Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Seni

Berita Tempo Plus

Sepasang Topeng dari Kamboja hingga Tanah Jawa

Borobudur Writers And Cultural Festival merilis film tari berjudul Mahendraparvata yang menceritakan kedekatan peradaban manusia kuno di Kamboja dan Jawa. Tanpa dialog, film ini berfokus pada cerita sejarah, gerak tari, serta latar nan cantik.

11 September 2022 | 00.00 WIB

Film tari Mahendraparvata karya Borobudur Writers & Cultural Festival/Instagram - Borobudur Writers & Cultural Festival
Perbesar
Film tari Mahendraparvata karya Borobudur Writers & Cultural Festival/Instagram - Borobudur Writers & Cultural Festival

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Rimbunnya hutan dan jernihnya air River of a Thousand Lingas di Siem Reap, Kamboja, menjadi pembuka yang apik dari film tari Mahendraparvata besutan Borobudur Writers And Cultural Festival (BWCF).

Sesuai dengan namanya, River of a Thousand Lingas, terdapat ratusan bahkan mungkin ribuan batu lingga, atau lambang kesuburan pada agama Hindu, di dasar sungai nan dangkal tersebut. Saat menari di sungai itulah Chamroeun Dara, penari pria berkebangsaan Kamboja, menemukan sebuah topeng berwajah manusia.

Seperti menemukan mesin waktu, topeng tersebut seakan-akan membawa Chamroeun menuju masa lalu. Sembari membawa topeng, Chamroeun menari mengeksplorasi situs candi yang menyisakan reruntuhan itu. Candi-candi tersebut merupakan sisa megahnya peradaban masyarakat Kamboja sekitar seribu tahun silam.

Itulah sebagian reruntuhan dari Mahendraparvata, ibu kota peradaban Khmer pertama yang diyakini dibangun pada abad ke-9. Mahendraparvata berarti “Gunung Indra Agung”. Kata ini berasal dari bahasa Sanskerta, mahendra atau Indra Agung—gelar dewa Hindu, Indra. 

Menurut sejumlah sumber, situs arkeologi Mahendraparvata merupakan ibu kota pertama Khmer sebelum dipindahkan oleh Jayawarman II ke Hariharalaya. Situs ini tersembunyi sempurna oleh rapatnya pepohonan hutan selama lebih dari seribu tahun.

Penari Sruti Respati menari di tepi sungai dalam film tari Mahendraparvata karya Borobudur Writers & Cultural Festival/Instagram - Borobudur Writers & Cultural Festival

Mahendraparvata diteliti kembali oleh ekspedisi arkeologi yang dipimpin Jean-Baptiste Chavance dan Damian Evans pada 2012 dengan bantuan teknologi pemindaian laser udara yang disebut lidar. Teknik ini bisa menembus lapisan vegetasi tebal yang menyelimuti tanah.

Hasilnya, para peneliti menemukan bukti jalan setapak yang menghubungkan reruntuhan candi satu ke candi lainnya. Hal itu makin membuktikan bahwa candi-candi yang terhubung itu merupakan bagian dari planologi sebuah kawasan kota kudus. 

Perjalanan Chamroeun makin istimewa setelah berjumpa dengan Hun Pen, penari perempuan asli Kamboja. Diceritakan bahwa Hun Pen juga punya topeng yang mirip dengan yang dibawa Chamroeun ke sana-kemari. Ibarat perjalanan manusia, sepasang topeng itu merupakan benda masa lampau yang berjodoh. Chamroeun dan Hun Pen kembali melanjutkan perjalanan tapak tilas peradaban kuno bangsa Kamboja bersama dua topeng itu.

Film ini melibatkan empat penari. Selain penari Kamboja, ada penari Indonesia yang menari di kawasan Borobudur. Mereka adalah Sruti Respati, yang dikenal sebagai penyanyi keroncong, dan penari senior Darmawan Dadijono. Sepasang topeng itu seperti memberi benang merah perjalanan para penari mengeksplorasi candi. Sruti dan Darmawan, antara lain, mengeksplorasi Candi Borobudur.

Tidak ada dialog dan komunikasi verbal antar-penari. Kisah keempat penari itu dinarasikan dalam bahasa Kamboja, bahasa Indonesia, dan bahasa Jawa. Layar hanya menampilkan berbagai lekuk gerakan para penari yang menafsirkan kalimat yang diucapkan narator. Terkadang kamera menyorot gerak tangan mereka, terkadang pula menyasar kaki para penari yang saling silang.

“Kami ingin meneruskan apa yang sudah dirintis penari Indonesia, yaitu menghubungkan tari dan candi,” kata penulis skenario film ini, Seno Joko Suyono, dalam peluncuran film Mahendraparvata

Film tari Mahendraparvata karya Borobudur Writers & Cultural Festival/Instagram - Borobudur Writers & Cultural Festival

Seno mengatakan film tari ini bermaksud menghubungkan tari dan arkeologi. Tari kontemporer Indonesia banyak dan tidak asing dengan arkeologi di candi. Banyak penari, salah satunya Suprapto Suryodarmo, yang berproses dari candi ke candi, bahkan di lokasi peninggalan megalitikum. Sardono W. Kusumo juga mengeksplorasi berbagai candi di Indonesia sampai kuil di Jepang.

“Candi bukan hal asing dalam tari kontemporer Indonesia. Di situlah para penari punya kekuatan dalam merespons kekuatan batu ornamen dan arsitektur candi,” ujar Seno.

Hal yang mungkin berbeda adalah pengambilan latar lokasi tari dalam film itu, yaitu di candi yang berada di Kamboja. Seno menyebutkan tempat itu dipilih lantaran ia pernah menulis buku soal Kamboja sekitar 10 tahun lalu. Pengetahuan itu pula yang mempermudahnya melakukan riset. “Saya tahu peta candi di Kamboja. Tugas teman yang lain adalah merealisasi naskah saya dari segi estetika,” katanya.

Karena berfokus pada gerak tari tanpa dialog, Seno dan kawan-kawan sangat serius mengedepankan angle kamera nan sinematik. Karena itu, pengambilan gambar dilakukan sembari melayang menembus pepohonan hutan, di celah reruntuhan candi, hingga jernihnya sungai.

Penari Iwan Dadijono menambahkan, dalam membuat film tari, kolaborasi di antara koreografer atau penari, sutradara, dan director of photography memang penting. Menurut Iwan, yang kerap tampil di panggung atau teater, biasanya orang hanya akan melihat penampilan penari dari satu angle.

Namun, ketika penari muncul dalam film tari, ia melihat bagaimana visualisasi dilakukan lebih detail. Kamera bisa mengambil gerakan tari dari angle atas, bawah, kanan, atau kiri. Bagi Iwan, film ini membuatnya belajar tentang sinematografi. Sebaliknya, bagi tim sinematografi, mereka harus belajar tentang koreografi.

Kolaborasi ini tidak hanya menampilkan gerakan tubuh, tapi juga secara khusus tangan dan kaki serta sifat-sifatnya. “Misalnya bagaimana nylekenthing, posisi jari-jari kaki yang ditekuk ke atas, jadi punya kekuatan yang luar biasa di kamera,” kata penari yang sudah tampil di Asia, Eropa, hingga Amerika Serikat ini.

Dalam film itu, memang setiap gerakan tari terlihat sangat rinci. Kamera menyorot lekuk tubuh dan gerakan para penari dengan sangat detail. Terlihat pula bagaimana perbedaan antara tarian serta topeng yang dibawakan penari asal Kamboja dan tari topeng yang dibawakan oleh penari Indonesia.

Ketika mengisahkan soal topeng, para penari Kamboja tidak pernah mengenakan topeng itu di wajahnya. Biasanya topeng itu mereka pegang ketika sedang menari, memaknai kisah dari narator. Sedangkan penari Indonesia membawakan kisah si topeng sembari mengenakannya pada wajah.

Iwan mengatakan makna tari topeng di Indonesia banyak sekali. Bahkan, di Indonesia, topeng memiliki karakter masing-masing, yang mengandung makna kehidupan dan watak manusia. Ada topeng bahagia, sedih, tertawa, atau malu. “Makna topeng di Indonesia sangat luar biasa. Topeng dibuat sesuai dengan karakter mereka. Tapi, di Kamboja, topeng digunakan untuk ritual khusus,” kata penari dengan pendidikan S-3 Penciptaan Seni ISI Surakarta ini.

Seno menggunakan topeng untuk menceritakan hubungan sejarah antara Kamboja kuno dan Jawa kuno. Berdasarkan riset, ternyata hubungan kedua wilayah ini berkembang sejak abad ke-8. Salah satu buktinya adalah terdapat prasasti di perbatasan Kamboja dengan Thailand yang menyebutkan bahwa, sebelum menjadi penguasa di Kamboja, Raja Kamboja pada abad ke-9, Jayawarman II, pernah berada di tanah Jawa. 

Seno Joko Suyono (kiri) dan Darmawan Dadijono dalam Peluncuran Film Tari Mahendraparvata karya Borobudur Writers & Cultural Festival pada 3 September 2022 di Jakarta. TEMPO/Mitra Tarigan

Para arkeolog menduga Kota Mahendraparvata dibangun pada masa pemerintahan Raja Jayawarman II setelah pulang dari Jawa. Namun ihwal kedekatan Khmer dengan Jawa masih menimbulkan pertanyaan dan membutuhkan pembuktian lebih lanjut. Sebab, ada dua kemungkinan ihwal Jawa itu, yakni peradaban di Pulau Jawa di Indonesia atau Jawa, sebuah lokasi di Negeri Champa atau yang sekarang dikenal sebagai Vietnam.

Meski begitu, Seno berharap film tari Mahendraparvata bisa menjadi referensi serta bahan diskusi bagi para mahasiswa jurusan tari. Masyarakat pun bisa lebih paham akan hubungan erat antara Jawa dan Kamboja sejak abad ke-8. Maklum, kisah itu selama ini hanya diketahui oleh beberapa arkeolog.

Tim BWCF berencana menayangkan Mahendraparvata di sejumlah kota. “September ini akan kami tayangkan di Malang, lalu Jogja, dan kemudian Jambi.”

INDRA WIJAYA | MITRA TARIGAN
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Indra Wijaya

Bekarier di Tempo sejak 2011. Alumni Universitas Sebelas Maret, Surakarta, ini menulis isu politik, pertahan dan keamanan, olahraga hingga gaya hidup.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus