Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Yoga Patanjali Kabuyutan Sunda

Ahli Sanskerta asal Italia, Andrea Acri, meneliti manuskrip langka dari Jawa Barat, Dharma Patanjala. Dari sini dapat diraba bagaimana yoga dan Siwa dipahami di Jawa kuno.

18 Januari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam literatur yoga, kitab Patanjali Yoga atau Yoga -Sutra dikenal sebagai manuskrip awal yang mengompilasi yoga. Untuk pertama kali yoga diberi sebuah pendasaran sistem filsafat. Patanjali Yoga kemudian menjadi karya klasik yang menjadi sumber bagi munculnya aliran-aliran yoga berikutnya. Kitab ini diperkirakan muncul pada 200 Masehi.

Kitab ini bernama Patanjali Yoga karena penghimpunnya dinisbahkan kepada seorang Maharsi bernama Patanjali. The Encyclopedia of Yoga and Tantra karangan Georg Feuerstein (2011) menyebutkan riwayat obyektif Patanjali susah didapatkan. Khazanah tradisi lisan India Selatan mengenalnya sebagai seorang mahabegawan Siwaisme.

Para peneliti Siwaisme sepakat gagasan dan konsepsi filosofis Patanjali Yoga dalam perkembangan selanjutnya mendapat banyak komentar serta penafsiran. Ide-ide filosofis Patanjali Yoga mengenai Tuhan, kosmos, tak hanya tersebar di anak benua India. Al-Biruni, pengembara terkenal Persia pada pertengahan abad ke-11, misalnya, berkelana ke India dan kemudian menerjemahkannya secara bebas ke dalam bahasa Arab menjadi Kitab Patanjal.

Yang menarik adalah khazanah keagamaan Jawa kuno ternyata juga memberi perhatian besar pada konsep teologi yang ada dalam Patanjali Yoga. Manuskrip Jawa kuno ini bernama Dharma Patanjala dan bertitimangsa abad ke-15. Buku yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia ini merupakan terjemahan disertasi ahli Sanskerta asal Italia, Andrea Acri, pada 2011 yang membahas secara rinci di Universiteit Leiden, Belanda, bagaimana gagasan Siwaisme terdapat dalam Dharma Patanjala.

Aslinya, Dharma Patanjala ditulis dengan tinta hitam di atas 89 lembar daun palem gebang. Aksara yang digunakan adalah Jawa kuno yang biasa terdapat dalam manuskrip gebang Jawa Barat. Kodeks daun nipah itu kini disimpan di Staatsbibliothek Berlin, Jerman (atas permintaan Acri dimikrofilmkan pada 2006).

Digitalisasi naskah Dharma Patanjala./iseas.edu.sg

Menurut Acri, manuskrip ini merupakan sumber yang langka dan memberikan data baru tentang bagaimana doktrin keagamaan dan filsafat Siwa dipahami di Jawa kuno. Penulis Dharma Patanjala tidak menyalin mentah-mentah Patanjali Yoga India, tapi lebih menafsirkan ulang dan memodifikasi pokok-pokok penting Yoga Sutra. Beberapa gagasan diolah berdasar perspektif lokal yang mengarah ke teistik.

Sebagai ahli Sanskerta yang menguasai khazanah kitab-kitab Siwa dan Tantrayana India, minat Acri adalah membandingkan kemiripan konteks dan kesepadanan doktrinal manuskrip suci Bali dan kakawin Jawa kuno dengan sumber Sanskerta. Doktrin Saiva Siddhanta dan Siddhanta-tantra dari anak benua India, menurut Acri, masuk dan diperkenalkan ke Jawa secara bergelombang sejak sebelum abad ke-10.

Dalam artikelnya, “The Sanskrit-Old Javanese Tutur Literature from Bali. The Textual Basis of Saivism in Ancient Indonesia” (2006), Acri berpendapat bahwa teks tutur di Bali yang berisi ajaran hakikat seperti Wrhaspati Tattwa, Tattva Jnana, Jnana Siddhanta, dan Bhuwana Kosa memiliki paralelisme pemikiran dengan teks Saiva India. Misalnya beberapa seloka di Wrhaspati Tattwa terdapat dalam Svayambhuva-Sutra-Samgraha di India. Juga beberapa bait seloka di Jnana Siddhanta paralel dengan manuskrip kuno Nepal dari abad ke-8, Niúvâsatattvasamhitâ. Hal ini menarik karena disertasi terkenal Haryati Soebadio (1985) mengenai Jnana Siddhanta sama sekali tidak menginformasikan hubungan itu.

Acri singkatnya berusaha menemukan dan melacak “missing link” teks-teks yang terpengaruh Siwaisme di sini dengan teks-teks India. Demikian juga dalam membedah Dharma Patanjala. Judul asli buku Acri:  Dharma Patanjala: a Saiva Scripture from Ancient Java Studied in the Light of Related- Old Javanese and Sanskrit Text.

Dari Acri kita dapat membaca isi utama Dharma Patanjala adalah dialog filsafat antara Kumara dan Sang Batara di puncak Gunung Kalasan. Sang Batara mengaku mengalami siklus inkarnasi yang panjang sebelum mencapai tingkatan hyang. Terakhir kali ia menjadi manusia bernama Patanjala. Kumara bertanya tentang hal-hal ketuhanan yang subtil. Dialog itu merambah hal spekulatif hingga teknis tentang berbagai macam pernapasan dan cara mengekang indra sehingga seorang yogi bisa memperoleh kesaktian, misalnya melayang di udara.

Pembahasan Acri mencakup ontologi, kosmologi, sampai epistemologi filsafat Dharma Patanjala. Acri membahas relasi Tuhan, Jiwa, Kosmos, manusia, karma, dan yoga. Singkatnya, Dharma Patanjala mengakui konsep ketuhanan Batara Siwa hanya dapat dicapai melalui samadhi. Menurut Acri, salah satu paham penting agama Siwa adalah Tuhan yang adikodrati dan, bagaikan eter, meresapi segalanya itu dipercaya bisa menjelma menjadi sosok kasatmata. Tuhan yang memasuki tubuh manusia—tidak dilahirkan dari rahim perempuan, tapi dari yoga batara.

Sepanjang pengetahuan Acri, Dharma Patanjala merupakan satu-satunya teks dalam Jawa kuno yang menampilkan konsep abhivyakta atau perwujudan kekuatan tuhan dalam diri yogi yang telah mencapai kesejatian. Acri mengelaborasi pandangan Dharma Patanjala bahwa jiwa adalah asas Siwa yang ternoda mala karena bersentuhan dengan maya dan terikat karma. Menurut Acri, penjelasan Dharma Patanjala tentang karma lebih luas daripada kitab Jawa kuno Bali lainnya. Misalnya ada pembahasan tentang karma netral—karma yang pada dirinya sendiri bukan karma baik ataupun karma buruk.

Acri berpendapat, salah satu ciri luar biasa Dharma Patanjala dibanding sumber Sanskerta ataupun Jawa kuno adalah menyediakan banyak pembahasan buddhibhava (budi) dan pratyaya (kondisi yang ditimbulkan budi). Acri melihat Dharma Pa-tanjala terpengaruh doktrin filsafat Samkhya bahwa budi sesungguhnya memiliki fungsi kosmik. Makrokosmos beririsan dengan mikrokosmos dalam akal budi. Acri juga menjelaskan prayogasandhi atau teknik yoga yang langka. “Beberapa prayoga-sandhi dalam Dharma Patanjala tidak saya temukan di khazanah India. Ada prayoga-sandhi untuk memasuki tubuh orang lain, juga untuk moksa,” katanya.

DHARMA PATANJALA:
KITAB SAIVA DARI JAWA ZAMAN KUNO. KAJIAN DAN PERBANDINGAN DENGAN SUMBER JAWA KUNO DAN SANSKERTA TERKAIT

Penulis : Andrea Acri
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, 2018
Tebal : 554 halaman

DHARMA PATANJALA: KITAB SAIVA DARI JAWA ZAMAN KUNO. KAJIAN DAN PERBANDINGAN DENGAN SUMBER JAWA KUNO DAN SANSKERTA TERKAIT

Membaca buku ini, di samping menikmati pembahasan Acri yang kompleks, imajinasi kita juga dilentikkan bahwa pada masa lampau terjalin hubungan antara kabuyutan (pertapaan) Sunda dan pertapaan di Jawa Tengah. Lokasi ditemukannya Dharma Patanjala adalah desa bernama Kendakan di lereng Gunung Merbabu. Pada 1885, ekspedisi Belanda yang menyusuri lereng barat Merbabu sampai di desa itu dan menemukan perpustakaan “misterius” berisi ratusan lontar milik Windusana, yang hidup pada abad ke-18.

Ahli waris lontar yang muslim menyebut aksara itu sebagai aksara “Budo” dan menerangkan bahwa Windusana dulu beragama Buddha. Naskah itu kemudian diboyong ke perpustakaan Batavia, Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Menurut filolog Van der Molen, yang menelitinya, kolofon-kolofon naskah itu menunjukkan bahwa penyalinan di-lakukan pada awal abad ke-16 sampai akhir abad ke-18. Adapun ahli Jawa kuno, Kuntara Wiryamartana, menduga lontar-lontar itu sebagai bentuk terakhir penyalinan terus-menerus dari abad ke-9.

Mengapa di antara kolofon-kolofon lontar milik Windusana itu terselip Dharma Patanjala yang ditulis di daun nipah, yang merupakan ciri khas manuskrip kuno Sunda? “Sangat masuk akal zaman dulu terjadi pertukaran manuskrip suci antara pertapaan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Contohnya dalam perjalanan Bujangga Manik,” kata Acri. Bujangga Manik adalah wiku Sunda yang mengembara ke Jawa. Penelitian J. Noorduyn-A. Teeuw terhadap naskah Sunda kuno, Perjalanan Bujangga Manik, mengungkap bahwa Bujangga Manik berziarah ke perguruan-perguruan keagamaan di lereng Merbabu.

Acri kini juga berminat meneliti seberapa jauh gagasan ketuhanan seperti yang ada dalam Dharma Patanjala meresap ke dalam kejawen. ”Saya pernah ke sebuah dusun kecil di Gunung Lawu. Hanya beberapa rumah di situ. Pemangkunya seorang kejawen. Saya melihat dari mantra-mantranya banyak nuansa yang ada di Dharma Patanjala,” ucapnya saat berceramah di Institut Français d’Indonésie, Jakarta, dua pekan lalu.

SENO JOKO SUYONO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus