Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah musikus terkenal merilis lagu-lagu religius dan mewarnai Ramadan.
Mendengarkan musik religi berkorelasi dengan peningkatan kepuasan hidup, harga diri, dan rasa kendali diri.
Pada akhir Ramadan, lagu-lagu religius menjadi soundscape yang mengiringi ambisi berbelanja.
LAGU-lagu religi terus dirilis selama Ramadan. Ini menjadi fenomena jamak dalam industri musik Indonesia. Pada 2024, sejumlah musikus terkenal, seperti Opick, Budi Doremi, Marcell, Nasida Ria x JKT48, Ungu, Lesti, dan Rizki Ridho, merilis lagu religi untuk menyampaikan pesan-pesan spiritual kepada publik. Ramadan menjadi momentum istimewa bagi musikus mengungkapkan sisi keimanan mereka melalui karya-karya musik, menginsafkan pendengar dari dosa dan cela.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada era digital saat ini, jaringan media sosial dan platform musik secara signifikan mempengaruhi sekaligus mengubah cara lagu-lagu religi dipromosikan serta diakses publik. Berbeda dengan dekade 1990-an hingga awal 2000-an, saat televisi (dan radio) memegang kendali penuh untuk menentukan selera publik atas lagu-lagu religi. Kini kemampuan memilih karakter dan gaya musikal sesuai dengan preferensi pendengar menjadi lebih bebas. Namun pertanyaan yang sering kali muncul adalah apakah lagu-lagu religi kini memiliki daya untuk mempengaruhi kehidupan spiritual dan ibadah para pendengarnya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penelitian mengenai dampak musik religi terhadap spiritualitas menjadi topik menarik untuk diselami. Beberapa studi menunjukkan musik religi dapat meningkatkan ketakwaan dan kekhusyukan dalam beribadah bagi sebagian pendengar. Salah satu penelitian itu berjudul "Listening to Religious Music and Mental Health in Later Life" karya Bradshaw et al (2015), yang menjelaskan bahwa frekuensi mendengarkan musik religi berkorelasi dengan penurunan tingkat kecemasan terhadap kematian serta peningkatan kepuasan hidup, harga diri, dan rasa kendali diri.
Ada pula penelitian terbaru Alexander Park dan Kyung-hyun Suh (2022), yang menyebutkan mendengarkan lagu-lagu religi dapat mempengaruhi kesejahteraan spiritual orang beragama. Mereka menemukan bahwa mendengarkan lagu-lagu bertema religi mampu membangun kepercayaan positif, keyakinan kuat kepada Tuhan, dan kebahagiaan hakiki. Lagu-lagu bertema religi bisa meningkatkan keyakinan mendasar, membuat seseorang merasa lebih tenang dan puas secara spiritual.
Penyanyi Opick bernyanyi dalam peluncuran Album Kompilasi Ramadhan Penuh Cinta di Jakarta, 2018. Dok. TEMPO/Nurdiansah
Meskipun lagu-lagu religi sering kali diciptakan dengan niat baik untuk menyampaikan pesan-pesan spiritual kepada pendengar, patut dibaca lebih jauh bahwa industri musik adalah bisnis yang didorong pamrih kapitalis. Dalam beberapa kasus, lagu-lagu religi bisa saja diproduksi dengan tujuan memanfaatkan ceruk pasar yang besar dalam komunitas keagamaan, terutama pada momen bulan puasa.
Dalam konteks ini, ada pertanyaan kritis, apakah lagu-lagu religi benar-benar diciptakan untuk menginsafkan pendengar ataukah lebih sebagai strategi pemasaran guna memperoleh popularitas dan keuntungan finansial? Lalu bagaimana dengan biografi penyanyi atau musikus yang melantunkan lagu-lagu itu? Apakah memiliki dinamika kehidupan religius sebagaimana lagu yang dinyanyikan? Atau sekadar menjadi alim dengan berbaju muslim kala Ramadan dan setelah itu kembali ke jalan konfliktual?
Keterlibatan mereka dalam praktik keagamaan, sikap terhadap moralitas, juga konsistensi antara pesan yang mereka sampaikan dalam lagu serta kehidupan pribadi bisa menjadi titik fokus dalam membaca lebih jauh dampak spiritual dan moral dari karya-karya musik mereka. Bayangkan, apa jadinya jika penyanyi yang dikenal ahli berlenggak-lenggok di atas panggung dangdut, dengan gairah seksual tubuh memikat berpamer pantat, tiba-tiba berkerudung dan tampak alim di layar kaca, bersenandung lagu religius yang khusyuk.
Patut ditelaah pula apakah musikus yang mempraktikkan kehidupan bertakwa cenderung menciptakan lagu-lagu religi lebih mendalam secara spiritual? Sebaliknya, apakah mereka yang memiliki pandangan religius liberal cenderung menghasilkan lagu-lagu yang lebih terbuka?
Pembacaan hal itu selama ini jarang dilakukan. Padahal mengetahui hubungan mendasar antara biografi musikus dan karya religi yang dihasilkan dapat memberi pemahaman lebih kaya tentang dinamika di balik produksi serta penerimaan lagu-lagu mereka di masyarakat. Tentu saja tidak semua musikus atau penyanyi memiliki motif sama dalam menciptakan lagu-lagu religius. Beberapa musikus mungkin benar-benar punya motivasi spiritual kuat dan berusaha menginspirasi pendengar melalui karya-karyanya. Sedangkan yang lain mungkin lebih berfokus pada aspek popularitas, juga ekonomi tentu saja.
Grup musik Bimbo dapat menjadi studi kasus menarik. Bimbo dikenal sebagai salah satu grup musik yang menghasilkan lagu-lagu religi populer dan mendalam secara spiritual (Pradana & Emalia, 2020). Mereka terkenal dengan lagu-lagu seperti Tuhan (1999) dan Sajadah Panjang (2017).
Sebagai musikus yang juga mengedepankan pesan religius dalam karyanya, Bimbo menunjukkan konsistensi antara pesan yang mereka sampaikan dalam lagu dan kehidupan pribadi mereka. Keluarga besar Bimbo pun dikenal memiliki latar belakang keislaman kuat.
Sedangkan di luar itu, jamak kita lihat, pada bulan puasa, penyanyi bersenandung religus menyatakan kebesaran Tuhan dan rasa syukur atas kebahagiaan. Setelah bulan suci usai, mereka kembali berfokus pada karya tentang putus cinta, kegalauan, dan kekalahan karena harta. Sejatinya, konsistensi dalam berkarya memberikan kedalaman dan sisi otentik dalam musik.
Grup musik Bimbo saat tampil dalam konser dengan tema The Spirit of Ramadhan di Jakarta, 2008. Dok.TEMPO/Santirta M.
Akhir Ramadan
Di pengujung bulan puasa, ketika suasana religius dikuatkan dengan lagu-lagu islami, ada pergeseran menarik terjadi dalam perilaku publik. Lagu-lagu religius menjadi soundscape yang mengiringi ambisi berbelanja baju dan barang mewah di pusat belanja. Fenomena mendekati Idul Fitri menunjukkan bagaimana aspek spiritual dapat disandingkan dengan keinginan materi yang kuat, di mana lagu-lagu religius memberi pengesahan untuk memenuhi ambisi konsumtif dan komersialisme.
Pada awal puasa, lagu religius disenandungkan untuk mengokohkan introspeksi spiritual. Namun, menjelang Idul Fitri, atmosfer berubah menjadi pesta dan belanja. Lagu-lagu religius yang mengalun menjadi latar belakang saat publik memburu diskon baju baru, memberi kesan bahwa kapitalisme diberkati secara spiritual.
Lagu religius menjadi latar belakang menyenangkan saat orang-orang sibuk berbelanja tanpa menyadari ironi dari pergeseran nilai yang terjadi. Sementara puasa telah mengajarkan kekhusyukan dan penerimaan-keikhlasan, hari-hari menjelang Idul Fitri justru diwarnai penuh penghamburan, tubuh berdesakan "berburu" di mal. Dan lagu-lagu religi terus mengalun menemani tiada henti.
Hal itu menjadi fenomena musiman. Seiring dengan masuknya Ramadan, pusat belanja mulai berhias diri dengan dekorasi islami. Berlatar lagu religi, promosi-promosi spesial Ramadan membanjiri media sosial, menarik perhatian masyarakat untuk membeli dan berbelanja lebih banyak, terutama menjelang Idul Fitri.
Dalam paradoks yang demikian, siklus ini terus berulang setiap tahun, dengan lagu-lagu religius menjadi pengiring setia, menciptakan suasana membingungkan antara spiritualitas untuk menahan diri dan berbelanja guna berpuas diri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo