Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Awas, Jerman Juga Bikin Batik

Lebih dari 60 karya lukis batik dari 26 orang seniman Eropa dipamerkan di TIM. Bercorak lukisan alam nyata, bukan ekspresi. Mohamad Diponegoro di Yogya telah mulai tiga tahun yang lalu.

2 Juli 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BATIK telah merogoh hati orang Barat. Mereka tidak puas hanya menjadi pembeli iekarang. Mereka telah bikin sendiri lukisan batik. 17 s/d 23 Juni yang lalu mialnya, lebih 60 buah karya dari 6 orang seniman yang dikordinir oleh Galerie Smelld, Koln (Jerman), tampak di Ruang Pameran TIM. Di antara mereka terselip masing-masing seorang Swiss, Austria, Inggeris dan Italia - walaupun yang terakhir, Ottavio Roma, terpaksa mencabut karya-karyanya karena merasa ruang pameran tak memenuhi persyaratan. Ini adalah pameran yang juga ditambah dengan pertunjukan barang-barang perhiasan Australia oleh konsulat negara tersebut. Tetapi batik yang berasal dari tangan mereka ini memang lain. Watak yang melantun dari karya-karya tersebut khas. Juga material dan proses teknik di belakangnya memberi hawa yang berbeda. Satu hal, orang-orang itu memang telah belajar dan mendapat kemahiran teknis. Kemudian, selebihnya, tergambar bahwa mereka amat merdeka. Mereka tidak mencontek - mungkin ini sesuai dengan temperamen mereka. Bagong Atau Amri Kalau di Indonesia batik dimulai sebagai kerajinan artistik untuk barang pakai, pada orang-orang itu batik tampaknya langsung menjadi kecenderungan baru dalam seni lukis. Karena itu tujuannya bukanlah mendekor tubuh manusia. Ia tidak menstilir alam - lingkungan - sebagai ornamen-ornamen yang memberi suasana, tetapi langsung merokam alam sebagaimana lukisan naturalis. Karena itu kita tidak banyak melihat stilisasi. Juga tidak motif-motif tertentu yang diulang-ulang, sehingga batikbatik itu tidak ornamentik. Ia cenderung pada lukisan dekoratif dan abstrak. Pada senilukis batik pribumi umumnya, kita selalu menjumpai rasa. Baik pada motif-motif tradisionil maupun pada batik-batik kontemporer. Pada batik-batik Eropa ini yang kita temukan ada!ah suasana. Warna, garis, komposisi, lebih merupakan kelanjutan keinginan untuk meniru alam. Sedang pada batik-batik pribumi kontemporer, ambillah misalnya Bagong atau Amri Yahya atau Mustika, hasrat meniru sama sekali tak terpikirkan. Karena mereka tidak tergoda lagi oleh sosok, tapi ekspresi. Dengan kata lain, jelas sekali kegairahan batik bagi pembatik-pembatik tamu ini adalah kegairahan teknik. Sedang para pelukis pribumi, dengan teknik batik seakan-akan mencuatkan warna lokal - warna negeri mereka. Ini menyebabkan batik-batik kontemporer pribumi sering terasa total terlepas dari bermutu atau tidak. Mohammad Diponegoro Sebuah lukisan batik milik Margot Lubke yang memperlihatkan wajah seorang wanita keriput. boleh dianggap sebagai contoh yang bisa menjelaskan. Dalam lukisan ini pelukis sangat bergairah untuk mencalai pemotretan secermat-cermatnya lewat teknik batik. Warna-warna yang retak pada wajah wanita itu memberi suasana antik pada seorang tua. Pelukis tampaknya sedang mencoba menaklukkan proses batik sebagai teknik yang pasti. Sementara kebalikannya, ketidakterdugaan dalam proses batik sering dimanfaatkan oleh seniman-seninlan pribumi sebagai kejutan yang bahkan sering jadi fokus utama. Sensasi alam mimpi - sebagaimana kalau kita melihat batik-batik kontemporer pribumi - tidak dijumpai pada batik-batik tamu yang semuanya merupakan lukisan biasa dengan material penggarapan yang berbeda. Ini memang bisa menarik kalau didiskusikan prosesnya. Sedang batik-batik pribumi bukan lagi masalah proses. Tapi betulkah batik pribumi hanya begini saja motifnya? Tanpa dinyana, sebab tidak banyak orang yang tahu, tokoh teater di Yogya yang ada juga bergerak dalam dunia batik, Mohammad Diponegoro, ternyata sudah memulai lukisan batik seperti yang diperagakan para pelukis Barat dalam pameran ini, paling sedikit sejak tiga tahun yang lalu. Selain lukisan batiknya yang sejenis dengan rekan-rekannya pribumi, ia juga mengambil medium batik untuk secara tidak tanggung-tanggung memotret alam. Ia melukis sepojok hutan yang lebat dengan sorotan matahari di sela pohonpohon besar, misalnya. Atau sebidang sawah yang menguning dalam tiupan angin. "Masih sulit sekali untuk membuat batang-batang padi ini 'bergoyang'. Pendadakan-pendadakan dalam batik tidak sepenuhnya bisa kita kendalikan", katanya tahun lalu -- sekedar menyinggung sesuatu tentang proses tadi. Hasil-hasilnya, yang tak pernah dipamerkan itu, juga dipajang di toko batik dan suvenir di Yogya. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus