Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Cerita Sutradara Fajar Nugros Hindari Tiga Latah Horor di Film Inang

Fajar mengungkapkan dalam film Inang itu, ia berupaya mengungkap makna tersembunyi bagaimana masyarakat memandang perempuan.

23 Oktober 2022 | 13.15 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Yogyakarta - Sutradara, Fajar Nugros mengatakan, ia berusaha menghindari tiga latah di film Inang, karyanya yang rilis pada Oktober ini. Film bergenre horor-thriller yang dibintangi Naysilla Mirdad dan Dimas Anggara itu berhasil menarik 700 ribu penonton selama delapan hari pemutaran perdana di layar bioskop tanah air. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film ini berkisah seorang perempuan muda yang hamil di luar nikah yang berusaha untuk survive atau berjuang namun malah terjebak dalam ritual sesat. "Latah pertama yang saya hindari dalam film ini tidak jualan jump scare dan adegan sadisme," kata Fajar dalam temu penggemar di Yogyakarta, Sabtu petang, 22 Oktober 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Fajar, adegan- adegan yang mempermainkan jantung penonton tak harus jadi ciri utama film horor. Namun bisa menyorot tentang sebuah pertentangan yang terjadi dalam masyarakat. Seperti yang ia tekankan dalam film ini, bagaimana ritual-mitos yang masih dipercaya sebagian masyarakat dengan sains atau logika kekinian.

Tampilkan Kekuatan Perempuan

Adapun latah kedua yang dihindari Fajar dalam film horor pertama garapannya itu yakni menghindari figur perempuan yang sering digambarkan sebagai korban yang melakukan balas dendam setelah nyawanya direnggut. "Dalam film ini saya angkat perempuan yang bisa bertahan, melawan hal yang menimpanya saat masih hidup, bukan setelah mati," kata Fajar. 

Fajar juga membalik latah film horor tanah air yang sering menggambarkan desa sebagai lokasi bermulanya masalah ketika disambangi orang orang dari perkotaan. "Umumnya dalam film horor kita itu orang kota datang ke desa lalu menabrak mitos dan dihantui," ujar dia. "Jadi seolah olah desa jadi tempat yang keramat dan menakutkan bagi orang kota, dan orang kota sering digambarkan sebagai orang kurang beradap dan seenaknya di daerah." 

Dalam film ini digambarkan oleh Fajar perspektif yang lain. Kota ditempatkan sebagai tempat yang menakutkan bagi siapapun yang datang manakala pemimpinnya tak bisa memberikan keadilan bagi warganya.

Fajar mengungkapkan dalam film itu, ia berupaya mengungkap makna tersembunyi bagaimana masyarakat memandang perempuan. “Inang itu maknanya induk, di sini saya ingin mengajak bagaimana kita peduli pada perempuan di tengah pergulatan generasi yang masih percaya mitos dan yang tidak percaya,” katanya. 

Menurut dia, inspirasi film ini tak lepas pula dari perjalanannya sebagai sineas asal Yogyakarta yang masih lekat dengan tradisi, ritual, dan mitos meski menyandang status kota pendidikan dan gudangnya kampus. "Saya dulu masih mengalami dawuh (perintah) Raja Keraton Yogyakarta untuk membuat sayur lodeh untuk menolak bala, saya ingin merespon bagaimana anak-anak sekarang milenial dan gen Z masih percaya hal-hal seperti itu,” kata dia 

Satu bagian pengalaman tradisi yang diangkat dalam film ini salah satunya pemilihan mitos Rebo Wekasan. Fajar menceritakan kisah orang yang lahir pada satu hari buruk setiap hitungan 365 hari dalam satu tahun itu.

PRIBADI WICAKSONO

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus