Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Dari Salon Langsung ke Layar Putih

5 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mathias Muchus masih ingat ciuman "hangat" pada tahun 1988 itu. Hari itu berlangsung acara premiere film Istana Kecantikan, sebuah film dengan Mathias Muchus memerankan tokoh utama seorang gay bernama Nicko, di Surabaya. Di tengah acara, secara spontan ia mendapat sun dari seorang gay. "Saya dianggap pahlawan," kenangnya. Boleh dibilang memang film yang disutradarai Wahyu Sihombing dengan skenario Asrul Sani itu adalah film pertama Indonesia yang bertema homoseksualitas. "Nicko digambarkan berperilaku sebagi lelaki tulen, tidak klemar-klemer seperti bencong," ujar Mathias Muchus.

Sinopsisnya begini. Arkian, Nicko menyadari dirinya gay semenjak kecil. Tiada yang tahu, ia menyimpannya sendiri. Ia dijodohkan dengan seorang wanita (diperankan Nurul Arifin), kawin, dan mendapat satu anak. Ketika istrinya tahu bahwa ia gay, perkawinan mereka retak. Apalagi Nicko berpacaran dengan lelaki. Konflik timbul ketika Nicko memergoki pacarnya berhubungan intim dengan istrinya. Akhirnya, di depan istrinya, Nicko membunuh lelaki itu.

Sementara film itu mengukuhkan Nicko sebagai pahlawan, tak demikian bagi Rizal Iwan, pembicara yang skripsinya di Universitas Indonesia meneliti representasi kaum gay dalam film Indonesia. Bagi Rizal, Istana Kecantikan mendiskreditkan kaum gay. Pada naskah asli Asrul Sani terdapat adegan perkawinan gay dan ciuman, adegan yang dihilangkan saat syuting. Mathias Muchus tak menampik hal itu. Tapi, "Saya bisa mengerti LSF (Lembaga Sensor Film) begitu karena masyarakat bisa syok," ujarnya. Namun Rizal memandang itu justru memberikan citra negatif pada kaum gay. "Kesannya gay tidak bisa kawin dan bila berhubungan seks hanya one night stand," katanya.

Nicko ditampilkan laki-laki tulen, tapi teman-temannya ditampilkan banci, identik dengan salon. Padahal, seperti banyak ditunjukkan film asing di Festival Q, tingkah laku gay tidak seperti itu. Sampai sekarang, representasi gay di televisi tetap bak Emon—yang diperankan Didi Petet dalam Catatan Si Boy. "Hanya untuk ditertawakan," Rizal menam-bahkan.

Sejak saat itu, belum ada film layar lebar kita bertema gay lagi, meski ada film pendek 15 menit mahasiswa Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Lono Abdul Hamid berjudul Summer Wind (produser Gotot Prakosa, musik Jadug Ferianto) tentang waria—sebuah cerita tentang seorang ibu yang kaget anaknya di kota berubah jadi wandu. Dari sisi sinematik, film ini cukup indah, dan waria yang ditampilkan telanjang terlihat susunya. Mungkin layar lebar tentang homo masih cukup riskan di sini. Di akhir film Istana Kecantikan bahkan LSF sempat memaksakan kalimat: gay adalah orang sesat.

Di Malaysia dan Singapura, malah negara memiliki undang-undang melarang pertemuan gay dan lesbi. Ancamannya hukuman penjara. Itu sebabnya Young Tan, sutradara gay Singapura, yang pernah memfilmkan kehidupan waria di Bugis Street, sebuah distrik lampu merah di Singapura, pindah ke Taiwan. Di sana ia membuat film berjudul Bi schonnen, soal kehidupan gay di Taiwan. Akan halnya di Malaysia, pernah atas order Majelis Aid Malay, sutradara Oesman Ali membuat film penyuluhan waria berjudul Bukak Api. Tapi, karena hasilnya dianggap terlalu blakblakan, film itu tak jadi ditayangkan di TV. Oesman akhirnya mengedarkannya sendiri, termasuk di Festival Q Jakarta ini.

Di samping sensor pemerintah, ada sensor diri yang cukup kuat. Misalnya film dokumenter sederhana tentang gay di Bali karya Harry Dago. Sutradara Pachinko ini pernah mendokumentasikan kehidupan lima gay Bali dalam Coming Out (1999). Mereka memiliki latar belakang berbeda: dari pemilik butik, penari latar yang masih remaja, hingga manajer hotel berbintang. Menurut bujangan kelahiran 1969 ini, tak semuanya berani disorot mukanya. "Kalau mereka ingin ditutupi jati dirinya, saya sorot dari belakang, jadi bisa bercerita dengan nyaman," kenangnya.

Film diawali dengan adegan tiga gay di pantai. Memunggungi lensa, mereka bercakap-cakap tentang siap-tidaknya memproklamasikan diri gay—coming out istilahnya. Adegan ini disambung pengakuan: apakah mereka pernah berhubungan seks dengan lawan jenis, apa pekerjaan mereka, bagaimana awal merasa diri gay. Bahkan ada adegan esek-esek di sela-sela pohon bambu di lapangan Puputan Badung, Denpasar—yang diambil dari jarak jauh sekitar dua menit.

Pernah sekilas cuplikan film ini tampil di layar televisi. Tak dinyana itu membuat "aktor-aktor" Harry berang. Mereka tak siap. Ada yang tak berani ke luar rumah hingga dua minggu. Harry merasa bertanggung jawab, bahkan ia tak memberikan izin ketika panitia Festival Q minta menayangkannya. "Saya tak yakin, jika film itu dikeluarkan saat ini pun, masyarakat mau terima," kata lelaki yang memerankan sosok homo dalam film Kuldesak itu.

Seno Joko Suyono, Endah W.S., Telni Rusmitantri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus