Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pelukis Galuh Tajimalela menggelar pameran tunggal di Artsphere Gallery, Jakarta.
Ikhtiar Galuh membumikan pahlawan nasional dari sisi kemanusiaan.
Tugas seniman dan galeri seni makin mempopulerkan lukisan cat air.
Ruang pameran Artsphere Gallery di Jakarta Selatan mendadak tampak seperti museum pada Kamis, 15 Februari lalu. Musababnya, terdapat 11 lukisan dengan obyek tokoh penting hingga pahlawan lokal dan luar negeri yang dipamerkan. Lukisan-lukisan itu karya pelukis spesialis cat air bernama Galuh Tajimalela yang ditampilkan dalam pameran bertajuk "Towards the Estuary" hingga 9 Maret mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lukisan berjudul The Dialoque, misalnya. Karya berukuran kertas 100 x 300 sentimeter itu menampilkan dua tokoh penting yang sudah wafat, yakni presiden keempat Indonesia Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dan Kepala Polri periode 1968-1971 Hoegeng Imam Santoso.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Uniknya, terdapat gelembung percakapan di antara kedua tokoh tersebut. Sekilas lukisan tersebut kini berubah mirip kondisi komik. Pada panel Hoegeng, terdapat kalimat tanya, "Bagaimana keadaan institusi kami setelah saya ga ada?" Sedangkan gelembung percakapan dari sisi Gus Dur bertulisan kalimat, "Ya ga tau! Wong saya pun sudah ga ada."
Dialog singkat tersebut, meski terkesan receh, sukses memunculkan senyuman di bibir pengunjung pameran. Selain punya dialog unik, karya lukisan Gus Dur dan Jenderal Hoegeng itu memang layak mendapat pujian. Sapuan dan goresan cat air di atas kertas cold pressed sungguh mengagumkan.
Lukisan The Dialoque karya Galuh Tajimalela dalam pameran tunggal “Towards the Estuary” di Artsphere Gallery, 15 Februari 2024. TEMPO/ Indra Wijaya
Ada pula lukisan berjudul Kami Adalah Kontjie, yang menampilkan sosok Jenderal Besar Sudirman yang dilukis menempel pada sudut dengan pintu besi tertutup dan disegel gembok baja. Pangeran Diponegoro ikut tampil dalam lukisan berjudul Perpisahan Sang Pangeran Sang Pengabdi #2. Pelukis menggambarkan sosok Pangeran Diponegoro sedang mendekap kepala kuda kesayangannya sebagai tanda perpisahan nan abadi.
Selanjutnya, Galuh melukis sosok Raden Saleh dalam kertas cold pressed berukuran 110 x 150 cm. Lukisan kali ini dibuat unik lantaran sosok Raden Saleh justru diletakkan di tengah pohon rindang yang menjadi tempat beristirahat seekor kuda. Lukisan ini diberi judul Berteduh di Bawah Pohon Raden Saleh.
Bagi Galuh, niatnya melukis tokoh dan pahlawan nasional bukan tanpa sebab. Rupanya ia ingin mengajak masyarakat mengingat kembali jasa para pahlawan yang menjadi kunci manisnya kemerdekaan saat ini.
Galuh mengatakan, pada tampilan karya-karyanya dengan gaya kontemporer, pahlawan tetap dirasakan penuh warna kekinian, tidak digambarkan dengan darah atau kepala terpenggal, yang menjadikan orang-orang merasa trauma untuk mengingatnya. "Tapi bagaimana orang tetap bisa mengingat perjuangan mereka adalah dengan mengangkat sisi kemanusiaannya," katanya kepada Tempo, Sabtu, 17 Februari 2024.
Sebagai contoh, pada lukisan Pangeran Diponegoro, Galuh justru menampilkan perpisahan sang pahlawan dengan kuda kesayangannya bernama Kyai Gentayu. Ia menggambarkan bagaimana Pangeran Diponegoro memeluk erat dengan penuh kasih sayang sebagai tanda akhir sebuah pertemuan.
Pemilik Artsphere Gallery, Maya Sudjatmiko, mengatakan Galuh punya cara jitu untuk mendekatkan nilai sejarah kepada generasi muda, yakni lewat seni rupa. Terlebih, Galuh mampu melukis para pahlawan dengan nilai seni yang cenderung disukai anak muda, seperti pemilihan warna yang lebih kaya dan goresan yang andal.
Kolase foto lukisan berjudul Kami Adalah Kontjie (kiri) dan Berteduh di Bawah Pohon Raden Saleh karya Galuh Tajimalela dalam pameran tunggal "Towards the Estuary" di Artsphere Gallery, 15 Februari 2024. TEMPO/Indra Wijaya
Selain itu, Maya menyoroti kemampuan Galuh memahami isu yang sesuai dengan tokoh atau pahlawan yang ia pilih sebagai obyek lukisan. Sebagai contoh, pada lukisan Gus Dur dan Jenderal Hoegeng, Galuh paham akan cerita Gus Dur tentang tiga polisi jujur Indonesia, yakni patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng.
"Itu kan simbolis sekali kenapa Gus Dur bicara seperti itu. Sekarang mereka sudah bersatu di akhirat dan masih mengobrolkan hal yang sama," ujarnya.
Maya juga menyinggung soal keputusan Galuh berkarya dengan media cat air dan kertas. Menurut dia, sejatinya tak ada perbedaan dari segi kualitas dan nilai seni antara lukisan cat air dan lukisan cat minyak atau cat akrilik. Sayangnya, di benak masyarakat, khususnya penikmat seni rupa, lukisan cat air masih dipandang sebelah mata.
Masih saja ada anggapan bahwa lukisan cat air tak semegah lukisan cat minyak ataupun cat akrilik. Begitu pun dengan kualitas kertas yang dianggap tak seawet kanvas. Padahal, dari segi kualitas, cat air juga tak kalah indah dari cat minyak dan akrilik. Begitu pula dengan kertas yang semakin modern dan tak mudah rusak.
"Memang, sebagai orang galeri, saya punya pekerjaan rumah mengedukasi publik kenapa kertas dan cat air enggak kalah penting dibanding kanvas," kata Maya.
Segendang sepenari, Galuh Tajimalela, yang mendalami lukisan cat air sejak 2012, kini semakin tertantang untuk memperkenalkan lukisan cat air lebih luas lagi di dunia seni rupa Indonesia. Ia berharap lukisan bermedia kertas dan cat air bisa setara dengan lukisan bermedia kanvas.
Walhasil, Galuh berencana rajin mengikuti kegiatan seni rupa tahun ini. "Entah nanti di art fair, seperti Art Jakarta serta Art Moment, atau dan sebagainya."
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo