Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mendengarkan Sindikat Egrek Merah dari Gowa seperti menonton film suspense yang terinspirasi dari kisah nyata dengan ketegangan berkepanjangan setelah membaca naskah adaptasinya.
Gowa adalah proyek musik elektronik Lody Andrian, vokalis band thrash metal Fakecivil dan personel kelompok post metal Amerta. Di kancah metal, Lody bukan anak bau kencur. Jejaknya sudah terekam lama. Pada Circa 2011 misalnya, dia menjadi art director majalah metal lokal, Crushing. Majalah berformat zine ini menjadi referensi metalhead Ibu Kota sebelum tutup usia dengan nama Undying.
Pada Juni 2022, Lody mengumumkan proyek Gowa. Ide awalnya dipengaruhi karya-karya komponis musik film Italia seperti Stelvio Ciprani, Bruno Nicolai, Alessandro Alessandroni hingga pionir musik elektronik asal Kanada Mort Garson dan musisi elektronik Prancis Jean-Jacques Perrey.
Sebelum menelurkan Sindikat Egrek Merah, Gowa sempat melepas Kesumat, Senandung Tumpah Darah, dan Tikam dalam bentuk single. Hingga pada 22 Desember 2022, label Elevation Records merilis Sindikat Egrek Merah dalam bentuk cakram padat, termasuk tiga single yang sebelumnya keluar di platform digital. Adapun format kaset pita Sindikat Egrek Merah rencananya diluncurkan Orange Cliff Records pada bulan ini. Dua belas komposisi akan masuk dalam kantung album yang digodok Gowa selama dua tahun masa pandemi tersebut. Jenis musiknya: elektroakustik.
Secara sederhana elektroakustik bisa diartikan musik dengan bebunyian yang biasanya dihasilkan dari potongan-potongan rekaman ataupun dari alat elektronik yang mengubah suara-suara akustik. Olahan bunyi tersebut mencipta tatanan pola ritme yang dinamik dengan warna yang unik. Di Indonesia, elektroakustik bukan barang baru. Pionir musik elektronik Tanah Air Otto Sidharta sudah memainkannya sejak 1980-an. Namun, beda dengan Gowa, Otto banyak mengeksplorasi bunyi-bunyi alam dalam karya-karyanya. Terakhir, pria yang mengambil studi pasca sarjana bidang komposisi dan musik elektronik di Sweelinck Conservatorium Amsterdam ini menelurkan album kedua bertajuk Kajang yang dirilis label Belgia Sub Rosa pada 26 Desember lalu, atau empat hari setelah Sindikat Egrek Merah lahir.
Dalam peta musik Indonesia, Sindikat Egrek Merah menempuh arus pinggir. Tema yang dipilih: kehidupan pedalaman yang nyaris tak terjamah. Narasinya tentang kisah balas dendam roh para penduduk sebuah suku pedalaman di pelosok Riau dalam sebuah konflik perebutan lahan sawit. Mereka menuntut keadilan setelah dibantai antek-antek korporasi yang berkomplot dengan aparat negara. Sayangnya, narasi ini tidak hadir di kemasan CD-nya. Alur cerita tersebut hanya muncul dalam siaran pers Sindikat Egrek Merah.
Jampi-jampi Sindikat Egrek Merah yang juga menyihir pendengar adalah diksi. Ada kesadaran olah karya dengan bahasa komunikasi yang berbeda untuk memikat penikmatnya. Alih-alih menggunakan idiom-idiom kekinian khas pasar band indie urban, Gowa mengambil posisi di kutub berlawanan.
Kata kunci “egrek” (pisau panjang melengkung yang biasa dipakai untuk memotong kelapa sawit) dan “sindikat” yang menyiratkan teror, protes, kemarahan, dendam, mau tidak mau menjadi semacam pamflet ajakan larut dalam sebuah pertunjukan belantara bunyi. Efeknya hampir sama dengan ketakutan yang ditimbulkan kelompok kriminal ibu kota Geng Kapak Merah. Tapi, jika Geng Kapak Merah merupakan yang jahat, Sindikat Egrek Merah digambarkan sebagai korban.
Tunggu sebentar. Ada yang janggal? Ya! Sebab, ‘sindikat’ sejatinya punya makna peyoratif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ini memiliki arti perkumpulan orang jahat dengan berbagai keahlian. Jadi suku di pedalaman Riau merupakan perkumpulan orang jahat atau korban?
Terlepas dari itu, efek gelap, murung, hingga horor juga muncul dari judul masing-masing track macam Kesumat hingga Menunggu Mayat di Kebun Sawit. Benang merah antar reportoar membangun suasana realisme magis yang menggenapi lanskap lapisan-lapisan bunyi di Sindikat Egrek Merah. Bayangkan sebuah latar musik film horor yang selalu mengiang-ngiang di telinga Anda, lalu musik tersebut diputar berulang-ulang secara konstan. Seperti musik latar film Pengkhianatan G30/S PKI mungkin? Sensasi mendengarkan Sindikat Egrek Merah kurang lebih seperti itu.
Aura magis makin menjadi-jadi dengan sapuan instrumentasi etnik macam kendang dan gamelan yang keluar secara harmonis. Tidak berjejalan, tidak saling tindih, juga tidak berlebihan. Fungsinya seperti membumikan narasi album epos kontra kapitalis (bahasa Elevation Records) dengan latar Suku Sakai di pedalaman Sumatera tersebut. Dua panel cord yaitu modern dan tradisional berpadu padan membangun spektrum bunyi yang meruang. Panel cord tradisional melengkapi bebunyian elektronik digital berlapis yang menciptakan ambiance suara-suara alam dan lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi tak bisa dihindari, Sindikat Egrek Merah kurang mampu membingkai cerita secara mengalir jika dilihat susunan judul track yang seperti dibuat menolak runutan. Bayangkan bagaimana efek ketegangan yang bakal menyergap pendengar jika susunan maupun judul track dibikin sedemikian rupa taat alur ataupun ditambahkan sinopsis narasi dalam sleeve album.
Sindikat Egrek Merah ditutup dengan Kami Adalah Semua Orang. Track ini menghadirkan suasana berbeda dengan komposisi lainnya. Jika judul tiap komposisi disusun seperti puzzle yang membuka ragam tafsir, secara musikal penempatan Kami Adalah Semua Orang terasa pas sebagai penutup. Nomor ini hadir lebih cerah seperti skor musik setelah film berakhir, ketika credit tittle muncul sebelum tamat. Dengan komposisi penutup Kami Adalah Semua Orang, Sindikat Egrek Merah berhasil mencapai tujuannya: membangun pengalaman sinematik dengan penjelajahan imajinasi-imajinasi yang meletup dari bebunyian musik.
Baca: 7 Aktivitas untuk Kesehatan Otak, Bermain Catur hingga Mendengarkan Musik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini