Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Soekarno-Hatta dan proklamasi

Sayembara patung proklamator dimenangkan oleh nyoman nuarta, 28, dari itb. disayangkan tak ada yang ambil ilham dari foto dokumentasi/pphos. peresmian monumen patung proklamator tgl 17 agustus '80.(sr)

15 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIRNYA Panitia Sayembara Patung Proklamator, sampai dengan batas waktu penutupan, 28 Agustus, hanya menerima 63 karya peserta. Padahal yang mendaftar tadinya 190. Kemungkinan besar para peserta itu kesulitan waktu. Hanya sekitar sebulan --juga harus melengkapi patung dengan maket atau denah komposisinya. Tol panitia penilai (11 orang, antara lain pematung Edhi Soenarso, pematung & pelukis But Muchtar, Dirjen Cipta Karya ir Radinal Mochtar, Sekkab Ismail Saleh) berhasil menyisihkan tiga karya terbaik. Satu karya Nyoman Nuarta dari Bandung, satu karya Kelompok Lima dari Yogya dan satu karya kelompok GS & BS. Dari 63 karya yang masuk memang terlihat bermacam tafsir--terhadap sikap kedua proklamator. Tapi rata-rata menggambarkan Sukarno-Hatta berdiri berdampingan, sementara Sukarno memegang naskah proklamasi. Ada yang menggambarkan kedua kaki kedua proklamator itu merapat. Ada yang kaki kiri di depan, dan kepala mendongak ke atas. Tapi ada pula yang menafsirkan agak aneh: Sukarno dan Hatta berhadapan, tangan kiri Sukarno mengepit tongkat dan tangan kanannya mengepal diangka setinggi kepala. Hatta di hadapan Sukarno, tenang-tenang saja kedua tangannya ditaruh di depan dan kaki kanan di dpan. "Kok seperti hendak berkelahi," kata seseorang yang kebetulan melihat-lihat patung-patung itu di Gedung Pola. Menengok Ke Kiri Yang segera dapat dilihat ialah tak berhasilnya patung-patung itu menyu,hkan suasana proklamasi. Patung-patung yang menggambarkan Bung Karno dengan sikap bersemangat, tangan mengepal ke atas dan naskah proklamasi melambai di tangan satu lagi, agaknya janggal. Sikap tersebut adalah sikap Bung Karno ketika berpidato di depan massa. Tapi sikap yang biasa berdiri tegak dengan naskah dipegang dua tangan, sementara Hatta dalam sikap bersiap, ternyata juga tak berbicara apa-apa. Masih untung kalau wajah dua patung itu memang mirip Sukarno-Hatta. Kalau tidak, hanya lewat teks proklamasi yang dipahat pada batu, atau tugu yang menjadi bagian monumen patung itu kita bisa menebak bahwa yang dimaksud memang itu Sukarno dan Hatta. Dari sekian patung, ternyata ada jUgd sebuah yang tak menggambarkan Sukarno-Hatta dalam keadaan berdiri. Tapi duduk. Mereka seperti sedang bercakap santai di sebuah batu besar. Dan di baru itu terpahat teks proklamasi. Memang tak harus menggambarkan detik-detik proklamasi secara yang diabadikan IPPHOS lewat foto.yang populer itu. Tapi menggambarkan kedua prokalamator lagi santai dan sepertinya di sebuah bukit, memang keterlaluan. Suasana yang tersuguhkan bukannya khidmat. Kepala Sukarno yang tunduk dan Hatta yang duduk dengan kaku, memberikan suasana muram dan "aneh". Bagaimana dengan patung pemenang? Nyoman Nuarta, 28 tahun, mahasiswa Seni Rupa ITB Jurusan Patung menggambarkan sikap Sukarno dengan baik. Memegang naskah setinggi pinggang, dengan kepala agak menengok ke kiri, ada satu sikap agung dan khidmat. Dan ini didukung oleh patung Hatta ang tegak, kedua tangan ke belakang. Komposisi itu sekalius menyatukan kepribadian dua tokoh tersebut dan menggambarkan posisi masing-masing Sukarno yang tampil membaca naskah dan Hatta mendampingi dengan sikap terlibat dan ambil bagian dalam peristiwa penting itu. Tidak seperti sebagian besar karya -- yang sedemikian rupa meletakkan posisi dan sikap Hatta sehingga memberi kesan kalau tidak seperti seorang ajudan, ya seperti seorang yang acuh tak acuh. Tafsiran Nyoman adalah--menurut dia: keagungan Bung Karno tidak terlihat dari wajahnya, tapi dari sikapnya. Karya Kelompok Lima, ternyata patungnya dikerjakan sendiri oleh J. Sumartono, 34 tahun, asisten dosen Jurusan Patung Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia Asri, Yogya. Oleh Panitia Penilai, karya ini dianggap yang paling persis menggambarkan wajah Sukarno dan Hatta. "Bung Karno itu keras dan Bung Hatta lemah-lembut. Kontras ini menarik," kata Sumartono kepada TEMPO. Agaknya Sumartono yang berpengalaman membuat patung-patung tokoh nasional untuk diorama di Monumen Nasional, juga patung potret Jenderal Nasution dan beberapa tokoh militer di Museum Satria Mandala, memang jago mematung potret. Kesulitan dia "sebagian besar potret Bung Hatta sedang tersenyum. Kalau ada potret serius, biasanya potret dari samping. Apadia tersenyum waktu proklamasi? 'Kan tidak." Karya kelompok GS & BS, yang agaknya diketuai pematung G. Sidharta, keseluruhan maket dan rencana penempatannya serasi dengan lingkungan, tidak tenggelam oleh bangunan gedung yang sudah ada dan tidak menenggelamkan patung yang sudah ada," komentar Edhi Soenarso, salah seorang penilai. Kekurangannya "Potret figur sangat lemah." Simbol Kekuatan Walhasil, ketiganya memang mempunyai kekuatan dan kelemahannya sendiri -- meski dibanding 60 peserta yang lain memang jauh lebih baik dan kena. "Tidak ada waktu untuk menggarap figurnya," kata Sidharta menunjukkan alasan. Padahal sudah direncanakannya bahwa "Sukarno itu dinamis, penggeraknya. Hatta lebih sebagai pemikirnya." Itu agaknya menyebabkan Dharta menggarap latar belakang dengan sungguh-sungguh seekor garuda besar, setinggi dua kali patung figurnya. "Itu simbol kekuatan," tuturnya. Panitia rupanya tak bisa menentukan dari ketiganya mana yang paling unggul. Karena itu, ketiganya dianggap senilai. Hadiah dibagi rata, masing-masing Rp 1,2 juta. Sebab itu pula panitia memutuskan untuk menggabung ketiga karya: dibuang kelemahannya, diambil kekuatannya. Misalnya, kepersisan wajah karya Sumartono, sikap figur dari karya Nyoman Nuarta dan keseluruhan komposisi beserta latar belakang dari G. Sidharta. Kebetulan sekali Nyoman dan Martono adalah murid Sidharta. Sehingga "tak ada kesulitan kalau harus kerja sama," kata Nyoman. Tapi menurut Edhi, dan juga Sidharta, ternyata pemenang diminta merencana lagi karya baru. Artinya tidak harus seperti yang telah mereka buat. Jadi apa yang telah dimenangkan Panitia Penilai? "Prinsipnya," kata Sidharta. Contohnya: elemen kekuatan yang diwuudkan dalam burung garuda pada karanya, dinilai panitia sebagai tepat. "Tapi tidak harus burung garuda seperti itu," katanya. Bagaimana nanti jadinya, boleh ditunggu sampai 17 Agustus 1980, waktu yang dipilih untuk meresmikan monumen patung proklamator ini. Yang agak mengherankan, kenapa tak ada yang mencoba menimba ilham dari foto dokumentasi IPPHOS: Sukarno-Hatta di depan, dan di belakangnya sejumlah orang dengan khidmat mengikuti pembacaan naskah proklamasi. Sekaligus banyak hal bisa dicapai dengan itu: suasana waktu itu yang bisa digambarkan dengan pakaian figur, dan makna proklamasi yang didukung seluruh rakyat. Tapi baiklah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus