Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menggali kemungkinan tubuh untuk menghasilkan hal yang paling mustahil. Seorang penari butoh mana pun akan selalu memegang teguh doktrin itu. Mereka berusaha mengeksplorasi sisi-sisi terdalam tubuh untuk menghasilkan ekspresi yang "ekstrem". Bahkan tak segan-segan mengolah sisi gelap tubuh. Pada malam itu, dengan bantuan sorotan proyektor video yang ditimpakan ke tubuhnya, seorang penari butoh menghasilkan imaji dan ilusi yang tak terduga. Tubuhnya berubah-ubah mencengangkan.
Itu yang disajikan Yum Keiko Takayama dari kelompok A.lter S.essio di Teater Salihara, Jakarta Selatan, 21-22 Mei pekan lalu. Sebuah proyektor video ditembakkan dari atas ke tubuhnya, dan tubuhnya seperti terpecah-pecah, retak, digerayangi ribuan bakteri. Tubuhnya berubah-ubah secara cepat. Tiba-tiba noktah merah darah menghujani tubuhnya. Darah itu muncul merembes, menggenangi lantai, dan ia tergeletak seperti sosok mati bersimbah darah.
Sedangkan di Gedung Kesenian Jakarta (20 Mei), koreografer Frank Micheletti dari kelompok yang bernama aneh, Kubilai Khan Investigations, dalam panggung yang gelap-gulita, menyajikan mula-mula seorang penari perempuan mengenakan kaus dan legging muncul dengan tubuh yang berpendar dalam sinar kehijauan yang ganjil. Sinar hanya menimpa badannya. Ia menggerakkan semua sendi tubuhnya, sementara cahaya semakin lama semakin terang.
Micheletti menyajikan sebuah koreografi yang bertema dinamika hubungan antarmanusia, musim per musim. Setiap pergantian "musim", diiringi pergantian warna lampu led yang dipasang dalam sebuah layar kecil. Koreografi penuh permainan warna dan intensitas cahaya.
Dua tari itu bagian dari Festival Printemps 2014 yang diadakan oleh Institut Francais Indonesia (IFI). Sudah sepuluh tahun IFI mengadakan festival ini di Indonesia. Dalam setiap festival selalu didatangkan kelompok tari. Kali ini Yum Keiko mementaskan koreografi berjudul Loss|Layers. Adapun tajuk koreografi Micheletti adalah Your Ghost is Not Enough.
Di Salihara, kita disuguhi bagaimana Keiko seorang diri menampilkan metamorfosis tubuh yang cepat di sebuah bidang persegi berwarna putih. Mulanya dengan tubuh terbungkus selubung stocking, ia meringkuk seperti posisi janin dalam kandungan.
Telah banyak penari butoh yang datang ke Jakarta. Dari pendiri butoh sendiri, Kazuo Ohno, sampai generasi Min Tanaka. Butoh adalah gerakan pemberontakan tari dari Jepang pada 1960-an yang kemudian memasuki Eropa, terutama Prancis. Para eksponen butoh menolak tubuh ideal dalam bayangan balet standar atau tari klasik lainnya. Para pengamat menyebut mereka memburu apa yang disebut "aesthetic of ugliness body". Justru sisi-sisi "hitam" tubuh yang mereka gali di panggung. Tubuh yang renta, tubuh yang digerogoti belatung, tubuh yang cacat, tubuh yang cemas. Pendeknya, bukan tubuh yang kenes atau elok, melainkan tubuh yang arkaik.
Penampilan Keiko boleh jadi menggambarkan fase baru yang berkembang di dunia butoh. Menggabungkan pencarian terhadap tubuh yang purbawi itu dengan teknologi visual dan dunia musik electro-soundscape. Suatu tekno-butoh. Kita lihat bagaimana desain grafik visual merasuk menjadi bagian integral dalam tubuh Keiko. Desain suara juga seolah-olah mempengaruhi anatomi tubuh Keiko. Dalam pertunjukan ini, desain suara dibuat Fabrice Planquette serta grafik visual dibuat oleh Mattieu Levet dan Cecile Attagnant. Pada titik ini, kita melihat bagaimana gambar video dan musik tidak hanya menjadi backdrop, ilustrasi dari pertunjukan, tapi bagian yang bersenyawa dengan tubuh Keiko.
Menurut Planquette, yang mengkonsep pertunjukan ini, koreografi menggambarkan situasi kehilangan manusia atas keseimbangan. "Ini melukiskan situasi bagaimana manusia harus terus-menerus melakukan akselerasi agar bisa bertahan," ujar Planquette. Maka kita lihat sepanjang adegan Keiko berganti-ganti kostum dari berselubung ke berpakaian putih, berpakaian merah. Dalam setiap pergantian itu, Keiko mengatakan ia melakukan transformasi perasaan.
"Saya mengungkapkan imajinasi ketakutan, kesedihan," tutur Keiko. Tatkala video membentuk tanda silang di lantai, kita melihat Keiko menelungkup, kedua tangan dan salah satu kaki menjulur, sejenak kemudian ia seperti bersujud memohon. Keiko seperti obyek yang menjadi target di panggung putih itu.
Keiko mengungkapkan bahwa ia tak berusaha menampakkan seluruh emosi ketakutan dan kesedihannya dalam bentuk yang harfiah. Sebagai penari butoh, ia mencari jalan lain. Dan jalan itu, menurut dia, adalah mempelajari emosi hewan. Tak mengherankan jika ada adegan Keiko duduk berjongkok sambil menjilati punggung tangan kanannya. Atau dalam gelap terdengar dengus dan suara seperti anjing mencium sesuatu. "Ini bahasa saya," ujarnya. Dalam adegan lain, kita melihat samar-samar Keiko telanjang berdiri membelakangi penonton. Tangannya menggapai bagian punggung yang tertimpa gambar. Di punggungnya seolah-olah ada ceruk atau lubang.
Planquette mengatakan proses kerja dimulai dengan dia menggarap musik terlebih dulu lalu mencari video. Bersama kedua rekan lainnya, ia merangkainya dengan grafik yang sesuai. Baru kemudian tubuh Keiko merespons. Mereka mementaskan koreografi ini lebih dari 50 kali. Tapi ekspresi gerak Keiko selalu senantiasa ada perubahan.
Di Gedung Kesenian, setelah penari berpendar, cahaya hijau itu muncul, kemudian seorang penari laki-laki masuk. Mereka masing-masing bergerak sendiri. Namun dalam gerakan yang sekilas terlihat acak ini terjadi aksi-reaksi yang intim di antara keduanya. Ada kalanya, saat yang satu menjatuhkan diri, yang lain menangkap. Namun ada juga saatnya satu penari berupaya menepis kehadiran penari lain yang mendekatinya. Tak sepenuhnya juga mereka menari berdua. Beberapa kali seorang penari meninggalkan panggung. Kadang yang lain menahannya, kadang meneruskan tariannya di panggung sendirian.
"Kadang kita butuh jarak dengan orang lain," ujar Frank Micheletti. Beberapa kali posisi layar berlampu di panggung diubah. Dipasang membelakangi, menengadah, hingga menghadap penonton. Kadang ketinggiannya juga dikurangi. Menurut Micheletti, ini adalah cara memainkan kefanaan manusia. Dalam pengamatan Micheletti, hubungan antarmanusia kini semakin semu. Orang tak lagi tertarik menyelami hubungan secara intim, face to face, terhadap sesamanya. Tapi orang lebih memilih berhubungan lewat gadget.
Micheletti sengaja tidak memberikan kostum khusus kepada penarinya. Mereka menari dengan pakaian santai sehari-hari, baik legging, kaus, maupun jaket. Micheletti memilih cara ini untuk mendekatkan penonton dengan panggung. "Saya tidak ingin menyajikan sebuah karakter, penari yang berpura-pura sebagai orang lain," ujarnya. Musik juga diramu secara langsung pada saat pertunjukan. Karena itu, komposisi dalam setiap pertunjukan tidak selalu sama. Selain untuk mengembuskan "napas" dari lokasi tempat pertunjukan, cara ini digunakan buat mendobrak "sistem" yang terbentuk bila penari tampil dalam susunan musik yang seluruhnya telah direkam.
"Dengan cara ini, pertunjukan akan memiliki vibrasi yang berbeda," tuturnya. Berbagai bunyi hadir mengiringi kedua penari, dari dentuman musik tekno, bunyi knalpot yang ritmis, sampai suara mirip bonang yang dipukul sendirian.
Seno Joko Suyono, Dian Yuliastuti, Ratnaningasih
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo