Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Duo rock asal Jakarta, Monkey to Millionaire, merilis album ketiganya, Tanpa Koma, 1 Maret 2017. Tanpa Koma menjadi album perdana yang mereka produksi dan edarkan sendiri di bawah bendera Binatang Records.
Vokalis, gitaris, dan penulis lirik Monkey to Millionaire, Wisnu Adji, mengatakan album tersebut sudah digarap setelah mereka merilis album kedua, Inertia, empat tahun lalu. “Di Monkey to Millionaire kebiasaan kalau sehabis bikin album, sudah kepikiran yang berikutnya,” kata Wisnu dalam rilis yang diterima Tempo, Senin, 6 Maret 2017.
Wisnu juga menjelaskan suasana Monkey to Millionaire untuk menghasilkan album ketiga mereka. “Lebih ke penasaran: ‘Kalau bikin lagu syahdu, bisa enggak?’” kata Wisnu. “Tapi pada akhirnya, eksekusinya banyak juga lagu yang kencang, cuma nggak sekencang Inertia.”
Tanpa Koma direkam mulai 2015 di SAE Jakarta, Syaelendra Studio, dan Studio Monyet. Basis Monkey to Millionaire Aghan Sudrajat mengatakan, "Tanpa Koma adalah album yang proses produksinya paling ribet dibanding album-album sebelumnya.” Karena itu mereka harus masuk masuk tiga studio rekaman, dua mixing engineer yang berbeda, dan dua mastering engineer yang berbeda juga.
Tanpa Koma di antaranya berisi “Tular”, lagu pembuka bertempo cepat dengan permainan drum yang mengesankan oleh M. Rama Adibrata dan “Teduh Hari Ini”, yang menempatkan suara Wisnu seolah-olah sedang berbisik di telinga kita. Tercatat sepuluh lagu mengisi Tanpa Koma.
Jika di album-album sebelumnya, Monkey to Millionaire menggunakan lirik berbahasa Indonesia maupun berbahasa Inggris, maka Tanpa Koma merupakan album pertama mereka yang sepenuhnya berisi lirik berbahasa Indonesia.
Ketika ditanya untuk menjelaskan arti di balik liriknya, Wisnu berkata, “Gue benar-benar nggak bisa banyak cerita, karena banyak persoalan internal. Makanya judulnya Tanpa Koma, karena persoalan internal itu enggak berhenti.”
Wisnu mengatakan lagu-lagunya terinspirasi kisah nyata, baik yang dialaminya sendiri maupun yang terjadi di sekitarnya. Misalnya “Nista” dengan lirik bercerita tentang seseorang yang mengkhianati keluarganya sampai rela meninggalkan anaknya sendiri. Atau “Malam Mangsa", sebuah kisah tentang istri yang menelantarkan suami dan anaknya. “Mengetuk Hati Benalu” bercerita tentang rasa tidak senang saat ketemu teman lama.
Wisnu menjelaskan mengapa lirik-lirik yang ditulisnya terkesan depresif. “Gue enggak suka lirik lagu tentang kepositifan secara gamblang, karena enggak seru. Kalau senang, pasti kelihatan. Untuk apa ngomong sesuatu yang sudah kelihatan?”
KODRAT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini