Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Drama musikal Garda the Musical dipentaskan.
Garda the Musical disutradarai oleh Eko Supriyanto.
Menyuguhkan fabel dengan kisah sederhana dan musik berwarna.
BARGOTA meraung keras begitu menatap Ebo terjerembap tewas di tangan Garda. Tubuhnya lemas lunglai ketika sosok lelaki cebol abdi kesayangannya itu terempas dari pundaknya. Separuh nyawa Bargota ada di dalam tubuh Ebo. Raungan Bargota makin menyayat saat ia melihat pasukannya habis dibabat pasukan Wulengkung, anak buah Garda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Demikian klimaks drama musikal Garda the Musical yang dipentaskan pada Sabtu malam, 29 April lalu, di Teater Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Pertunjukan yang disutradarai Eko “Pece” Supriyanto ini sesungguhnya hanya fabel biasa. Drama ini menjadi tidak biasa ketika digarap dengan cerdas oleh Eko’s Dance Company, yang berkolaborasi dengan mahasiswa dan dosen Jurusan Tari, Teater, dan Seni Rupa ISI Surakarta. Pelibatan penyanyi dan artis multibakat Dwi Sasono, Widi Mulia, Beyon Destiano, dan Woro Mustiko menjadikan tampilan Garda the Musical lebih bersinar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Garda the Musical berkisah tentang dunia burung yang ada di Nusantara. Burung garuda, kedasih, enggang, kasuari, beo, kenari, merpati, dan burung-burung lain menjadi tokoh-tokoh yang diperankan. Garda the Musical ingin memanusiakan burung dengan memberi nilai pada karakter-karakternya untuk menyuarakan kemanusiaan. “Garda adalah wujud kebijaksanaan mengelola harmonisasi alam, dengan Pusaka Cahaya Delima, untuk menyingkirkan kejahatan,” demikian disampaikan Eko Supriyanto kepada media. Disebutkan bahwa Pusaka Cahaya Delima merupakan idiom tentang ilmu pengetahuan. Semua orang dapat memiliki Cahaya Delima ketika mau belajar keras dan tekun serta memiliki keinginan kuat untuk memahami dan mengamalkan pengetahuan yang telah diraihnya.
Drama musikal ini dibuka dengan bidikan visual artistik yang pastoral. Dua layar LCD yang terhubung menampakkan indahnya panorama sore hari. Matahari mulai beringsut pelan. Burung-burung terbang pulang ke sarang. Langit senja menyemburat kemerahan. Tapi keindahan itu berubah menakutkan: ada jerit-jerit kesakitan. Sayap sejumlah burung patah, tak lagi bisa terbang. Mereka satu demi satu terkapar. Sebuah sekuel pembuka yang muram.
Lalu terdengar syair yang dilantunkan oleh Rerasi, burung kenari, yang diperankan artis-penyanyi Widi Mulia. Melodinya memikat: “Angin dan cahaya, bagai kilat. Datang pada kita, menebar obat. Sehat seperti sediakala. Kenalilah kedatangannya, kenalilah cahayanya. Dia yang bijak dan perkasa, dialah yang bernama Garda.”
Rerasi kemudian menyampaikan duka kehilangan anak semata wayangnya, Jenar (Woro Mustiko). Jenar ingin memiliki Pusaka Cahaya Delima agar tumbuh seperti pahlawan yang diimpikannya, yaitu Garda (Dwi Sasono). Dengan mendapatkan Cahaya Delima, Jenar yakin seketika ia berubah menjadi Garda. Kenari kecil itu, sendirian, tanpa pamit kepada sang ibu, meninggalkan sarang untuk menemukan pusaka tersebut. Nahas, ia ditangkap dan diculik oleh Ebo dan Rantas, komandan pasukan Bargota.
Muncullah Kedanti (Putri Dewi Astriyani), burung kepodang, yang datang untuk menolongnya. Bersama Rako (Beyon Destiano) dan Raka (Putri Citra Seni Bella Nurani), mereka menyerbu istana Bargota. Namun, sayang, mereka dipukul mundur oleh pasukan Bargota. Bahkan Rako ditangkap dan dipenjara. Panglima perang Garda, Patitis, menyampaikan kekalahan itu kepada Garda. Garda segera mengutus komandan perang, Wulengkung, untuk menyerang Bargota dan pasukannya. Dan Bargota, sang penebar hama yang membuat sayap-sayap patah, tumpas. Burung-burung kembali mengembangkan sayap, terbang mengarungi langit cerah.
Sekuel pembuka yang muram tersebut adalah keberanian teatrikal untuk mengajak langsung pada konflik yang hendak disuguhkan. Ini mengingatkan bentuk-bentuk drama tari yang menawarkan visi artistik yang jauh lebih ramah: hiburan keluarga yang mudah dikonsumsi semua segmen. Cara ini sangat membantu dalam membangun mood penonton, yaitu dengan visualitas yang indah dan dendang lagu yang mudah dinikmati. Drama musikal memang tak perlu kaya akan konflik cerita. Suasana ceria yang dibangun lewat musik menumbuhkan mood penonton membaik. Pada poin ini, peran musik menghadirkan spirit dan ketepatan koreografi yang menggairahkan dan menggetarkan.
Musik di sini lantas menjadi kunci yang mahapenting. Ia bukan semata menggambarkan, tapi juga merangkai dan menghidupkan setiap adegan. Ia juga turut membangun konteks, bersama unsur-unsur artistik lain. Gondrong Gunarto, sebagai direktur musik, seperti mendapatkan tantangan untuk melakukan banyak eksperimen, terutama musik berkategori dance-pop electronic. Ia mengajak Sigit Pratama, Gembyang Abad Enggal, dan Juki Muawan. Mereka komposer muda yang tengah mendalami genre musik digital tersebut. Nada dan harmoni lagu yang mereka rangkai dari dialog-dialog penting itu seperti tembakan kegembiraan yang menyuntik hati. Penonton disuguhi barisan lagu yang semuanya menguatkan adegan.
•••
GARDA the Musical tidak seperti drama musikal keluarga berbasis film layar lebar pada umumnya. Dulu drama musikal Petualangan Sherina, yang dimeriahkan oleh lagu dan nada sederhana khas anak-anak, viral di Indonesia. Garda the Musical juga tidak seperti Evita (1996), Moulin Rouge! (2001), High School Musical (2006), atau La La Land (2016), yang soundtrack aslinya laris. Pertunjukan Evita yang diperankan oleh Emma Kingston (versi filmnya diperankan oleh Madonna) pada 2018 hadir kembali di teater dunia.
Musik Garda lebih “berwarna”, dengan sentuhan idiomatika musik tradisi Nusantara. Patitis, panglima perang Garda yang diperankan oleh mahasiswa tari Okvalica Harlis Natasya, tak hanya gemulai menari, tapi juga anggun dalam membawakan dialog dalam cengkok tembang Banyuwangi. Suara Woro Mustiko, yang memerankan Jenar, adalah perpaduan soprano dalam opera Barat dengan sinden Jawa. Soprano berasal dari bahasa Italia sopra yang berarti melampaui. Soprano ditahbiskan untuk penyanyi wanita yang memiliki ambitus suara paling tinggi. Richard Wagner menarasikan soprano sebagai puncak seni suara ketika suara harus memiliki warna, kelincahan, jarak, dan ukuran volume tertentu. Di Jerman, klasifikasi vokal perempuan seperti itu disebut fach: suara yang tinggi, ringan, dan mampu menyanyikan ornamen melodi yang rumit.
Woro juga mengingatkan pada pesinden Keraton Yogyakarta yang diberi nama Padhasih oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Pesinden kondang dan kontroversial ini sering berinovasi dan menabrak pakem sinden klasik. Kelak masyarakat lebih mengenal Padhasih sebagai Condrolukito, yang diambil dari nama suaminya. Teknik dan cengkok bernyanyi Condrolukito kini lekat sebagai mazhab Condrolukitan. Woro menyesap sindenan Jawa sekuat opera Barat. Sebagai Jenar, Woro mendapat peran utama yang banyak mendendangkan dialog di dalam adegan. Ia “sri panggung” dalam pertunjukan yang dipentaskan untuk Hari Tari Dunia itu.
Kecerdasan Eko "Pece" Supriyanto dalam melihat tarian tradisional Nusantara muncul dalam beberapa adegan. Bentuk koreografi dalam adegan perang antara Panglima Oleng dari kubu Garda dan Panglima Kakas dari Bargota menghadirkan gerak tarian tradisi. Pasukan Panglima Oleng memperlihatkan gerak tari randai dari Minangkabau, sedangkan Panglima Kakas menyusupkan idiomatika gerak tari seudati dari Aceh.
Garda dan pasukannya siap berperang menghadapi Rako beserta bala tentaranya dalam pentas Garda the Musical di Teater Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Jawa Tengaj 29 April 2023/Eko Crozher
Lalu pada sekuen Bargota membopong Ebo di pundaknya. Ini bukan sekadar penyatuan diri Bargota dengan Ebo dalam gerak koreografi, tapi juga sebuah momen visual artistik yang menggedor mata penonton. Prayoga Kukuh Prasetyo, mahasiswa Jurusan Teater, memerankan karakter Bargota dengan sempurna. Suaranya yang keras parau tapi jernih menunjukkan basis keaktoran yang kuat.
Eko Pece dikenal sebagai penari dan koreografer yang mendalami teknik tari modern, improvisasi, dan tari tradisi Jawa. Pengalaman belajar di Amerika Serikat dan kolaborasi dengan seniman-seniman lintas disiplin memberinya pemahaman tentang koreografi yang bukan sekadar dilihat dari sisi panggung, tapi juga gerak dan bentuk tarian. Karya mutakhirnya, trilogi yang ditarikan para penari rakyat dari Kabupaten Jailolo, Maluku Utara, yaitu Cry Jailolo, Balabala, dan Salt, menjadi perbincangan penting dalam forum-forum tari dunia.
Eko Supriyanto belum pernah menyutradarai drama musikal. Namun, dalam sekitar satu jam pertunjukan Garda the Musical, ia mampu meluaskan atraksi diri dengan melahirkan pertunjukan terbesar pasca-trilogi yang telah berkeliling dunia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Eko dan Drama Musikal Burung-burung"