5 Abad sebelum Almasih, topeng-topeng telah dipergunakan dalam
drama Yunani Purba. Topeng-topeng tersebut merupakan gambaran
watak dan ekspresi yang harus dijiwai para pemain. Merupakan
subjek, sementara manusia menjadi motor untuk memberinya hidup.
Adapun topeng-topeng pribumi yang tampak dalam ruang pameran TIM
25 s/d 30 April yang lalu, tidak semuanya berstatus subyek.
Benda-benda yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa
Timur, Bali, Kalimantan serta beberapa buah topeng mutakhir
tersebut, ada kalanya merupakan medium yang sangat objektif.
Menyediakan berbagai kemungkinan ekspresi dan watak - sehingga
manusia yang berada di belakangnya tetap merupakan subyek.
Bahkan ada juga di antara yang mutakhir yang sudah berdiri
sendiri dan tidak membutuhkan manusia untuk melengkapkan
kehadirannya. Dari Bali ada juga yang sama sekali tidak
membayangkan kehidupan teater. Merupakan hiasan tok.
Dalam ruang pameran TIM itu, dapat dijumpai sebuah topeng tua
dari Jawa Tengah. Itu pun baru berusia sekitar 50 tahun.
Topeng-topeng lainnya, yang datang dari tangan ITB. Alam
Surawidjaja, Direktorat Pembinaan Kesenian P & K, Ajip Rosidi,
Ong Hok-ham, LPKJ, Ipung, M. Noor dan TIM. di samping tidak
dapat dianggap mewakili seluruh aspek topeng daerah
masing-masing juga bukan barang-barang yang terpilih baik.
Beberapa buah yang berderet di dinding sektor Bali, jelas
merupakan topeng yang disabet dari sebuah art shop yang lebih
menampakkan citarasa turis. Namun pameran yang tidak menampakkan
kwalitas hebat ini amat menarik karena masih sempat juga
menampilkan warna lokal yang berbeda. Mau tak mau kita seperti
diseret ke dalam perbandingan - aspek-aspek sosiologi maupun
psikologinya.
Misalnya topeng Cirebon di situ terasa ramah. Tertutup, ringan,
formil, dan berbasa-basi. Tidak menyimpan kekayaan gerak.
Pertukangannya belum mahir. Sementara ornamen-ornamennya tidak
menampakkan seleksi yang baik. Akibatnya wajah-wajah tersebut
tidak menampilkan watak berbeda-beda. Satu sama lain hampir satu
nafas. Warna-warna emas yang dipakai terlihat kehijau-hijauan,
seperti membayangkan kondisi agak miskin dari lingkungan
sosialnya. Berbeda dengan warna-warna emas topeng Jawa Tengah
yang begitu mewah.
Ada suasana terbuka dalam topeng Jawa Tengah itu. Ada suasana
rileks tanpa kehilangan kontemplasi. Warna-warnanya serta
garis-garisnya lebih jelas dan selektif. Di sini terbayang
kehidupan teater yang lebih mapan. Kalau dalam topeng Cirebon
kita berhadapan dengan lakon-lakon Panji, dari Jawa Tengah pun
setali tiga uang. Hanya saja wajah-wajah wanita kelihatan lebih
banyak. Palltas diselidiki apakah peranan wanita dalam teater
maupun dalam kehidupan memang lebih menonjol di Jawa Tengah
tinimbang Cirebon. Sebab belum tentu.
Dari Jawa Timur, kita melihat mutu pertukangan yang mirip
topeng-topeng Cirebon. Tetapi watak jauh berbeda: sama sekali
tidak ada kemanisan. Suasananya murung, tertekan, menggertak,
ang ker dan magis. Baik pelototan mata, warna, serta kumis.
membayangkan sesuatu yang keras dan galak. Namun kalau lama
diperhatikan, di balik suasana itu terasa kehangatan dan
persahabatan yang tulus. Ada sesuatu yang intim bersembunyi
dalam kekasaran topeng-topeng wayang dan panji tersebut.
Suasana magis tersebut muncul pula dalam topeng-topeng Bali yang
sangat menonjol segi pertukangannya. Ada keahlian dan keragaman.
Di sini topeng tidak hanya melukiskan karakter. Kadangkala
merupakan simbol, hiasan, dan sering pula hanya bagian dari
sebuah wajah saja - karena separuhnya memerlukan bagian asli
dari pemain topeng itu. Ini jelas menggambarkan betapa teater
demikian aktifnya, sehingga topeng merupakan kesenian yang hidup
terus dengan variasi-variasi baru. Sementara bentuk-bentuk lama,
di samping memiliki pakem-pakem tertentu, tetap menerima
beberapa perobahan yang segar.
Topeng Kalimantan merupakan bentuk-bentuk perlambang. Ada 3 buah
di antaranya bernama Hudo' Kitaq dan Hudo' Keduanya berfungsi
rituil -- untuk upacara menerima tamu idan kegiatan panen. Yang
disebut terakhir mempergunakan dua buah kaca kecil pada bagian
yang menunjukkan mata: memperlihatkan kesederhanaan, naivitas,
juga keterbukaan. Tapi siapa tahu mungkin ada perhitungan magis
dalam hal kaca yang berhubungan dengan suasana setempat.
Topeng-topeng semacam itu seharusnya lebih banyak dicari, karena
amat menarik. Jauh lebih menarik dari topeng-topeng mutakhir
yang dipamerkan, yang di samping pertukangannya kasar juga tidak
memperlihatkan latar belakang meyakinkan. Topeng-topeng itu
lebih menyempai karya patung yang berdin sendiri, yang
sesungguhnya tidak memerlukan lagi unsur manusia. Atau
barangkali akan lebih jelas kalau yang dipamerkan adalah
topeng-topeng yang pernah dibuat Danarto, Saiful atau Mulyadi,
misalnya, yang pernah dipakai dalam pementasan drama di TIM.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini