Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Alfred hitchock: orang yang tak...

Alfred hitchcock, meninggal pekan lalu di hollywood, semula ia hanya dikagumi sebagai pembuat cerita tegang yang pintar. (fl)

10 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HITCHCOCK bukanlah makhluk Hollywood. Tapi bukan pula bagian aneh dari kerajaan film itu. Sutradara yang dilahirkan di pinggiran London di tahun 1889 dan meninggal di Hollywood pekan lalu ini pada mulanya hanya nampak unik karena satu hal: dialah satu-satunya sutradara Amerika yang wajahnya dikenal (dan bisa dikenang) jutaan penonton. Serba bulat bak manusia telur dalam cerita khayal Mandrake, tampang itu suka lewat sebentar dalam film yang disutradarainya. Salah satu selingan waktu menonton film Hitchcock adalah menebak di adegan mana sang sutradara tadi lewat. Itu mungkin keisengan Hitchcock. Tapi mungkin juga cerminan kehendaknya untuk meletakkan stempel diri. Sutradara-sutradara Hollywood umumnya tak dikenal sebagai ego yang mau nongol, betapa pun dia seorang diktatur di tepi set. Sebab bagi khalayak pejabat ini bukanlah orang penting, setidaknya tak sepenting Marilyn Monroe atau pun Rock Hudson. Dan bagi studio, terutama di Hollywood beberapa puluh tahun yang lalu, sutradara hanyalah pengarah. "Sayalah yang membikin Wuthering Heights, " teriak cukong Samuel Goldwyn, "[William] Wyler hanya menyutradarainya." Tapi Alfred Hitchcock tidak bisa dibilang hanya menyutradarai, dalam arti sekedar "mengarahkan". Ia secara terus terang selalu memperlakukan para bintang sebagai ternak -- biarpun ternak itu terdiri dari antara lain Grace Kelly (kini permaisuri Raja Monaco). Ia juga seorang yang ingin mengatur film sejak mula, sejak skenario ditulis. "Mengerjakan skrip adalah pembuatan film itu sebenarnya," katanya. Jika skenario yang direncanakan secara terperinci selesai, "filmnya berarti sudah rampung dalam kepala saya." Tak banyak kritisi menganggap penting ucapan Hitchcock ini, meskipun kalimat itu sudah muncul di tahun 1937. Para kritisi --kebanyakan para penulis -- cenderung mengira bahwa para sutradara hanyalah dekorator bagi karya orang lain. Hanya di Prancis, kritisi seperti Andre Bazin menyebut sutradara bukan sebagai pengarah (director), tapi pengarang (auteur). "Gelombang Baru" Maka bukan kebetulan bila kritisi Prancis pula yang kemudian menghormat Hitchcock. Francois Truffaut, mula-mula kritikus, kemudian sutradara juga, datang kepadanya seperti murid datang kepada sang guru. Para komentator film Amerika, yang mulai berbicara tentang film dengan gaya tinggi dan "ilmiah", lazimnya menerima Hitchcock sebagai sekedar penghibur yang pintar. Tapi pengaruh orang seperti Truffau t serta para sineas awal tahun 1960-an agaknya besar dalam menilai Hitchcock kembali. Dengan lebih hormat. Tak heran bila kini, seperti dikatakan Andrew Sarris, "sudah mungkin untuk berbicara tentang Alfred Hitchcock dan Michelangelo Antonioni dalam satu napas, dan dengan peristilahan kritisi yang sama." Tapi kenapa justru Hitchcock? Adakah karena orang lebih ingat Vertigo sebagai filmnya dan bukan film Kim Novak, Rear Window dan The Man Who Knew Too Much sebagai filmnya dan bukan film James Stewart? Truffaut, dengan politique des auteurs-nya, mengatakan bahwa tak ada film buruk dan film baik yang ada adalah sutradara buruk dan sutradara baik. Mungkin ini dalah ungkapan yang agak berlebihan. Tapi agaknya kita akan setuju bila Hitchcock membuat film yang jelek itu hanyalah karena kebetulan: filmnya Topaz, berdasarkan novel Leon Uris, yang tak layak diingat, bisa dilupakan. Lalu sebut karyanya yang lain -- North By Northwest? To Catch A Thief? The Birds? --maka kita akan tahu bahwa dalam hal Hitchcock tak ada film yang buruk. Yang ada hanyalah sutradara yang baik. Bukan karena dia tampil sebagai seorang seniman atau intelektual. Bukan karena dia datang dengan semangat "pembaru" dan karena itu mencoba mengejutkan khalayak tapi minta didiamkan bila ada kecerobohan teknis. Hitchcock pernah mengatakan bahwa dalam filmnya seperti Vertigo plot hanyalah soal kedua. Tapi ia mengatakan itu hanya hendak mengecam kritisi yang mendesakkan logika. "Saya selalu mengatakan logika itu membosankan," katanya. Maka ia pun kembali kepada film sebagai bagian dari ilusi, sebagian dari fantasi -- dan untuk bisa meyakinkan, kuncinya adalah. teknik. Tapi "teknik" tak berarti kepintaran set, ketrampilan kamera, kehebatan pemrosesan. Di atas semua itu, teknik, seperti dikatakannya, adalah "teknik mengisahkan cerita". Dan siapa pun yang pernah mencoba menulis atau memfilmkan cerita detektif, siapa pun yang ingin memelihara dan mengatur suspens, keahlian berkisah adalah ujian utama. Yang lain soal berikutnya. Banyak seniman dan intelektual mungkin mencemoohkan ini. Mereka lebih menyukai cerita "berbobot" tapi sebenarnya tak menarik atau ruwet. Tapi jika anda menyukai film-film Hitchcock, yang berhasil membuat ketegangan secara mengesankan terus-menerus, (sejak 1929, dengan Blackmail), anda pasti setuju bahwa sebuah film boleh saja membawa pesan, tapi jelas tak boleh mencapekkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus