Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Seni

Goenawan: Sajak Tidak Harus Bermakna, tapi Hadir dan Ada  

Penyair sekaligus pendiri Tempo, Goenawan Mohamad, menyoroti problem antara puisi dan kekuasaan dalam acara Teras Budaya Tempo, Jumat, 19 Febuari 2016.

19 Februari 2016 | 20.50 WIB

Aktor Slamet Rahardjo membacakan puisi karya Goenawan Mohamad di depan penyairnya dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dalam acara Puisi dan Politik: Ceramah dan pembacaan Sajak Goenawan Mohamad di Gedung TEMPO, Jakarta, 19 Februari 2016. TEMPO/Charisma
Perbesar
Aktor Slamet Rahardjo membacakan puisi karya Goenawan Mohamad di depan penyairnya dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dalam acara Puisi dan Politik: Ceramah dan pembacaan Sajak Goenawan Mohamad di Gedung TEMPO, Jakarta, 19 Februari 2016. TEMPO/Charisma

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Penyair sekaligus pendiri Tempo, Goenawan Mohamad, menyoroti problem antara puisi dan kekuasaan dalam acara Teras Budaya Tempo pada Jumat, 19 Februari 2016. Dalam acara dengan tema "Puisi dan Politik" itu, Goenawan menjelaskan hubungan perkembangan sajak dengan kekuasaan politik.

"Yang akan saya bicarakan adalah problem antara puisi dan kekuasaan. Seorang penyair Arab dihukum mati dan dianggap murtad. Salahnya, hanya membuat sebuah puisi yang berjudul Instruction," ujar Goenawan dalam ceramahnya di gedung Tempo, Palmerah, Jakarta.

Menurut Goenawan, sejak zaman Plato, masalah tersebut sudah terjadi. Saat itu Plato ingin mengusir para penyair karena dianggap membangkitkan, merawat, dan memperkuat perasaan serta merusak nalar. "Itu argumen rasionalismenya," tutur Goenawan.

Plato berpandangan, rasionalisme merupakan hal yang paling utama dalam kehidupan. Karena itu, terjadi hierarki dalam memandang keberadaan puisi. "Prosa, dengan bahasanya yang lebih transparan, lebih diunggulkan ketimbang puisi," ucapnya.

Dunia modern pun, menurut Goenawan, memperkukuh rasionalitas yang meluas menjadi kapitalisme. Dalam paham tersebut, kata dia, sebuah benda hanya dinilai berdasarkan nilai tukarnya. "Ini mempersempit kreativitas," ujarnya.

Namun puisi mendapatkan tempat yang berbeda saat ini. Menurut Goenawan, puisi telah terbebas dari hierarki kekuasaan. "Puisi hanya menghadirkan benda-benda dalam bentuk kata. Sajak tidak harus bermakna, tapi hadir dan ada. Di situlah kebebasan puisi. Ini yang harus kita syukuri sekarang," tuturnya.

ANGELINA ANJAR SAWITRI




Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Clara Maria Tjandra Dewi

Clara Maria Tjandra Dewi

Lulus dari Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran pada 1996. Bergabung dengan Tempo pada 2001. Kini menulis untuk desk hukum dan kriminal yang mencakup isu hukum, kriminal dan perilaku.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus