Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah bangunan baru tiba-tiba muncul di depan Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, pada 7 Desember lalu. Bangunan itu berbentuk kubus. Tak berdinding, bangunan itu dikonstruksi dari steger yang diselubungi lapisan tembus pandang kawat galvanis dan kain paranet hitam. Desainnya memberi efek teatrikal dan membuat penasaran pengunjung, yang samar-samar bisa melihat ke dalam.
Bangunan itu disebut Museum Rekoleksi Memori. Pencetusnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Dewan Kesenian Jakarta, dan Partisipasi Indonesia. Bangunan itu adalah museum temporer. Umurnya hanya sekitar seminggu. Desainnya dibuat arsitek Stephanie Larassati, 30 tahun. Museum ini berisi karya-karya anak muda mengenai memori-memori yang berkenaan dengan tragedi kemanusiaan 1965.
Tengoklah karya Elisabeth Ida Mulyani, seniman muda asal Yogyakarta yang tinggal di Belgia. Ida membingkai fotokopi surat keputusan berkop Kedutaan Republik Indonesia di Praha bernomor 4050/DB/H/66/SP tahun 1966 yang menentukan nasib puluhan mahasiswa yang sedang menuntut ilmu saat itu. Surat tersebut ditandatangani Duta Besar Indonesia untuk Republik Cekoslovakia, Memet Tanumidjaja.
Isinya tentang pencabutan atau tidak berlakunya paspor para mahasiswa Indonesia. Surat yang bertanggal 7 November itu juga berisi keputusan memulangkan segera para mahasiswa. Di samping kopian surat, terdapat video dokumenter wawancara para bekas mahasiswa Indonesia saat itu yang paspornya dicabut. Pencabutan itu membuat mereka menggelandang tanpa kewarganegaraan di beberapa negara Eropa. "Surat itu saya dapatkan dari eksil di Swedia, ada juga dari Rumania," kata Ida.
Ida bertemu dengan banyak eksil di Swedia, Belanda, dan beberapa negara lain di Eropa Barat. Sebuah karya videonya yang lain sangat sederhana. Di video yang hampir kosong itu terdengar suara "Bunuh" berulang-ulang setiap kali muncul kata seperti "kolusi", "korupsi", "subversif", dan "intimidasi". Suara itu meneror pengunjung. "Aku enggak berani lihat semua, dengar suara bunuh berulang membuat ngeri," ujar Toyo, salah seorang pengunjung.
Wahana Misteri Loebang Maoet, instalasi video kanal ganda karya Yovista Ahtajida, mempertanyakan kebenaran isi Museum Lubang Buaya. Sedangkan Jompet Kuswidananto, perupa Yogyakarta, memajang puluhan pisau tertancap di papan, membentuk notasi tangga lagu, sementara di depannya berjejer kursi-kursi. Karya lain adalah foto-foto perempuan sepuh penyintas peristiwa 1965 karya Adrian Mulya, instalasi video karya Kiki Febriyanti, dan foto karya Sigit Pratama.
"Pameran ini terutama untuk generasi muda," ujar Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Nur Kholis. Pameran juga menyajikan 15 film—empat di antaranya film baru karya para sineas muda: Asrida Elisabeth, Amerta Kusuma, Steve Pillar Setiabudi, dan Bayu Prihantoro Filemon—yang diputar di Kineforum. Film Joshua Oppenheimer, Jagal dan Senyap, diputar lagi. Semua karya yang ditampilkan di museum atau sinema di Kineforum digarap orang-orang muda yang mempunyai rentang waktu sejarah yang panjang dengan peristiwa 1965. Umur mereka rata-rata di bawah 40 tahun, bahkan ada yang 23 tahun. Mereka anak muda yang penasaran, terpanggil menggali apa yang terjadi.
Ida, misalnya, merasa dibohongi oleh bacaan dan ajaran sekolah tentang sejarah kelam Indonesia. Dengan karyanya, Ida berharap bisa merekonstruksi dan mendekonstruksi doktrin sejarah yang belum jelas ini. Ada juga pengakuan Asrida, 27 tahun, dari pelosok Pulau Flores, yang terbius rasa ingin tahu besar tentang peristiwa itu. Dia menanyakan data dan dokumen di beberapa instansi pemerintah tentang peristiwa pembantaian 1965. "Tak ada keterangan. Padahal, di tengah Ruteng, ibu kota Manggarai, ada kuburan massal orang yang diduga terlibat PKI," ujar Asrida. Adapun Bayu mengalami trauma dengan film Pengkhianatan G30S PKI yang disutradarai Arifin C. Noer.
Perancang museum temporer, Stephanie Larassati, adalah arsitek Indonesia lulusan Universitas Teknik Berlin, Jerman, dan kini bekerja di Berlin. Dia pernah membuat rancangan gedung memorial hipotesis untuk mendokumentasikan sejarah kerusuhan Mei 1998. Untuk Museum Rekoleksi Memori ini, dia berkolaborasi dengan arsitek muda lain, Gosha Muhammad, 32 tahun, serta arsitek dari WEN Urban Office, yang terdiri atas Wendy Sudibyo, 27 tahun, Baskara Wisesa (25), dan Jessica Limantara (23).
Stephanie, yang pernah memenangi kompetisi pembangunan teater temporer Globe Theater untuk Shakespeare Company, Berlin, mengatakan banyak arsitektur bangunan di Berlin dikontribusikan kepada kemanusiaan. "Banyak hal di Berlin dibuat untuk mendukung budaya, untuk mengingat sesuatu. Nah, ini juga yang hendak saya buat," ujarnya.
Stephanie merancang Museum Rekoleksi Memori dengan material sekat-sekat tembus pandang yang membuat batas ruang dan penglihatan menjadi samar. "Ada efek visual tiga dimensi yang bergerak di dalamnya," kata perempuan yang menjadi asisten tata panggung di rumah teater Schaubuhne Berlin dan Maxim Gorki Theater ini. Dia berharap karyanya ini juga bisa menciptakan ruang dialog di antara pengunjung. "Bikin yang tidak tahu jadi ingin tahu, yang sudah pernah tahu bisa ingat dan membahasnya."
Dian Yuliastuti
Api Seluloid Festival Teater Jakarta
Belasan tentara Angkatan Darat bersenjata menyeruak di antara penonton dengan menggotong tumpukan kaleng film seluloid berwarna abu-abu, merah, dan cokelat. Mereka juga membawa beberapa jeriken berisi bahan bakar. Kaleng-kaleng film dijatuhkan, dibuka, pita-pita seluloid dihamburkan ke luar hingga membentuk gunungan. Mereka menumpahkan bensin, lalu menyalakan korek api. Gunungan seluloid terbakar.
Demikian nukilan dari naskah drama berjudul Api Seluloid karya Dendi Madiya. Naskah Dendi diangkat dari kisah Bachtiar Siagian, sutradara teater dan film yang juga Ketua Lembaga Film Indonesia—lembaga di bawah Lekra yang diasosiasikan dengan Partai Komunis Indonesia. Bachtiar sempat membuat 13 film panjang, bahkan mendapat penghargaan sutradara terbaik untuk film Turang (1957) dalam Festival Film Indonesia. Saat peristiwa 1965 merebak, Bachtiar dipenjara di Pulau Buru tanpa diadili. Film-filmnya lalu dibumihanguskan tentara. Hanya satu, Violetta, yang tersisa.
Dendi merampungkan naskahnya setelah dua bulan mengikuti Bengkel Penulisan Naskah Drama yang diselenggarakan Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta mulai Oktober lalu. Ia bersama sembilan penulis naskah lain dikumpulkan di bengkel untuk menggodok naskah berdasarkan riset dengan tema besar "Album Keluarga: #50tahun1965". Dendi keluar-masuk Sinematek Indonesia, Perpustakaan Nasional, Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, dan perpustakaan Dewan Kesenian Jakarta, bahkan menghubungi seorang pengamat film di Australia demi mendapat bahan riset untuk mendukung ide naskahnya. "Susah mencari bahannya," ujar Dendi. "Misterius dan banyak yang hilang."
Naskah Dendi dinilai sebagai yang terbaik di antara sepuluh karya. Naskah ini tergolong kontemporer. Konsep pemanggungannya menggunakan tiga ruang. Sedianya naskah ini hendak dibacakan dalam rangkaian acara Festival Teater Jakarta, 8 Desember 2015, di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki. Belum lagi naskah itu dibacakan, protes keras atas agenda ini disuarakan kelompok yang mengatasnamakan Keluarga Besar Teater Jakarta Peduli FTJ.
Pada malam pembukaan Festival Teater Jakarta di Teater Kecil, 30 November lalu, yang lokasinya hanya beberapa meter dari tempat didirikannya Museum Rekoleksi Memori, belasan orang berdemo membawa-bawa spanduk memprotes pembacaan naskah dan diskusi tragedi 1965. "FTJ rumah kita bersama, jangan bawa-bawa ideologi," kata pemimpin aksi itu, Zak Sorga. Zak, yang juga alumnus Festival Teater Jakarta, mengancam akan membawa massa lebih besar pada 8 Desember jika agenda itu tetap diadakan.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DKI Jakarta kemudian membuat surat yang meminta pembacaan naskah dihapuskan. Sikap Dinas dan ancaman pengerahan massa lantas menjadi dalih kepolisian untuk tak mengeluarkan izin keramaian buat agenda ini.
Malam sebelum pembacaan naskah digelar, surat dari Kepolisian Daerah Metro Jaya yang ditandatangani Direktur Intelijen Keamanan Komisaris Besar Suntana dilayangkan kepada Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Surat itu berisi perintah agar diskusi dan pembacaan naskah tidak diselenggarakan dengan alasan "ada pihak yang keberatan terhadap kegiatan tersebut". Dewan Kesenian Jakarta lantas memilih mengubah agenda pembacaan naskah dan diskusi tragedi 1965 menjadi konferensi pers. Seniman tumplek blek mendukung Dewan pada 8 Desember.
Hari itu, 212 polisi dari kesatuan gabungan Kepolisian Daerah Metro Jaya dan Kepolisian Resor Jakarta Pusat dikerahkan ke Taman Ismail Marzuki. Mereka siaga di sekitar Teater Kecil. Puluhan di antaranya bahkan masuk ke area tempat pembacaan naskah rencananya digelar. Mereka membuat barikade di bagian belakang kursi penonton.
Dewan Kesenian Jakarta akan melakukan upaya hukum untuk menghentikan segala bentuk represi atas kegiatan kesenian. Dewan tak lupa melaporkan Kepala Polda Metro Jaya kepada Presiden RI, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Kepala Kepolisian RI, serta Gubernur DKI Jakarta.
Menurut Benny Johanes, teaterwan yang menjadi mentor di Bengkel Penulisan Naskah Drama, workshop 1965 adalah kegiatan profesional dengan fokus utama menghasilkan naskah teater yang bermutu, tak ada urusannya dengan ideologi. Selama ini, kata Benny, komunitas teater sangat jarang mengangkat peristiwa 1965 sebagai naskah. Pembacaan naskah Dendi akhirnya tetap digelar pada 9 Desember malam, mengambil tempat di Museum Rekoleksi Memori.
Moyang Kasih Dewimerdeka
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo