Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekerasan tidak dapat dikalahkan oleh kekerasan yang hanya menelurkan kekerasan baru tanpa henti," demikian tulis Y.B. Mangunwijaya kepada warga Kedungombo, warga yang selalu dibelanya selama hidupnya. Di dalam suratnya tertanggal 28 Januari tahun ini, Romo Mangun, demikian sapaan akrabnya, tetap memperlihatkan dukungannya atas protes warga Kedungombo dan mengharapkan kekerasan yang dialaminya dijawab dengan kelembutan hati.
Ini adalah salah satu dari beberapa surat Romo Mangun yang terakhir sebelum ia mengembuskan napasnya yang terakhir di Ruang Puri Hotel Le Meridien, setelah menyampaikan makalah dalam Simposium Buku "Meningkatkan Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Baru Indonesia", Rabu pekan silam.
Bentuk kekerasan yang dibalas dengan kelembutan hati agaknya adalah sebuah gambaran kehidupan Romo Mangun, yang punya pengalaman hidup penuh warna. Lahir di Ambarawa, 6 Mei 1929, sebagai putra sulung dari 12 bersaudara anak pasangan Yulinus Sumadi Mangunwidjaja, Romo Mangun?yang nama lengkapnya adalah Yusuf Bilyarta Mangunwijaya?pernah mengenyam pendidikan di Rheinsche Westfaelische Technische Hochschule, Aachen, Jerman Barat. Pada 1966, ia menjadi dosen luar biasa Jurusan Arsitektur Universitas Gadjah Mada, dan kemudian dikenal sebagai arsitek bebas Keuskupan Agung Semarang.
Sebelumnya, ia pernah merasakan sebuah dunia yang disebut sebagai "dunia yang keras", yaitu militer. Setamat SMP di Yogyakarta, ia sempat tergabung pada Tentara Pelajar dalam batalyon Mayor Soeharto, bekas Presiden Indonesia. Tugasnya selaku tentara memang tak terlalu heroik, yakni sebagai sopir untuk mengantar makanan buat sang Mayor. Tapi, dengan rendah hati, ia pun mengaku tak pernah merasa sebagai pahlawan. Justru rakyatlah yang layak mendapat predikat pahlawan. "Bila Belanda datang, kami lari, bukan karena kami pengecut, melainkan karena kekuatan tidak seimbang. Tapi rakyat kan tidak bisa lari. Mereka yang menjadi korban: diperkosa, dibakar rumahnya, dan ditembak," katanya suatu ketika.
Penghargaan dan kepeduliannya terhadap rakyat inilah yang di kemudian hari melambungkan namanya ketika ia menjalankan tugasnya sebagai pastor. Ia meninggalkan ketentaraan, yang dianggapnya berlumuran darah, dan memutuskan menjadi rohaniwan untuk membayar "utangnya" kepada rakyat. Padahal cita-citanya semula menjadi insinyur, menikah dengan gadis cantik, punya rumah, dan piknik di malam Minggu. Ucapan Mayor Isman-lah, salah seorang tokoh Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP), yang membuatnya tak bisa tidur. "Mayor Isman menyadarkan saya bahwa kami telah melakukan hal-hal yang kejam. Ia sampai minta tolong agar kami kembali menjadi manusia normal," ujar Mangunwijaya.
Dan manusia normal bagi Romo Mangun adalah mereka yang peduli terhadap sesamanya, terutama rakyat kecil. Contohnya perjuangannya menemani warga Kedungombo, Jawa Tengah, yang tergusur dari tanahnya oleh proyek waduk raksasa. Bayangkan, penduduk Kedungombo hanya memperoleh ganti rugi Rp 500 per satu meter tanahnya, senilai harga sebungkus rokok pada masa itu. Mangunwijaya tersentuh nuraninya. Tak peduli dengan cap mbalelo yang diberikan bekas presiden Soeharto kepada penduduk Kedungombo, Mangunwijaya kucing-kucingan dengan aparat keamanan yang mengisolasi wilayah itu dari dunia luar. Ia membantu penduduk merakit perahu ketika tanah mereka sudah tergenang air waduk. Tapi aparat keamanan justru mempretelinya. Ia juga mengerahkan mahasiswa menjadi relawan untuk mengajari anak-anak Kedungombo yang terbengkalai sekolahnya. "Kalau tidak ada Romo Mangun, mungkin anak-anak sekolahan yang itu sudah mati tergenang," kata Darsono, salah satu warga Kedungombo.
Tengoklah kawasan ledok Code, salah satu kawasan kumuh di tepi Kali Code, yang membelah Kota Yogyakarta. Orang masih bisa menyaksikan sisa-sisa sebuah karya bersama arsitektur antara Mangunwijaya dan penduduk yang bermukim di tepi sungai. Mulanya, pemerintah kota bermasud memberangus pandangan yang dianggap tak sedap ini karena "hanya" terdiri atas perkampungan yang berisi tukang becak, buruh, maling, pencopet, dan pelacur. Namun, Mangunwijaya berusaha mengubah citra miring itu dengan menerapkan konsep arsitektur sederhana tapi sangat memperhatikan aspek sosial dan ekonomi penghuninya. Dengan susah payah, terwujudlah bangunan bertingkat-tingkat bak rumah panjang suku Dayak di tepi sungai, dari bahan bambu, dengan ornamen yang bewarna-warni. "Itulah sesungguhnya arsitektur, sebuah lingkungan yang diciptakan oleh masyarakatnya sendiri, sebagaimana kebutuhan mereka," ujar Adhie Mursid, arsitek yang sempat kuliah bersama Mangunwijaya di Institut Teknologi Bandung. Tak berlebihan jika hasil kolaborasi itu membuahkan Aga Khan Award.
Di mata Adhie Mursid, Romo Mangun memiliki keistimewaan dalam dunia arsitektur Indonesia, terutama karena dialah salah satu dari sekian dosen yang ikut mendudukkan pendidikan arsitektur secara mantap di Jurusan Arsitektur UGM pada masa awal. Buku kuliahnya yang kemudian menjadi pegangan mahasiswa dan praktek kearsitekturannya yang ramah lingkungan itu banyak dikagumi oleh arsitek masa kini. Adhie menunjuk Bentara Budaya milik Kelompok Kompas Gramedia sebagai salah satu contoh gedung yang dibidani oleh Romo Mangun sebagai sesuatu yang fungsional. Gedung itu jadi menarik, menurut Adhie, karena Mangunwijaya melestarikan rumah Kudus dan membuatnya berfungsi kembali, memakai bangunan lama dengan fungsi baru. "Itulah konsep ramah lingkungan yang sudah digunakan Romo Mangun sejak dini," tutur Adhie.
Karakter Romo Mangun yang penuh kasih?meski dia sering bergurau dengan humor yang menggelitik dan tajam?tentu tidak terlepas dari hidup kesehariannya sebagai pastor.
Panggilan pastoral bagi Mangunwijaya merupakan sebuah bentuk keimanan untuk melakukan tindakan yang membuat manusia menjadi lebih manusia. "Gampang sekali berdoa. Tapi yang utama adalah berbuat adil untuk membela yang kecil dan solider terhadap yang menderita," katanya. Tak aneh kalau kemudian Mangunwijaya menerapkan praksis teologi yang sangat berbeda dengan kaum formalis. Bagi Mangunwijaya, bukan agamalah faktor nomor satu dalam hidup manusia, melainkan iman dan takwa yang ia sebut sebagai religiusitas. "Banyak orang beragama tapi tak beriman. Sebaliknya, banyak orang tidak beragama tapi justru beriman," ujar Mangunwijaya.
Tapi sikap religius Mangunwijaya kerap diartikan sebagai ancaman bagi pemeluk agama lain. Kiprah Romo Mangun di tengah rakyat Kedungombo, yang secara formal beragama Islam, dan penduduk ledok Code, dituduh sebagai upaya Kristenisasi. Padahal, di Kedungombo, ia melibatkan almarhum Kiai Hamam Ja'far dari Pesantren Pabelan, Magelang, Jawa Tengah. Tapi ia tak peduli. "Silakan mendakwa saya. Silakan memfitnah saya. Terserah. Yang bisa memberikan kesaksian yang benar adalah penduduk sendiri. Menolong warga negara, kok, masalah agama diikut-ikutkan," kata Romo Mangun.
Dalam komunitas sastra, Romo Mangun dikenal sebagai penulis novel yang produktif. Karyanya Burung-Burung Manyar?yang menurut dia terpengaruh oleh gaya bahasa Max Havelaar?Romo Rahadi, Ikan-Ikan Hiu, Ido, dan Homa, dan Puntung-Puntung Roro Mendut dinilai oleh penyair Sapardi Djoko Damono sebagai karya-karya yang menarik dari segi gagasan. "Tapi ia bukan seorang storyteller atau pendongeng yang menarik," ujar Sapardi. Kalimat yang digunakannya cenderung berpanjang-panjang dengan anak kalimat yang bertumpuk-tumpuk, sehingga karya Romo Mangun memang bukanlah tipe novel yang terlalu nikmat dibaca.
Di akhir hayatnya, hanya beberapa jam sebelum kepergiannya ke alam baka, ia masih sempat melempar kritik kepada pemerintah Orde Baru yang didominasi tentara sehingga tak mampu mendidik rakyat. "Tugas tentara memang bukan mendidik, melainkan berperang dan membunuh. Itulah yang dilakukan tentara," ujarnya, yang mengundang gelak peserta simposium.
Ia memang tak pernah ragu dalam melempar kritik. Kepada Jakob Oetama, pemimpin redaksi harian Kompas, ia pernah mengajukan kritik. "Katanya, Kompas melakukan diversifikasi agar ada basis ekonomi yang luas, sehingga bisa lebih berani; karena, kalau Kompas dibredel, masih bisa hidup. Tapi, saya lihat, setelah diversifikasi, kalian malah semakin takut," kata Jakob menirukan kritik Romo Mangun. Hubungan Romo Mangun dengan Kelompok Kompas Gramedia memang cukup dekat?sebagai seorang kontributor tulisan yang kritis. Ia juga pernah diminta menjadi arsitek gedung Bentara Budaya hingga melampaui anggaran dan batas waktu yang ada. Sembari bergurau, dia berkata kepada teman-temannya, "Biar saja. Kapan lagi saya ngerjain kapitalis?"
Sebelum mengembuskan napasnya yang terakhir, Romo Mangun tampaknya meninggalkan beberapa surat. Di antaranya yang ditemukan di dalam tasnya, yakni sebuah surat yang ditujukan kepada Presiden B.J. Habibie, yang berisi pemikirannya tentang kenegaraan, termasuk soal Timor Timur, dan juga surat tentang pemikirannya soal negara federalisme.
Ia memilih ordo Projo sebagai rohaniwan untuk menuju jalan pengabdiannya kepada rakyat kecil. Kepergiannya mengundang iring-iringan rakyat kecil sepanjang tiga kilometer untuk bertakziah di Kompleks Seminari Tinggi Kentungan, Yogyakarta, tempat peristirahatannya terakhir. Ia terbaring di dalam peti jenazah berwarna putih, mengenakan jubah putih, dan sebuah caping diletakkan di ujung kakinya. Lambang keberpihakan kepada rakyat kecil.
LSC, RFX, Mustafa Ismail, Dwi Wiyana, Prabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo