopsi verbal.
Menurut Yoni, keterangan medis penyebab kematian itu milik ahli waris atau keluarga. Surat keterangan yang merupakan ringkasan kesimpulan dari isi rekam medis itu bisa menjadi barang bukti di pengadilan jika disetujui keluarga. “Misalnya ringkasan rekam medis dari hasil perawatan. Polisi tidak punya akses begitu saja terhadap rekam medis, harus ada izin dari keluarga,” ujarnya.
Pada Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004, kata Yoni, rekam medis itu bisa dibuka untuk kepentingan hukum. “Tetapi bagaimana caranya itu sebetulnya polisi nggak bisa meminta dokter membuka begitu saja tanpa seizin dari keluarga,” ujarnya.
Yoni mengatakan Tragedi Kanjuruhan bisa disebut kasus kematian massal. Untuk mengetahui penyebab kematian, tim pencari fakta harus mengambil beberapa sampel dari jumlah korban. “Kalau untuk penelitian, minimal samplingnya 30 persen. Saya nggak tahu kalau untuk urusan hukum.”
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.