Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dan Montserrat pun tewas. Dari atas panggung terdengar bunyi tembakan algojo. Inilah akhir drama karya Immanuel Robles berlatar perjuangan Simon Bolivar melawan Spanyol di Venezuela yang disutradarai Joseph Ginting.
Terakhir, Ginting menyutradarai Teater Lembaga pada 1999 lewat Street Car Named Desire karya Tennessee William dan Miss Julie karya Strindberg. Keduanya tampil dengan aktor-aktor yang telah matang, plus aktris seperti Donna Harun dan Inne Febriyanti. Kedua pertunjukan itu lumayan kuat. Kini, semua pemain masih bersatus mahasiswa teater Institut Kesenian Jakarta. Kostum dirancang para mahasiswi jurusan desain, dan musik oleh anak-anak jurusan musik. Sebuah ekspresi kekeluargaan almamater.
Montserrat adalah lakon yang sarat konflik psikologis dan dilema moral. Seorang kapten Spanyol bernama Montserrat yang pro Bolivar memberikan bocoran kepada sang hero, sehingga ia pun lolos dari penggerebekan. Ia tak mau memberi tahu persembunyian Bolivar. Kolonel Izquerdo, atasannya, menyeret enam orang tanpa salah dan mengancam akan menembaknya satu per satu bila Montserrat tak buka mulut.
Begitu tirai dibuka, kita dihadapkan pada set sebuah ruangan. Tiga ”perwira kerajaan Spanyol”—Moralez, Antonanzas, Zuazda—duduk bersama membicarakan pengkhianatan Montserrat. Namun sejak menit pertama penonton bisa melihat mereka tetap seperti orang Indonesia yang berpura-pura berpakaian serdadu ala Spanyol.
Problem klasik agaknya tak bisa diatasi oleh Teater Lembaga: ketidakcocokan postur tubuh rata-rata aktor kita dengan jenis kostum Barat era lampau. Persoalan lain dalam penampilan pertama para mahasiswa pembela panji Teater Lembaga itu adalah dialog aktor-aktrisnya yang kurang tenang. Setiap perkataan disambar, disambung dengan cepat dengan perkataan lain. Sehingga kurang endapan emosi. Meski tidak semuanya, perbedaan karakter antartokoh tak muncul. Ada permainan Aqiem sebagai Izquerdo yang boleh dipuji. Ia aktor yang menjanjikan.
Inti konflik adalah ketika enam warga itu—seorang pemain sandiwara, saudagar kaya, ibu, pemuda, perajin poci dan perawan jelita bernama Helena—hendak dibunuh. Mereka, dengan gayanya sendiri-sendiri, membujuk Montserrat agar luluh hatinya demi nasib mereka. Ya, satu per satu, tapi mereka tetap mati. Ini sesungguhnya mencekam. Sayangnya, adegan di atas panggung tidak sanggup menebar hawa ketakutan kepada penonton. Permainan Bowo Gp. sebagai Montserrat kurang menunjukkan dilema batin.
Titik dramatis yang penuh refleksi teologis yang jadi jantung drama ini juga datar. Munculnya Padre Coronil (Andri T.W.) menghidupkan harapan para warga tak berdosa itu untuk selamat. Tapi, menurut pastor itu, mereka harus bahagia dipilih Tuhan sebagai tumbal demi tetap langgengnya Spanyol untuk penyebaran Katolik. ”Tidak baik melawan kehendak Tuhan,” nasihatnya. Dialog-dialog Padre yang banyak mengutip Alkitab justru untuk membenarkan kebiadabannya terasa kurang menggetirkan.
Untung bagian terakhir, setelah Helena (Euis Muliasari), seorang mulato cantik keturunan Indian, akan diperkosa oleh Izquerdo, dapat ditutup dengan baik. Nasib Helena membuat Montserrat akan ”bernyanyi”. Tapi niat itu dihalangi oleh Helena, meski itu harus ditukar nyawa mereka berdua. ”Sekarang bukan saatnya lagi menjadi pengecut,” teriaknya.
Joseph Ginting harus menggembleng lebih tangguh kader-kader baru Teater Lembaga ini, terutama kepekaan ruang, tafsir peranan, dan kostum. Tapi paling tidak Teater Lembaga mampu memperlihatkan secara lancar bahwa Montserrat adalah naskah bagus, yang berbicara tentang pahitnya sebuah cita-cita kebebasan. Yang secara skenografi maupun keaktoran menantang untuk dieksplorasi lebih lanjut.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo