Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Di tanggal 24 Juli 1981, sastrawan Indonesia Buya Hamka meninggal dunia. Semasa hidupnya, ia telah menyumbangkan banyak karya sastra. Selain itu, ia juga aktif dalam berbagai organisasi keislamanan di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buya Hamka memiliki nama panjang Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Buya adalah panggilan khas untuk orang Minangkabau. Melansir kebudayaan.kemdikbud.go.id, disebutkan bahwa Hamka hanya menamatkan sekolahnya pada umur 10 tahun atau kelas dua di SD Maninjau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, ia juga memiliki ketertarikan untuk belajar pada ilmu agama. Oleh karena itu, ia mendalami ilmu tersebut saat di Sumatera Thawalib, Padang Panjang. Tempat itu merupakan sekolah islam yang didirikan oleh ayahnya sendiri sepulangnya dari kota suci Makkah.
Setelahnya sekitar tahun 1927, ia akhirnya diangkat menjadi guru agama di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan. Melihat pengabdiannya sebagai guru agama terpandang, lalu ia juga mulai mendirikan Madrasah Mubalighin untuk anak-anak Islam di sana.
Dengan ilmu agamanya ia lalu diamanahkan oleh para ulama untuk menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Selain itu, ia pernah menjadi Ketua Umum Yayasan Pesantren Islam Al Azhar.
Selain ilmu agama, ia dikenal dengan dengan ketertarikannya pada konsep jurnalistik sekitar tahun 1920-an. Hal tersebut yang membuat dirinya sempat berkarir di berbagai penerbit surat kabar. Kemandiriannya membuat ia menerbitkan sendiri majalah tengah bulanan, Panji Masyarakat.
Secara bersamaan, Muhamadiyyah sebagai tempat yang dikenal untuk melatih pendakwah dan pembelajaran ilmu agama islam merupakan salah satu hasil pendirian dan gagasannya. Sebagai imbalan jasa, namanya diabadikan menjadi sebuah perguran tinggi di Yogyakarta dan Jakarta.
Hamka dapat dikatakan sebagai manusia yang multitalenta. Disebutkan juga dalam catatan Tempo, ia telah memiliki lebih dari 90 karya tulis yang didominasi berbagai genre seperti agama, sejarahnya, filsafat, dan bahkan romansa anak muda.
Karyannya pun masih bertahan hingga saat ini, bahkan ada sempat dicetak ulang beberapa kali dan dinikmati dari berbagai kalangan. Beberapa karya fiksinya ada yang diangkat menjadi film oleh rumah produksi perfilman Starvision Plus dan Falcon Pictures, yaitu pada film berjudul Di Bawah Lindungan Ka'bah serta Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
Novel berjudul Si Sabariah merupakan karya pertamanya di tahun 1928. Namun resmi diterbitkan dengan judul Di Bawah Lindungan Ka’bah pada tahun 1936. Hingga saat ini sejumlah karyanya telah dietak ulang sampai berpuluh-puluh kali.
Sementara menurut ahli Sejarah Indonesia, R. Rush dalam bukunya berjudul Hamka’s Great Story A Master Writer’s Vision of Islam for Modern Indonesia, mengatakan bahwa segala karya yang telah dibuatnya memiliki tujuan besar di balik pembuatannya. Paling dapat diamati bahwa ia mampu mendidik masyarakat dengan sejumlah gagasan pemikirannya.
Tak tanggung-tanggung, ia kemudian diberikan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar atas karya-karyanya. Buya Hamka berpulang pada 24 Juli 1981 dan jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir.
FATHUR RACHMAN
Baca juga : Profil Nagari Sungai Batang, Desa Wisata Tempat Kelahiran Buya Hamka