Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH menyaksikan film Bombshell, yang terjadi adalah dua perasaan yang kontradiktif. Marah dan geram sekaligus sedih karena apa yang terjadi pada para wartawan perempuan Fox News dalam film itu adalah sesuatu yang terjadi di mana saja, termasuk di Indonesia. Bedanya, di sini, di Indonesia, hal seperti itu masih ditutup rapat, dikubur, dan bahkan ada yang menganggapnya sebagai “hal biasa” yang tak perlu dipersoalkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Film ini diadaptasi dari kisah nyata bagaimana kekuasaan CEO Fox News Roger Ailes runtuh akibat laporan wartawan (perempuan) di kantor yang dipimpinnya. Kejadian itu dampak dari gerakan #MeToo, yang bermula pada 2006 dan meledak setelah skandal Harvey Weinstein pada 2017.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Film ini dibuka dengan adegan anchor Fox News, Megyn Kelly (diperankan Charlize Theron lengkap dengan dagu prostetik), yang berlangkah panjang dan bertubuh semampai berjalan sembari mengutarakan kepada penonton, kepada kita, sebuah kisah di dalam kantor tempatnya bekerja. Teknik “breaking the fourth wall”, yang sebetulnya sering dihindari sineas secara umum, ini sebenarnya sebuah langkah berani dan nekat.
Teknik ini, jika tidak dieksekusi dengan pas, biasanya akan membuat jarak dengan subyek yang bakal diceritakan. Seorang “dalang” dalam kisah modern seperti ini bukan seperti narator dalam drama Shakespeare yang sering melakukan solilokui. Narator dalam film modern tak membawakan sebuah narasi panjang dan penuh simbol sehingga sutradara dan penulis skenario mempunyai tugas berat membuat sang narator bisa meyakinkan kita.
Tapi agaknya sutradara Jay Roach sangat yakin. Dia tidak hanya menampilkan kisah skandal seorang CEO tua yang mesum, tapi lebih lagi, tentang sejumlah perempuan yang suaranya sudah lama dipendam, dikubur puluhan tahun. Kini suara mereka bergaung lantang.
Suara vokal itu sebetulnya tidak dimulai dari Megyn Kelly. Kelly adalah anchor terkemuka dengan karier yang tengah di puncak dan memiliki wewenang besar. Sejak awal sebetulnya film ini dengan jelas menggambarkan anchor acara Fox & Friends, Gretchen Carlson (Nicole Kidman), yang mengalami demosi penurunan jabatan dan gaji dilanjutkan dengan pemecatan oleh Roger Ailes dengan alasan rating yang melorot.
Tapi sejak awal Gretchen sudah menyiapkan, mencatat, bahkan merekam apa yang terjadi padanya. Sejak awal kariernya, Ailes senantiasa mengganggu, merundung, melecehkannya secara seksual. Ailes secara terang-terangan terus mengajaknya tidur, dan Gretchen selalu menolak. Maka, akibatnya, Gretchen mengalami demosi, diletakkan ke acara yang peminatnya minim sehingga dengan mudah dipecat.
Sementara itu, di pojok kubikel, kamera menyorot seorang tokoh fiktif, Kayla Pospisil (Margot Robbie), yang merupakan gabungan dari banyak korban Ailes yang anonim. Kayla digambarkan sebagai karyawan baru yang ambisius dan ingin sekali segera menjadi anchor seperti pujaannya, Megyn Kelly. Kayla mencoba menemui sang CEO untuk menyatakan keinginannya meniti karier. Sudah bisa ditebak, sambutan sang kakek: “Itu mudah dilakukan. Tapi kau harus loyal kepadaku.”
Arti “loyalitas” bagi Ailes adalah berputar-putar di hadapannya agar dia bisa melihat apakah secara fisik si nona cantik blonda itu cukup pantas berada di depan kamera. Lantas Ailes memerintahkan Kayla mengangkat roknya perlahan-lahan hingga celana dalamnya terlihat, sementara si kakek terkesiap mencapai orgasme. Adegan ini tidak hanya sengaja dibuat menjijikkan dan memuakkan, tapi juga sangat menyedihkan. Penderitaan Kayla tentu saja tak berakhir di titik tersebut, karena belakangan kita akan mengetahui tuntutan “loyalitas” itu kemudian melebar ke tempat tidur.
Skandal ini terkuak ketika Gretchen Carlson secara resmi menuntut Roger Ailes. Kedua pengacaranya sudah mengingatkan, tuntutannya akan berhasil jika korban-korban lain ikut maju dan bersuara seperti dia. Problemnya: mungkinkah korban lain berani bersuara, sementara mereka masih bekerja di Fox? Pertanyaan lain: bukanlah Ailes memasang kamera CCTV di kantor pribadinya sehingga dia mengetahui semua gerak-gerik karyawannya? Bukankah dia juga mempunyai sepasukan pengacara, bahkan di antaranya ada tokoh feminis, yang siap menghajar siapa saja yang berani “meludahinya”, seperti yang dilakukan Gretchen? Lebih pedih lagi, bukankah dia juga dibela istrinya dan banyak karyawan perempuan yang setia kepadanya?
Film ini memang sesuatu yang sangat sulit ditonton sebagai hiburan karena memang sama sekali bukan hiburan. Charlize Theron sebagai salah satu produser menyatakan bahwa dia juga mengalami dilema untuk memerankan sosok Megyn Kelly. Harus diakui, Kelly pada masa awal kariernya bukan sosok yang disukai. Pandangan politiknya tentu saja konservatif, pro-Republikan, dan pernah menyatakan “Sinterklas berkulit putih”. Tapi dia mulai menyita perhatian dunia ketika mewawancarai calon presiden Donald Trump dengan kritis dan tegas. Bahwa kemudian ia akhirnya “berdamai” dengan melakukan wawancara susulan dengan Trump yang lebih lunak tentu saja kita pahami latar belakangnya dari film ini: Kelly ditekan Ailes dan keluarganya diteror paparazi.
Tentu saja bukan berarti film ini ingin memaklumi Kelly yang lambat bergerak untuk membela Gretchen. Ketika akhirnya Kelly bersuara dengan menceritakan bahwa dia pun korban pelecehan Ailes pada masa lalu, tuntutan Gretchen dan korban lain mulai terasa memiliki otot. Kelly dulu dianggap anak emas Ailes dan merupakan anchor ternama. Dalam testimoninya, meski mengakui Ailes adalah mentornya dalam dunia jurnalisme, Kelly tak bisa lagi bungkam. Dia harus membela mereka yang mengalami perundungan, pelecehan, juga yang mengaku dipaksa berhubungan seks dengan Ailes.
Ada beberapa hal yang penting untuk diperhatikan dalam film ini. Di antaranya debat soal relasi kuasa (power relations), di mana atasan memiliki wewenang atas nasib bawahan, termasuk dalam pemaksaan seksual, hingga kini masih dianggap sebagai sesuatu yang normal salah satunya di Indonesia. Persis seperti yang digambarkan dalam film, jika ada yang berani bersuara seperti Gretchen Carlson, akan terjadi kesulitan pembuktian. Umumnya, peristiwa semacam itu akan dianggap tindakan “mau sama mau” karena pengaduan seperti ini tak bakal melihat konteks dan latar belakang kejadian. Inilah salah satu penyebab para korban enggan bersuara. Keengganan ini pula yang terus-menerus dimanfaatkan tokoh semacam Roger Ailes dan ribuan direktur atau lelaki berkuasa lain.
Tokoh seperti Kayla Pospisil adalah tokoh yang mengalami perkembangan karakter yang sempurna. Dari si naif blonda yang polos, dia menjadi korban yang tertekan, hingga akhirnya berani memutuskan membuang kartu karyawannya.
Mungkin film ini belum bisa membangunkan masyarakat Indonesia. Tapi, paling tidak, setelah menyaksikannya, tidak mustahil kita berharap akan lahir diskusi tentang topik yang sangat penting ini. Misalnya apa yang disebut dengan kepatutan tingkah laku atasan kepada bawahan atau sebaliknya; apa saja yang tergolong perundungan dan pelecehan; apakah yang selama ini dianggap sebagai “humor” atau “gurauan seksual” masih bisa ditenggang atau kita ingin Indonesia terus-menerus berada di dalam gua peradaban abad lalu?
Film Bombshell adalah sebuah kisah keberanian para perempuan. Keberanian mendobrak dinding tebal patriarki. Sudah saatnya kita menyalakan api keberanian itu di Indonesia.
LEILA S. CHUDORI
BOMBSHELL
Sutradara: Jay Roach
Skenario: Charles Randolph
Pemain: Charlize Theron, Nicole Kidman, Margot Robbie, John Lithgow
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo