PADA 2 dan 3 Oktober malam lalu, Penata Tari Boi G. Sakti tampil dalam Jakarta International Festival of the Perform ing Arts (JIFPA) ke-2 di Gedung Kesenian Jakarta, dengan empat buah karya: Batagak (1989), Baitulah (1990), Dongeng yang Berlari (1991), dan Amai-Amai (1992). Nomor pembuka, Baitulah (Begitulah), pertama kali saya lihat dalam pentas "Sumber Cipta", bersama penata tari Maxine Heppner dari Kanada, pada 30 Agustus 1991. Garapan ini memanfaatkan berbagai elemen tradisi Minangkabau dan ditarikan oleh tiga pria dan empat wanita. Inspirasinya datang dari suasana permainan yang selalu hadir dalam pertunjukan tari Minang tradisional di desadesa. Elemen tradisi yang tampil kuat adalah musik pengiring yang ditata oleh M.P. Halim dan Epi Martison untuk instrumen lokal (pupuik, saluang, gandang, vokal) dan celoteh penari: ciek, duo, tigo, dan seterusnya. Ada pula gerak dan sikap tari tradisi: entakan kaki, tepukan paha, lompatan harimau, posisi tangan lurus tajam, sikap mematung, tagak itiak (ber diri seperti bebek), dan lainlain. Cepat dan mengalir adalah ciri garapan Boi. Bloking penari berganti cepat: 1-6, 4-2, serempak, 4-3, 3 keluar 1 masuk, 2 pergi 5 datang, susul-menyusul. Dua kelompok berpapasan, yang satu berbalik bergabung dengan yang lain adalah kebiasaan Boi mempersingkat transisi. Boi juga suka gerak berputar pada poros, bergulung di lantai, menendangkan kaki lurus tinggi ke depan, bergerak sambil mendesah, melenguh, dan berteriak. Amai-Amai (pertunjukan kedua) dan Dongeng yang Berlari (pertunjukan penutup) samasama memasalahkan wanita, dan digarap dengan pendekatan yang tak jauh beda dengan nomor pertama. Lihat saja, misalnya, adegan seorang penari meloncat dan ditangkap hinggap di tubuh pasangannya. Gerakan ini dilakukan dengan variasi posisi, tetapi melihatnya berulang di tiga nomor terasa berlebih. Upaya memecah monotoni dengan memberikan iringan nontradisi pada nomor terakhir tak banyak membantu. Dalam suasana semacam ini, Batagak, yang tampil sesudah jedah, membawa cerah seperti kostumnya: garis tepi dan bercak merah di atas latar hitam yang luas. Nomor ini paling dekat dengan tradisi, dan jika Boi memang memandang tradisi sebagai "tambang emas yang tidak habis-habisnya untuk digarap", ke sanalah ia harus pergi. Dengan catatan: bukan sekadar untuk "menyiasati" tetapi untuk "menggali dan memahami". Beberapa bulan lalu, Boi menjelaskan perubahan namanya kepada saya: bukan Boy tetapi Boi. "Memangnya kenapa?" tanya saya. "Boy terlampau berbau Barat," jawabnya. Saya membaca hal tersebut sebagai ungkapan keinginan Boi untuk "berubah" dewasa, dan hasrat mendalami akar budaya. Kisah munculnya Yandi Yasin (nama asli Boi), si anak ajaib yang tak penurut, di dunia tari Indonesia memang menarik. Dahulu Boi menganggap tari hanya cocok untuk wanita. Di rumah, ia bahkan suka mencemooh anak-anak lelaki yang setiap hari belajar tari dari ibunya (Gusmiati Suid). Baru pada usia 18 tahun, setelah biru lembam di jalanan, Boi tergerak dan tekun berlatih. Setahun kemudian ia masuk Institut Kesenian Jakarta, dan langsung meraih beberapa penghargaan koreografi. Boi yang sigap dan penuh energi memang dianugerahi kepekaan menata gerak. Lebih dari itu ia mempunyai kemampuan untuk "bermain" dengan elemen-elemen yang familiar, dan menatanya secara tidak familiar dan menarik. Kebaruan dalam garapan Boi muncul karena kombinasi tak wajar dari elemen-elemen yang kita akrabi. Inilah yang membawa beberapa karyanya tampil di forum internasional: India, Prancis, Hong Kong, Kanada, dan Amerika Serikat. Tetapi kelebihan ini bisa menjebak, terutama jika tidak diimbangi dengan upaya mencari kedalaman dan akar. Karena permainan adalah kegiatan yang "ringan" dan "permukaan." Ini terasa dalam pertunjukan Boi di Gedung Kesenian Jakarta ketika harus tampil sendirian mengisi seluruh acara malam pergelaran. Bermain dengan bentuk memang dapat memikat tetapi hanya sesaat. Permainan memang menyenangkan tetapi tak boleh menyita seluruh hidup. Boi perlu memperkaya bukan saja pendekatan tetapi juga pengalaman. Yang paling wigati adalah memantapkan isi dan jati diri. Sudah saatnya Boi mengisi batere dengan menggali dan mendalami tradisi sendiri. Tidak untuk bersikap tradisional tetapi kreatif menciptakan dasar latihan untuk mendidik penari-penarinya sendiri. Ini perlu agar jurang antara keinginan kreatif penata tari dan keragaman teknik penari, yang sampai sekarang selalu diambil dari sana-sini, terjembatani. Sal Murgiyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini