Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Gadis Kecil di Taman Schelswig

Gadis itu tersenyum. Tapi esoknya, ketika kami ke gereja, orang-orang berkerumun di Taman Schelswig.

31 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI jendela, kulihat seorang gadis kecil terus menghampiri orang-orang di Taman Schelswig, menjual korek api yang berjejalan dalam tas kainnya. Ia mungkin 12 tahun, kurus dan pucat seperti ranting pohon beku, dalam mantel compang-camping bertambalkan kain di sana-sini. Ia begitu menyedihkan. Ia gambaran umum anak-anak miskin Denmark.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keluargaku tinggal di Dragor. Kami menghuni rumah peninggalan kakek yang dibangun dengan batu-batu hitam kokoh dan terletak di tepi jalan raya, di seberang Taman Schelswig. Aku sendiri 14 tahun, menjalani hari-hari menjemukan dengan kursi roda karena jatuh dari tangga. Kata dokter, kakiku akan pulih di bulan keempat, November, jika rutin mengikuti terapi. Namun, aku masih di kursi roda hingga Natal. Kau tahu, tidak semua dokter bisa dipercaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengenai gadis itu, aku melihatnya di siang yang muram pada 24 Desember 1951. Kami sekeluarga keluar dari gereja setelah Ekaristi Natal. Gerimis salju belum reda saat itu—sepertinya tak akan reda hingga tahun baru—tetapi jalan-jalan Dragor masih dapat dilalui karena hamparan salju belum menjelma menjadi miniatur perbukitan putih.

"Korek api, Nyonya, untuk menyalakan pengapian rumahmu." Gadis kecil itu menghampiri kami di trotoar Taman Schelswig. Aku saat itu belum menaruh perhatian kepadanya.

Ayah tertawa dan mengatakan bahwa ia telah memborong dua pak korek api sambil menunjuk dengan hidungnya sebuah swalayan di seberang jalan. Meskipun demikian, Ibu membeli dua bungkus dari gadis itu dan gadis itu segera ditelan hilir-mudik orang-orang bertopi bundar yang lehernya dicekik syal tebal untuk menghalau penyakit flu.

"Dia seperti menjual gula di kebun tebu," kata Ayah.

Sepulang dari gereja, Ibu terus-terusan di dapur, bermain-main dengan asap dan api demi menyambut Paman Neils dan Tante Sussane. Seperti Natal tahun-tahun lalu, kami mengundang mereka untuk merayakan Natal bersama dan mereka, menurut yang kudengar, akan mengendarai mobil baru dari Copenhagen. Semoga mereka tidak bertemu badai.

Ruang keluarga menghangat setelah Ayah menyalakan pengapian, sedangkan aku di meja kayu panjang merapikan hiasan pohon Natal: lonceng, bola, pita, kepala santa, dan boneka-boneka snowman, yang semuanya dalam versi bonsai—hanya itu yang bisa dilakukan bocah pincang. Dari dapur, tercium aroma saus cokelat Flaeskesteg, babi panggang masakan Ibu.

Ayah menegakkan tangga di samping pohon Natal, aku memutar roda kursi untuk menghampiri dan mengulurkan hiasan pohon kepadanya.

"Tahan tangganya."

"Kenapa tidak menghias daunnya dulu?" kataku sambil menahan tangga.

"Bagian tersulit dulu," katanya, sambil memasang bintang di ujung pohon.

Dari jendela, kulihat gadis kecil itu masih mondar-mandir di tengah tiupan angin yang menerbangkan serpih-serpih bunga salju dan membuat taman bagai diselimuti tabir tipis kelabu. Kenapa ia masih di sana? Di manakah orang tuanya? Bukankah ia semestinya di rumah, sama sepertiku, berbagi kegembiraan Natal bersama keluarga? Apakah ia tak punya keluarga, atau jangan-jangan ia tinggal bersama ibu tiri dan saudara tiri serta menuai kekejaman dari mereka sebagaimana Cinderella? Mungkin saja, bukan? Meskipun mungkin juga tidak.

Ibu keluar dari dapur, menaruh Koldskal di meja, lalu melirik jam dinding; pukul setengah lima. 

"Tak bisakah kita memborong semua korek apinya?" Kata-kata itu keluar tanpa kusadari.

"Apa maksudmu?" kata Ibu dengan wajah terheran-heran.

"Lihatlah. Dia dari pagi masih di sana."

Ibu mengernyit sambil memperbaiki letak kacamata.

"Kita borong korek apinya agar dia pulang dan merayakan Natal di rumah."

"Dia menunggu jemputan, Bill," sahut Ayah.

Tak lama kemudian, pintu diketuk-ketuk. Udara menyembur masuk ketika aku membukanya, seiring dengan teriak girang Paman dan Tante di ambang pintu. "Selamat Natal!"

Paman mengenakan sweater rajut, dirangkap dengan mantel selutut, dan melindungi kakinya dengan sepatu boot. Sementara itu, Tante terlihat modern dengan topi bulu, mengenakan blouse berlapis-lapis, dan juga dirangkap mantel. Wangi peony menguar dari badannya.

Mereka memelukku, menyelipkan amplop bonus Natal ke sakuku, masuk ke rumah, kemudian memasrahkan mantel dan syal mereka pada tiang gantungan. Inilah kesempatanku. Sambil menahan dingin, aku memanggil gadis itu dari ambang pintu. Ia tercengang ketika menemukan lembar-lembar uang dari amplop yang kuberikan kepadanya.

"Kau tidak berencana membakar rumah, bukan?"

Aku jadi kikuk. Ia melucu, tetapi bibirnya gemetaran dan membiru, tubuhnya seperti menahan dinginnya duri-duri beku, dan itu sama sekali tidak lucu.

"Pulanglah! Malam ini akan dingin sekali!" kataku, setelah ia menaruh dagangannya di pangkuanku. Aku harus berteriak karena angin begitu riuh.

"Itu mustahil. Ayahku marah jika aku pulang!"

"Ibumu?"

Ia terdiam agak lama. 

"Ibuku meninggal dua bulan lalu!"

Mendengar itu, dadaku seperti disodok balok kayu. Aku menemukan rasa sedih di pelupuk matanya; rasa sedih itu seperti menembus kulitku dan mendekam dalam tulangku.

Taman mulai sepi. Hamparan salju telah menumpuk di corong pengapian rumah-rumah, di atap-atap rumah, di atap-atap mobil, tersangkut di kusen-kusen jendela dan terhampar seperti karpet putih di jalan panjang dari barat ke timur. 

"Masuk, Bill. Jangan buat dirimu menggigil." 

Perlahan-lahan Ayah menutup pintu.

***

SEMUA makanan telah di meja, berasap, dan menggiurkan. Seperti sebuah pesta, dekorasi warna-warni di daun-daun pohon Natal, lampu-lampu kecil berkerlap-kerlip, dan sayup-sayup, lagu-lagu Natal dari radio mengalun. Di antara itu semua, Paman bercerita bahwa dirinya telah melalui badai yang mendebarkan, dan mobilnya terpaksa ia parkirkan di sebuah hotel. Lalu ia dan Tante berjalan kaki menuju rumah. Sambil mengelus-elus perut Tante yang tengah mengandung, ia mengatakan sesuatu yang bikin semua terbahak-bahak, kecuali aku, "Dia kuat sekali. Kelak bayi kami sekuat Hercules!" 

Hari mulai gelap. Di luar, lampu pada tiang-tiang menyala redup di tengah cuaca buruk. Gadis itu di bangku taman, dan akan berlari menghampiri sisa-sisa lalu-lalang orang. Ia tentu menderita, sementara kami di sini menertawakan kisah-kisah konyol dengan makanan lezat yang akan tersisa di akhir acara. Aku tahu itu karena selalu terjadi setiap tahun. 

"Apa yang kau pikirkan, Bill?" tanya Ayah.

Di meja, Ibu mengiris-iris Andesteg, sedangkan Tante menatapku dengan wajah bingung dan Paman menggigiti bola-bola daging secara rakus.

"Tak bisakah kita mengajaknya? Meja ini terlampau besar untuk berlima."

"Seseorang akan menjemputnya, Bill."

"Siapa? Ibunya meninggal dunia dan Ayahnya lelaki brengsek!"

"Jaga bicaramu!"

Seperti menahan amarah, mulut Ayah gemetaran. Ketegangan menyeruak di ruang keluarga, sementara radio terus mengalunkan lagu-lagu sukacita. Tante mendengus, menciptakan denting dari garpu-sendok yang diletakkannya di piring. "Aku rasa Bill benar. Tak ada salahnya kita berbagi. Bagaimana menurutmu, Lis?" 

"Jika memang itu yang Bill mau," kata Ibu.

"Dia pembohong, Bill," sahut Paman. Sambil mengunyah daging, ia terdengar seperti bergumam.

Setelah menelan daging, Paman bercerita dengan nada serius tentang anak-anak korban perang semacam gadis itu yang berserakan di Copenhagen. Mereka telah dipelihara oleh panti-panti dan gereja, tetapi beberapa memilih melarikan diri, berkeliaran di jalan, dan berakhir di tangan bandit-bandit yang terusir dari masyarakat karena mereka bekas kaki-tangan Jerman.

"Sejak itu mereka dilatih berbohong agar orang-orang iba. Demikianlah, mereka akan terus hidup dalam kebohongan."

"Terima kasih, Neils. Itu kisah yang menyenangkan untuk malam Natal."

"Ayolah, dia sudah cukup umur."

Gadis itu satu-satunya yang tersisa di Taman Schelswig. Ia duduk di bangku taman yang menghadap ke rumah kami dengan batang-batang kaki terbenam salju. Apakah ia memandangi kami? Apakah ia pembohong seperti yang dikatakan oleh Paman? Namun, kenapa ia belum beranjak? Sesekali, ia menoleh ke kanan-kiri, mengusap-usapkan kedua tangan, kemudian memeluk badannya sendiri. Keluargaku tenggelam dalam kegembiraan, tetapi aku dihanyutkan oleh kesunyian dari gadis itu.

Setelah acara usai, aku masuk ke kamar dan merapat ke jendela. Hawa beku menyusup ke dalam kamar, merayapi badanku, tetapi aku tak henti-henti diseret oleh rasa penasaran.

Gadis itu beranjak dari bangku, beringsut di bawah pepohonan seolah-olah bersembunyi dalam gelap. Sinar berpendar-pendar di sana, lalu padam, lalu berpendar-pendar lagi. Aku menduga, ia menyulut korek apinya sendiri, entah untuk menghangatkan badan atau untuk penerangan. Sambil sering menguap, aku terus mengamatinya. Dan aku pun tertidur.

Kemilau cahaya menembus jendela, mencucuki mataku yang terpejam. Betapa terkejutnya aku ketika terbangun. Gadis itu melintasi jalan depan rumahku bersama seorang perempuan berparas lembut dan bersinar. Mereka bergandengan tangan dan gadis itu sesekali melonjak-lonjak kegirangan. Didepak rasa penasaran, aku mendorong jendela, sehingga salju-salju di kusen pun rontok dan semburan angin membuat lembar-lembar bukuku berkepakan di meja seperti sayap burung.

"Kau mau ke mana?" teriakku.

"Pulang!" 

Seperti tahu bahwa aku menatap perempuan di sampingnya, ia mengatakan, "Ini ibuku!"

Aku kaget dan langsung berteriak, "Kau bohong kepadaku. Katamu kau tak punya ibu!"

Sambil melambaikan tangan, gadis itu tersenyum kepadaku. Kegembiraan terlihat jelas di matanya dan aku berang luar biasa karena kenyataan bahwa ia tak lebih dari pembohong. Tetapi esoknya, ketika kami akan ke gereja, orang-orang berkerumun di Taman Schelswig. Gadis kecil itu terbujur kaku di bawah pohon sambil tersenyum, membeku, dengan batang-batang korek berhamburan di mantel usangnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Catatan: 1) Koldskal: hidangan penutup berupa sup dingin yang terbuat dari susu, telur, gula, dan vanili; 2) Peony: bunga-bunga besar dan indah dengan berbagai warna dan beraroma manis; 3) Andesteg: bebek panggang dengan apel dan plum kering. Kirim puisi, esai, dan cerita pendek Anda ke [email protected], cc ke [email protected]. Puisi minimal lima judul. Panjang esai maksimal 6.000 karakter dengan spasi. Karya belum pernah diterbitkan media mana pun, termasuk media sosial. Lengkapi dengan biodata singkat, foto, alamat lengkap, dan nomor rekening. Waktu tunggu penerbitan maksimal enam pekan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus