Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
SUASANA panggung begitu mencekam. Gelap dan sepi. Di sekelilingnya, tampak titik-titik cahaya dari puluhan dupa menyala yang terpasang di dahan pohon-pohon jepun. Asapnya yang harum beterbangan di atas panggung 5 x 4 meter itu. Tak lama berselang, muncul seorang pria. Dia berdiri tegak, lalu memecah keheningan dengan suaranya yang lantang. "Ketika tangan dan kakiku lumpuh, dan tubuhku tak mampu lagi melontarkan seluruh kobaran batin yang bergelora di kepala," katanya. "Aku menatap ke langit yang tiba-tiba berbicara: anakku, jangan sesali apa yang kamu miliki."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo