Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Bersama Arema FC dan Barito Putera, Semen Padang FC memiliki jasa besar dalam merintis pengembangan kompetisi sepak bola profesional Indonesia. Ketika liga semiprofesional pertama kali digelar pada 1979-1980, yaitu Galatama (Liga Sepak Bola Utama), mereka hadir sebagai pionir klub semipro. Tapi, di Liga 1 2019 ini, Semen Padang FC tinggal menunggu waktu untuk terdegradasi ke Liga 2.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kompetisi Galatama bertahan sampai 1993-1994 sebelum dilebur bersama para tim legendaris era Kompetisi Perserikatan PSSI ke dalam Liga Indonesia. Semen Padang FC selama itu terus bertahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Tapi, berbeda dengan Arema FC dan Barito Putera yang masih bisa bertahan dengan aman di Liga 1 2019, Semen Padang FC kini menghadapi salah satu titik terendahnya dalam berprestasi. Masa depan tim berjuluk Kabau Sirah ini bisa seperti Sriwijaya FC yang dulu dikenal sebagai langganan juara Liga Indonesia, tapi kini sulit beranjak dari Liga 2.
Semen Padang FC bisa meraih sukses di Liga Prima Indonesia dengan menjadi juara pada 2011-2012. Ini adalah liga yang dibentuk sebagai wujud koreksi atas ketidakpuasan pada penyelenggaraan Liga Super Indonesia. Mereka lantas mewakili Indonesia di Piala Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) dan melaju sampai babak perempat final.
Itulah satu-satunya prestasi tertinggi Semen Padang FC sebelum bertahan sampai Liga 1 tapi dengan grafik yang terus menurun.
Terdegradasinya Semen Padang FC pada akhir Liga 1 2019 ini adalah episode yang menyedihkan. Dulu ada Pupuk Kaltim FC atau lebih dikenal dengan PKT, sang pionir juga pada era Galatama, yang kemudian meredup sampai sekarang.
Pelatih Bali United, Stefano Cugurra Teco, yang sudah memastikan timnya menjuarai Liga 1 2019, mengungkapkan pujiannya atas fasilitas latihan dan lapangan Semen Padang FC ketika Bali United akan bermain di sana.
Klub-klub dengan dukungan perusahaan besar seperti Semen Padang FC, PKT, dan Sriwijaya FC idealnya bisa seperti Ulsan Hyundai FC di Liga Korea atau K-League –untuk menyebut satu contoh- yang tersohor itu.
Sampai pekan ke-33 Liga 1 2019 ini atau sebelum satu laga terakhir musim ini, Semen Padang FC menempati urutan ke-17 dari 18 tim dengan meraih nilai 32.
Barito Putera yang ada di peringkat terakhir yang aman, yaitu urutan ke-15, memiliki nilai 40 dari 33 pertandingan. Jadi bersama peringkat ke-16 Badak Lampung dengan nilai 33 dan peringkat terbawah Kalteng Putra (31), Semen Padang FC harus rela turun ke Liga 2 musim depan.
Terpuruknya Semen Padang FC ini seperti ironis mengingat pelatih-pelatih terkemuka mutakhir yang menangani tim nasional Indonesia berasa dari Sumatera Barat. Ada Indra Sjafri yang baru saja membawa Timnas U-23 merebut medali perak SEA Games 2019. Sebelumnya ada Yeyen Tumena yang memimpin timnas senior dalam laga babak kualifikasi Piala Dunia 2022.
Pemain-pemain legendaris Indonesia juga antara lain berasal dari Padang seperti Suhatman Imam dan Nilmaizar yang juga mantan pelatih Indonesia dan kini menangani Persela Lamongan.
Ada novel The Last of the Mohicans pada 1826 karya James Fenimore Cooper yang berkisah tentang nasib suku Mohican terakhir di tengah-tengah perang antara Perancis dan suku Indian melawan Inggris pada 1757. Semoga Semen Padang FC tak menjadi kisah pionir liga semipro Indonesia yang akan berakhir tanpa jejak setelah tampil di Liga 2 musim depan dan tak kunjung bisa bangkit lagi.