Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMAKIN banyak bintang film beralih profesi untuk sementara.
Pertunjukan sandiwara di Taman Ismail Marzuki, misalnya, tampak
sering didukung beberapa bintang terkenal. Antara lain Rahayu
Effendy, selain di sandiwara, juga kelihatan muncul dalam topeng
blantek.
Perfilman Indonesia memang sedang suram. Puncak produksi 1977
dengan 134 judul merosot ke 67 judul pada tahun 1978 dan makin
anjlok ke 50 judul saja tahun lalu. Berdasar SK Menpen No. 224
tahun 1978, importir tidak lagi berkewajiban memproduksi film,
melainkan hanya dikenai kewajiban menyetor dana sertifikat Rp 3
juta untuk setiap judul film impornya.
Kesuraman itu terbayang pekan lalu, ketika Parfi (Persatuan
Artis Film Indonesia) memperingati ulang tahunnya ke24. Masih
ada pestanya di Miraca Sky Room Sarinah, Jakarta, tapi jauh
dari kemeriahan tahun-tahun sebelumnya.
Kusno Sudjarwadi mengingat film Indonesia juga pernah lesu
pada periode 1964-69. Kini untuk kedua kalinya bintang film itu
menerima pukulan berat. Kendati demikian, Kusno -- yang terjun
ke dunia film sejak tahun 50-an sebagai figuran -- bertekad
tidak akan surut. Tapi sekalipun perfilman sedang pasang naik,
ia jarang dipakai produser. Maklum, katanya, "saya ini kan
bintang tua."
Kusno tidak tinggal diam. Sudah selama 3 tahun ia membuat
batako. Produksinya kini menggembirakan. Pernah seorang
pemborong memesan 20.000 batako, yang diselesaikannya dalam 40
hari. Dari situ ia mengantungi Rp 2 juta. "Nah, untuk apa
mengeluh film sepi? Rezeki dari arah lain kan ada," kata Kusno.
Namun Kusno, kini bermukim di Cisalak, Jawa Barat, awal tahun
ini meneken kontrak sebagai pemain pembantu dalam 3 film
dangdut. Honornya tak banyak. Ia hanya menyebut ancer-ancer Rp
1,5 juta untuk yang berminat menggaetnya, dan bisa ditawar.
Bagi bintang yang sedang mencorong, seperti Rhoma Irama, tak ada
kata suram. Terjun ke film 3 tahun silam Rhoma kini sibuk
membintangi fiimnya yang ke-10 Perjuangan dan Doa. Dalam film
dangdut yang menelan Rp 100 juta ini dan dibiayainya sendiri,
sekaigus ia menjadi tokoh utama. Ia memang tak perlu risau.
Sewaktu-waktu Rhoma bisa kembali ke profesinya semula, sebagai
pemain dan penyanyi kelompok Orkes Melayu Soneta.
Tapi ada juga bintang, sekalipun sibuk berperan di beberapa
film, merasa prihatin tahun ini. Umpamanya, Rudy Salam yang
bermain film sejak 3 tahun lalu karena digaet adiknya, Roy
Marten, naik bis kota dan oplet bila bepergian. Tahun lalu dia
hanya membintangi 5 film, dibanding 2 tahun sebelumnya 18 film.
Untuk menangkis masa suram itu, ia berupaya meraih hoki di
bidang lain. Usaha apa? "Masih terlalu pagi mengatakannya,"
sebutnya.
Bukan hanya bintang film yang terpukul. Mereka yang tergabung
dalam Karyawan Film dan Televisi (KFT) belakangan ini pun sering
berpangku tangan. Hanya beberapa sutradara, cameraman, editor
dan art director terkenal yang masih tampak sibuk menyelesaikan
produksi film. "Situasi ini sungguh memprihatinkan," kata
sutradara Ami Priyono, Ketua KFT.
Untuk mengatasi masa lesu ini, baik KFT maupun Parfi menoba
nasib di sektor pembuatan tilm iklan. Namun selama ini, sudah
bukan rahasia lagi, banyak biro iklan lebih suka memakai artis
dan karyawan film asing. Pembuatannya pun sering di luar negeri.
Bahkan -- karena sengitnya persaingan -- ada film iklan yang
diimpor dalam bentuk jadi. Misalnya iklan Vicks Formula 44 yang
disiarkan lewat biro iklan Perwanal Utama.
Honor Mahal
Kenapa? "Menggunakan bintang film Indonesia, sering repot,"
jawab Karmadi, direktur operasional Matari Advertising. "Mereka
juga sering minta honorarium mahal." Selain itu memang ada
client yang tidak begitu senang memakai bintang film untuk
mempromosikan produksinya. "Mereka takut, kelak hanya bintang
filmnya saja yang terkenal, bukan produknya," tambah Brigitta
Maria, bintang film, penanggung jawab modeling Matari.
Untuk bintang film yang cukup terkenal, Matari biasanya memberi
imbalan tertinggi Rp 2 juta. Yang tidak terkenal, Rp 30.000
saja. "Tapi ada juga yang hanya Rp 20.000 kalau yang
bersangkutan hanya figuran," ungkap Karmadi.
Menurut Baty Subakti, manajer bagian media Indo Ad, pengolahan
film di Jakarta memerlukan antre panjang, sedang kualitasnya
masih mengkhawatirkan. Sedang pengolahannya di luar negeri,
"cepat, murah, dan baik kualitasnya," ungkap Baty.
Awal Februari, Parfi mendekati Persatuan Perusahaan Periklanan
Indonesia (P31). Kedua pihak, setelah terlibat pembicaraan
hangat, menghimbau supaya produsen mengutamakan artis dan
karyawan film Indonesia, dan agar pembuatan film iklan sebaiknya
dikerjakan di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo