Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Mimpi Dua Italia di Ranah Grafis

Seratus lebih karya maestro grafis dunia dipamerkan di tiga kota: Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Petualangan visual menyusuri sejarah seni kontemporer sejak 1960-an.

14 Juni 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK menikmati sebuah karya seni, terkadang kita menuntut bentuk utuh yang harmonis. Tapi, dalam karya grafis, kata kurator seni Achille Bonita Oliva, kita justru diajak menikmati ketidakutuhan itu. Maka, ketika menyaksikan karya seniman Lucio Fontana, alam imajinasi kitalah yang berbicara.

Dibuat pada 1968, karya berjudul Senza Titolo (Suite of Six) itu menyajikan gambar lingkaran besar hitam di atas kertas putih. Lingkaran hitam besar itu terpotong guratan-guratan tipis memanjang. Tonjolan dan lubang-lubang kecil bekas cukilan tampak mengitarinya.

Pengalaman serupa kita rasakan ketika melihat karya Alberto Burri, yang diciptakannya pada 1965. Melalui karya bertajuk Combustione 2, Burri menyajikan efek kertas dengan lubang besar kehitaman bekas terbakar di bagian tengahnya. Pada zamannya, ini eksperimen yang sangat berani.

Dua karya seniman Italia yang dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pada 4-24 Juni itu mengawali sejarah berkembangnya seni grafis di Italia. Karya itu sekaligus menandai eksisnya percetakan 2RC di Roma, yang didirikan dua saudara Valter dan Eleonora Rossi serta sepupu mereka, Franco Cioppi, pada 1959. Niat mendirikan percetakan didasari keyakinan bahwa seni grafis sesungguhnya adalah satu cabang seni rupa seperti halnya seni lukis atau seni patung. Mereka bermimpi membuat percetakan itu sebagai bengkel kerja yang tak cuma bisa mengembangkan beragam teknik grafis, tapi juga memberikan kebebasan kepada para seniman untuk menuangkan ide-ide gila mereka.

Pendekatan Lucio Fontana terhadap penggunaan material, pemotongan, dan pelubangan pada lembaran linoleum, mewakili bentuk percobaan konsep-konsep ruang yang baru. Begitu pula dengan karya Alberto Burri, yang sudah beberapa kali dicetak ulang sejak 1962 hingga 1983. Efek terbakar diciptakan dengan menggunakan asam plastik transparan dan warna-warna beragam. Lewat karya ini juga diperkenalkan material cretti (celah pada permukaan lukisan) di atas kertas melalui teknik grafir (engraving) dan aquatint (menggunakan asam untuk mencetak) yang terperinci dan tak lazim. ”Ini adalah grafir yang paling mendekati lukisan, bahkan hampir menimbulkan kerancuan,” tutur Vittorio Rubio, salah seorang seniman Italia.

Tak mengherankan bila kemudian banyak seniman yang tertarik berkolaborasi dengan percetakan ini. Selain Fontana dan Burri, selama kurun 1962 hingga 1969, sejumlah seniman turut mencetak karyanya bersama 2RC. Gio Pomodoro, Giuseppe Capograssi, Piero Dorazio, Pietro Consagra, Achille Perilli, dan Adolph Gottileb adalah beberapa di antaranya. Belakangan, pada 1969, UNESCO menugasi Rossi bersaudara untuk membuat karya grafis dan berkolaborasi dengan berbagai seniman ternama di dunia.

Dari situlah mimpi mereka untuk bekerja sama dengan seniman kelas dunia seperti Eduardo Chililda, Arnaldo Pomodoro, Victor Pasmore, Louse Nevelson, dan Pierre Alechinsky terwujud. Konsep 2RC selanjutnya berubah, bukan lagi seniman yang pergi ke percetakan, melainkan percetakanlah yang mendatangi kediaman para seniman. Maka menjelajahlah Rossi dari Roma, Bodrum (Turki), Menton (Prancis), Palma di Majorca (Spanyol), hingga Los Angeles, Point Race, dan New York, (Amerika Serikat). Kemampuan mereka memproduksi seni grafis dalam format dan teknik yang tak umum juga menarik perhatian kolektor pribadi dan museum.

Karya fantastis hasil kolaborasi para seniman dan dua maestro percetakan Italia itulah yang bisa kita saksikan di ruang pamer Galeri Nasional. Pameran ini merupakan bagian dari rangkaian pameran bertajuk Doppio Sogno dll’Arte-2RC tra artista e artefice (Mimpi Ganda Sebuah Seni-2RC antara Seniman dan Pencipta). Sejak 2007, pameran ini telah bergulir di Eropa (Tirano, Italia; Moskow, Saint Petersburg, Rusia; Beograd, Serbia); Amerika Serikat (Chicago, Indianapolis, San Francisco), dan Asia. Pada 2009 pameran ini singgah di Beijing (Central Academy of Fine Arts), Shenyang (Luxun Academy of Fine Arts), dan di Seoul (Museum of Art, sampai April 2010).

Selain Galeri Nasional, pameran digelar di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung (29 Mei-22 Juni 2010), dan Sangkring Art Space, Yogyakarta (11-20 Juni 2010). Tak kurang dari 145 karya grafis—termasuk etsa, aquatint, litografi, serta embossing—dan delapan piringan tembaga akan dipamerkan di tiga tempat itu: History, berisi karya para seniman yang mewarnai sejarah awal 2RC di Galeri Nasional; The Avant-Garde, menampilkan karya-karya seniman yang menghidupkan semangat avant-garde di Selasar Sunaryo Art Space; dan The American and British Artist, berupa karya seniman Amerika dan Inggris di Sangkring Art Space. ”Untuk mendapat gambaran menyeluruh, Anda harus melihat pameran di tiga kota itu,” ujar Duta Besar Italia Roberto Palmieri.

Melalui pameran yang digelar Kedutaan Besar Italia bekerja sama dengan Kamar Dagang Italia, Pusat Kebudayaan Italia, dan Biasa Artspace itu, petualangan 2RC dipaparkan dengan ideal. Berawal dari pembakaran dan cretti Alberto Burri yang dipamerkan di Jakarta, beralih ke bentuk biologis yang ditawarkan Victor Pasmore atau figur-figur Henry Moore dan potret George Segal yang ditampilkan di Yogyakarta, hingga Transavanguardia karya Enzo Cucchi dan Francesco Clemente yang ditampilkan di pameran di Bandung.

Pameran yang dikurasi Achille Bonito Olivo—kritikus seni grafis dan profesor sejarah seni terkemuka Italia—itu memberikan pengalaman visual yang mengilustrasikan penelitian kolaboratif yang dilakukan oleh studio percetakan seni 2RC. ”2RC tidak hanya sebagai tempat produksi, tapi juga sebagai tempat kreativitas sang seniman dan maestro grafir bersatu padu,” kata Livia Raponi dari Institut Kebudayaan Italia, Jakarta.

Pameran seni grafis ini mengajak kita menyusuri kembali sejarah seni kontemporer, khususnya seni grafis, sejak setengah abad lalu. Kata Achille Bonito Olivo, sang kurator, ”Karya-karya yang dipamerkan mewakili pusat pertemuan sejarah seni kontemporer dari 1960-an sampai hari ini. Sebuah tradisi kreativitas Italia.”

Nunuy Nurhayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus