Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BATIK telah merogoh hati orang Barat. Mereka tidak puas hanya
menjadi pembeli iekarang. Mereka telah bikin sendiri lukisan
batik. 17 s/d 23 Juni yang lalu mialnya, lebih 60 buah karya
dari 6 orang seniman yang dikordinir oleh Galerie Smelld, Koln
(Jerman), tampak di Ruang Pameran TIM. Di antara mereka terselip
masing-masing seorang Swiss, Austria, Inggeris dan Italia -
walaupun yang terakhir, Ottavio Roma, terpaksa mencabut
karya-karyanya karena merasa ruang pameran tak memenuhi
persyaratan. Ini adalah pameran yang juga ditambah dengan
pertunjukan barang-barang perhiasan Australia oleh konsulat
negara tersebut.
Tetapi batik yang berasal dari tangan mereka ini memang lain.
Watak yang melantun dari karya-karya tersebut khas. Juga
material dan proses teknik di belakangnya memberi hawa yang
berbeda. Satu hal, orang-orang itu memang telah belajar dan
mendapat kemahiran teknis. Kemudian, selebihnya, tergambar bahwa
mereka amat merdeka. Mereka tidak mencontek - mungkin ini sesuai
dengan temperamen mereka.
Bagong Atau Amri
Kalau di Indonesia batik dimulai sebagai kerajinan artistik
untuk barang pakai, pada orang-orang itu batik tampaknya
langsung menjadi kecenderungan baru dalam seni lukis. Karena itu
tujuannya bukanlah mendekor tubuh manusia. Ia tidak menstilir
alam - lingkungan - sebagai ornamen-ornamen yang memberi
suasana, tetapi langsung merokam alam sebagaimana lukisan
naturalis. Karena itu kita tidak banyak melihat stilisasi. Juga
tidak motif-motif tertentu yang diulang-ulang, sehingga
batikbatik itu tidak ornamentik. Ia cenderung pada lukisan
dekoratif dan abstrak.
Pada senilukis batik pribumi umumnya, kita selalu menjumpai
rasa. Baik pada motif-motif tradisionil maupun pada batik-batik
kontemporer. Pada batik-batik Eropa ini yang kita temukan ada!ah
suasana. Warna, garis, komposisi, lebih merupakan kelanjutan
keinginan untuk meniru alam. Sedang pada batik-batik pribumi
kontemporer, ambillah misalnya Bagong atau Amri Yahya atau
Mustika, hasrat meniru sama sekali tak terpikirkan. Karena
mereka tidak tergoda lagi oleh sosok, tapi ekspresi.
Dengan kata lain, jelas sekali kegairahan batik bagi
pembatik-pembatik tamu ini adalah kegairahan teknik. Sedang para
pelukis pribumi, dengan teknik batik seakan-akan mencuatkan
warna lokal - warna negeri mereka. Ini menyebabkan batik-batik
kontemporer pribumi sering terasa total terlepas dari bermutu
atau tidak.
Mohammad Diponegoro
Sebuah lukisan batik milik Margot Lubke yang memperlihatkan
wajah seorang wanita keriput. boleh dianggap sebagai contoh yang
bisa menjelaskan. Dalam lukisan ini pelukis sangat bergairah
untuk mencalai pemotretan secermat-cermatnya lewat teknik
batik. Warna-warna yang retak pada wajah wanita itu memberi
suasana antik pada seorang tua. Pelukis tampaknya sedang mencoba
menaklukkan proses batik sebagai teknik yang pasti. Sementara
kebalikannya, ketidakterdugaan dalam proses batik sering
dimanfaatkan oleh seniman-seninlan pribumi sebagai kejutan yang
bahkan sering jadi fokus utama.
Sensasi alam mimpi - sebagaimana kalau kita melihat batik-batik
kontemporer pribumi - tidak dijumpai pada batik-batik tamu yang
semuanya merupakan lukisan biasa dengan material penggarapan
yang berbeda. Ini memang bisa menarik kalau didiskusikan
prosesnya. Sedang batik-batik pribumi bukan lagi masalah proses.
Tapi betulkah batik pribumi hanya begini saja motifnya?
Tanpa dinyana, sebab tidak banyak orang yang tahu, tokoh teater
di Yogya yang ada juga bergerak dalam dunia batik, Mohammad
Diponegoro, ternyata sudah memulai lukisan batik seperti yang
diperagakan para pelukis Barat dalam pameran ini, paling sedikit
sejak tiga tahun yang lalu. Selain lukisan batiknya yang sejenis
dengan rekan-rekannya pribumi, ia juga mengambil medium batik
untuk secara tidak tanggung-tanggung memotret alam.
Ia melukis sepojok hutan yang lebat dengan sorotan matahari di
sela pohonpohon besar, misalnya. Atau sebidang sawah yang
menguning dalam tiupan angin. "Masih sulit sekali untuk membuat
batang-batang padi ini 'bergoyang'. Pendadakan-pendadakan dalam
batik tidak sepenuhnya bisa kita kendalikan", katanya tahun lalu
-- sekedar menyinggung sesuatu tentang proses tadi.
Hasil-hasilnya, yang tak pernah dipamerkan itu, juga dipajang di
toko batik dan suvenir di Yogya.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo