Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Penyelidik HAM Lintas Batas

MARZUKI Darusman tak terpisahkan dari urusan hukum dan hak asasi manusia. Ia menghabiskan puluhan tahun kariernya sebagai penyelidik pelanggaran HAM, tak hanya di Indonesia, tapi juga melintasi batas-batas negara. Kemampuannya dalam bidang HAM diakui secara internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa memintanya menyelidiki berbagai pelanggaran HAM, dari kematian Perdana Menteri Pakistan Benazir Bhutto, perang saudara di Sri Lanka, hingga menjadi pelapor khusus (special rapporteur) untuk Korea Utara dan Myanmar.

Meski pekerjaannya di Myanmar telah rampung, di tengah konflik pascakudeta militer di negeri itu, Marzuki tak bisa berdiam diri. Bersama dua rekannya yang pernah menyelidiki kekerasan di Myanmar, ia mendirikan Special Advisory Council for Myanmar pada Maret lalu untuk membantu menyuarakan aspirasi rakyat Myanmar.

Terjun ke politik sejak menjadi mahasiswa pada 1970-an, karier politiknya moncer. Bersama Golongan Karya, Marzuki sempat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Ia kemudian ditendang dari DPR karena menyatakan ingin menjadi presiden. Ketika menjadi Jaksa Agung dalam pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Marzuki menjerat sejumlah koruptor dan kroni Soeharto.

12 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Marzuki Darusman dipercaya mengusut pelanggaran hak asasi manusia di berbagai negara setelah berkarier di Komnas HAM.

  • Namanya direkomendasikan oleh Duta Besar Amerika untuk Indonesia kepada Sekjen PBB, Ban Ki-moon.

  • Mendirikan Forum untuk menyuarakan aspirasi rakyat Myanmar usai kudeta militer.

SAYA mulai dimintai bantuan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada pertengahan 2009 saat masih menjadi anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat. Ketika itu, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon mencari ahli dari Asia untuk menyelidiki kematian mantan Perdana Menteri Pakistan Benazir Bhutto. Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Lynn Pascoe, merekomendasikan nama saya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya dan Pascoe berkawan baik. Ia menyodorkan nama saya karena saya pernah menangani masalah hak asasi manusia ketika berkarier di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Selepas menjabat duta besar di Indonesia, Pascoe menjadi Wakil Sekretaris Jenderal PBB Bidang Hubungan Politik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marzuki Darusman saat ditemui di kediamannya di Jakarta, 10 Juni 2021. Tempo/Nurdiansah

Komisi Penyelidikan (Commission of Inquiry) kematian Benazir Bhutto ini terdiri atas tiga orang, yaitu Heraldo Munoz, yang berasal dari Cile, sebagai pemimpin tim; Peter Fitzgerald, yang berasal dari Irlandia; dan saya. Munoz kemudian menjadi Menteri Luar Negeri Cile pada 2014-2018.

Benazir dibunuh oleh seorang pengebom bunuh diri saat berkampanye pada 27 Desember 2007 di Rawalpindi. Setahun kemudian, suaminya, Asif Ali Zardari, memenangi pemilu dan disahkan menjadi presiden, menggantikan Jenderal Pervez Musharraf. Setelah menduduki jabatan tersebut, dia meminta bantuan PBB untuk menyelidiki kasus kematian istrinya.

Namun bukan berarti pekerjaan kami menjadi lebih mudah lantaran penugasan tersebut atas permintaan presiden setempat. Bukti kematian Benazir disimpan oleh tentara. Badan intelijen di negara tersebut begitu kuat. Mereka menghalangi pekerjaan kami. Kami juga mendengar rumor bahwa kami akan diserang. Wah, itu seram. Kami harus ekstra-waspada. Kami selalu menggunakan rompi antipeluru dan diantar dengan mobil besar antipeluru. Kami pun tinggal berpindah-pindah, seperti kucing-kucingan.

Untuk menyelidiki kasus Benazir, kami meminta bantuan kepada lembaga swadaya masyarakat dan kedutaan. Kami juga bekerja sama dengan polisi Pakistan yang kurang akur dengan tentara. Mereka memberi kami bukti pembunuhan tersebut. Kami juga mendatangi tempat kejadian perkara dan melakukan rekonstruksi.

Dulu Fitzgerald adalah kepala detektif dari kepolisian Irlandia yang biasa menyelidiki serangan Tentara Republik Irlandia (IRA). Dia yang melakukan rekonstruksi tersebut sehingga kami bisa meramu teka-teki kematian Benazir. Akhirnya kami menyimpulkan bahwa yang bertanggung jawab adalah Jenderal Musharraf. Sebagai presiden, dia tidak menjalankan kewajibannya untuk melindungi calon perdana menteri yang diamanatkan oleh undang-undang. Dua tahun setelah laporan kami tersebut, Musharraf ditahan.

Sekjen PBB Kofi Annan bersama dengan Marzuki Darusman di Jakarta, Juni 2000. Dok Tempo/Rini PWI

Pada pertengahan 2010, anggota staf Ban Ki-moon kembali menghubungi saya. Saya diminta menjadi ketua tim panel ahli untuk menginvestigasi perang saudara di Sri Lanka. Anggotanya adalah Yasmin Sooka, yang merupakan pakar HAM dari Afrika Selatan; dan Steven Ratner, pengacara dari Amerika Serikat yang menjadi penasihat PBB dalam kasus Khmer Merah. Kami bertugas memberikan rekomendasi mengenai perang tersebut untuk Ban Ki-moon.

Presiden Sri Lanka Mahinda Rajapaksa mengizinkan kami masuk ke negaranya. Kami bekerja sama dengan Komisi Nasional HAM setempat. Mereka memiliki bahan awal yang cukup, tapi tidak bisa menembus pemerintah. Adapun kami yang diutus oleh PBB bisa masuk ke pemerintah Sri Lanka. Kami juga bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat di sana.

Perang saudara itu melibatkan kelompok Macan Pembebasan Tamil Eelam atau Macan Tamil dan pemerintah Sri Lanka sejak 1983 hingga 2009. Kedua belah pihak sama-sama melakukan kekerasan. Macan Tamil kemudian keok. Tapi, meski sudah kalah, kelompok tersebut terus dibantai dalam operasi militer Sri Lanka. Operasi ini juga menewaskan puluhan ribu warga sipil. Kami bertugas mencari tahu kemungkinan adanya kejahatan dalam perang antara pemerintah dan Macan Tamil itu, termasuk pembantaian tersebut.

Rajapaksa, yang mula-mula menyangka bahwa kami akan membantu pemerintah Sri Lanka, kemudian berusaha menghalangi pekerjaan kami setelah dia menyadari kami tidak condong kepada pihak mana pun. Kami dipersulit untuk masuk daerah-daerah konflik. Tapi akhirnya kami bisa menyelesaikan tugas tersebut dan memberikan rekomendasi kepada Ban Ki-Moon pada Maret 2011.

Kami menyimpulkan bahwa puluhan ribu orang tewas dari Januari hingga Mei 2009. Sebagian besarnya adalah warga sipil yang tewas akibat tembakan pasukan pemerintah. Fasilitas umum, seperti rumah sakit, juga diserang oleh pasukan pemerintah. Macan Tamil juga melakukan kekerasan, termasuk dengan merekrut anak-anak untuk menjadi kader, sehingga meresahkan masyarakat.

Kami memberikan rekomendasi bahwa pemerintah Sri Lanka harus mengeluarkan pengakuan publik dan formal atas perannya tersebut serta bertanggung jawab atas korban sipil yang jumlahnya begitu banyak dalam periode akhir perang. Kami juga mendesak agar negara tersebut segera mengakhiri semua kekerasan.

Pada 2010 itu pula Ban Ki-moon meminta bantuan saya untuk hal lain. Kali ini saya diminta menjadi pelapor khusus (special rapporteur) untuk Korea Utara, menggantikan Vitit Muntarbhorn dari Thailand. Ia menjabat pelapor khusus di sana selama enam tahun. Posisi tersebut diperbaharui setiap tahun, dengan masa tugas maksimal enam tahun. Dewan HAM PBB mengumumkan penggantian nama itu pada 18 Juni 2010.

Namun pemimpin Korea Utara, Kim Jong-il, tidak mengizinkan saya masuk ke negaranya. Saya hanya bisa melihat negara tersebut dari Desa Panmunjom, Provinsi Gyeonggi, Korea Selatan, yang berbatasan dengan Korea Utara. Akhirnya, saya bekerja dari Korea Selatan dan Jepang, dua negara yang menjadi tujuan pelarian warga Korea Utara. 

Pada 2013, PBB membentuk Komisi Penyelidikan untuk Korea Utara, yang diketuai oleh Michael Kirby dari Australia, dengan anggota Sonja Biserko dari Serbia dan saya. Komisi tersebut bekerja selama setahun. Kami banyak mengumpulkan data tentang situasi di Korea Utara dari para warga yang kabur ke Jepang dan Korea Selatan. Di negara terakhir itu, jumlahnya paling banyak.

Meski Korea Selatan berimpitan dengan Korea Utara, mereka tidak bisa langsung menyelundup masuk. Para pelarian Korea Utara itu menempuh jalur yang sangat panjang untuk sampai ke Korea Selatan. Mula-mula, mereka menerobos masuk ke Cina. Biasanya mereka menyamar sebagai masyarakat setempat, bahkan ada yang sampai kawin dengan warga di sana. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan ke Mongolia dan menyeberang ke Asia Tenggara lewat Laos dan Thailand. Perjalanan tersebut bisa membutuhkan waktu sampai dua tahun. 

Di negara terakhir itu, Korea Selatan memiliki pos untuk menampung para pelarian tersebut, kemudian dibawa ke Seoul. Selama 10 tahun terakhir, ribuan pelarian sudah sampai di Ibu Kota Korea Selatan tersebut. Mereka langsung diberi kewarganegaraan.

Itu kalau mereka berhasil. Tapi, kalau mereka ketahuan dan tertangkap, pemerintah Korea Utara akan memasukkan mereka ke kamp konsentrasi tanpa diadili terlebih dulu. Mereka dipaksa bekerja. Ada yang disuruh membuat keset, peralatan rumah tangga, atau dipekerjakan di pertambangan. Mereka tidak bisa keluar, seumur hidup akan berada di kamp.

Masyarakat tahu tentang hal itu, tapi mereka takut menceritakannya. Mereka baru mau membuka kondisi itu setelah sampai di Korea Selatan. Kami mewawancarai mereka. Kami juga menemui pelarian yang lari ke Jepang. Ada komunitas Korea Utara yang tumbuh di sana. Mereka hijrah sejak Jepang menjajah Korea pada 1910-1945. 

Para pelarian ini kebanyakan warga desa. Mereka memutuskan meninggalkan Korea Utara karena masalah kemiskinan dan penindasan yang dilakukan pemerintah. Namun ada pula pelarian dari kalangan berada, tapi jumlahnya tidak banyak. Mereka lari lantaran merasa kecewa terhadap rezim.

Kami juga mendapatkan data dari lembaga PBB, seperti Program Pembangunan PBB (UNDP), Dana Anak-anak PBB (UNICEF), Badan Kesehatan Dunia (WHO), dan Organisasi Buruh Internasional (ILO). Korea Utara menjadi anggota PBB sehingga mereka berhak mendapatkan bantuan dari PBB. Badan-badan PBB itu mengumpulkan informasi tentang kondisi di negara tersebut. Saya bertemu dengan mereka di Jenewa, Swiss, atau New York, Amerika Serikat, setiap tahun untuk menggali informasi. Cara pengumpulan data tersebut diakui oleh PBB, karena mereka akan memberikan informasi yang sama, baik ketika saya temui di dalam maupun di luar Korea Utara.

Dengan menghimpun informasi dari berbagai narasumber itu, kami mendapatkan informasi tentang lima kamp konsentrasi yang digunakan untuk memenjarakan musuh rezim beserta keluarganya. Mereka tidak mungkin bisa keluar seumur hidup. Informasi tersebut diperkuat dengan bukti foto dari satelit.

Kami, antara lain, menyimpulkan bahwa pelanggaran HAM di Korea Utara terjadi secara sistematis oleh pemerintah dan lembaganya. Pemerintah Korea Utara melakukan indoktrinasi. Ada Kimilsungisme dan Kimjongilisme. Semua orang yang melakukan pelanggaran politik akan dimasukkan ke kamp penjara. Mereka kelaparan, disiksa, dipaksa menjadi budak, dan diperkosa. 

Kami memberikan rekomendasi bahwa baik Kim Jong-il maupun penerusnya, Kim Jong-un, adalah tokoh yang paling bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di negara mereka. Mereka harus diadili. Laporan yang diterbitkan pada Februari 2014 tersebut menjadi dasar resolusi PBB pada Desember 2014. PBB mengajukan Korea Utara ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atas kejahatan terhadap kemanusiaan. Korea Utara menolak tudingan itu.

Pada tahun yang sama, PBB kembali menunjuk saya menjadi pelapor khusus. Sebelum resolusi tersebut disahkan oleh Majelis Umum PBB, Duta Besar Korea Utara, Ri Hung-sik, menemui saya empat mata. Ia meminta saya menghapus nama Kim Jong-il dan Kim Jong-un dari laporan tim. Korea Utara benar-benar marah karena kami menyebutkan nama dua pemimpin mereka. Itu dosa besar buat mereka. Dia mengatakan saya akan diundang ke Korea Utara kalau mau menghilangkan dua nama itu. Tawarannya ngeri, jangan-jangan malah saya enggak boleh keluar lagi dari sana, ha-ha-ha…. Saya menolak permintaan itu. 

Tugas saya sebagai pelapor khusus Korea Utara diperpanjang sampai 2016. Saya tidak pernah mendapatkan ancaman dari Korea Utara selama menjalankan pekerjaan itu. Namun saya diserang oleh wakil mereka dalam forum PBB. Saya dianggap sebagai juru bicara pihak Barat yang bertugas menyerang Korea Utara untuk membuat nama Korea Utara menjadi jelek. Mereka menunjuk-nunjuk saya di depan forum tersebut.

Saya hanya mendengarkan omongan mereka. Saya tidak membalasnya karena saya harus menjaga supaya laporan tim kami bisa diterima dengan baik. Sebab, begitu saya menyerang balik, nilai laporan kami akan turun. Kami akan dinilai melakukan pekerjaan itu karena pamrih.

(dari kiri) Radhika Coomaraswamy, Marzuki Darusman dan Christopher Sidoti, anggota Independent International Fact-finding Mission Myanmar memberikan keterangan pers di kantor PBB, di Jenewa, Swiss, September 2018. REUTERS/Denis Balibouse

Selepas bertugas di Korea Utara, pada 2017, PBB kembali menunjuk saya. Kali ini untuk kasus kekerasan di Myanmar. Pelapor khusus di sana, Yanghee Lee, yang berasal dari Korea Selatan, meminta PBB membentuk Komisi Penyidik. PBB kemudian menunjuk saya menjadi ketua tim komisi tersebut dengan anggota Radhika Coomaraswamy dari Sri Lanka dan Christopher Dominic Sidoti dari Australia.

Ketika itu, kasus Rohingya tengah ramai. Kami menyelidiki kekerasan terhadap etnis tersebut. Dari semua kelompok etnis yang ada, hanya Rohingya yang tidak punya tentara. Etnis yang lain memiliki tentara dan melawan rezim. Tapi, mungkin karena kondisi itu, Rohingya menjadi sasaran. 

Di sana juga tengah berkembang radikalisme Buddhisme. Junta militer Myanmar yang sedang memerlukan dukungan dari masyarakat memanfaatkan situasi tersebut untuk mengompori masyarakat dengan menciptakan sentimen terhadap Rohingya. Akibatnya, masyarakat mendukung junta militer.

Pemerintah Myanmar tidak mengizinkan tim kami masuk ke negara itu. Meski demikian, kami tidak kesulitan mengumpulkan data. PBB sebenarnya sudah mengumpulkan data tentang kekerasan yang terjadi di negara tersebut melalui pelapor khusus selama 30 tahun, sehingga informasinya sudah menumpuk. Kami juga menemui warga Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh, Thailand, dan Malaysia, serta menghimpun informasi dari lembaga swadaya masyarakat yang beroperasi di Myanmar.

Kami, antara lain, menyimpulkan ada pelanggaran serius di Negara Bagian Kachin, Rakhine, dan Shan, yang terutama dilakukan oleh tentara Myanmar. Mengingat budaya impunitas di sana, masyarakat internasional harus membantu memberikan dorongan. Jenderal-jenderal Myanmar harus diselidiki dan dituntut di pengadilan internasional terkait dengan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang. Tugas kami berakhir pada 2019.

Namun kudeta yang terjadi di Myanmar pada Februari lalu membuat kami membuka kembali laporan tersebut. Militer menahan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan beberapa pemimpin lain. Kawan-kawan dari LSM yang sebelumnya membantu kami mengumpulkan informasi mendesak pelapor khusus Yanghee Lee untuk membentuk forum yang bisa membantu agar suara masyarakat Myanmar didengar di dunia internasional.

Yanghee Lee kemudian mengundang saya dan Christopher Dominic Sidoti untuk membentuk forum tersebut. Kami bertiga mendirikan Special Advisory Council for Myanmar pada Maret lalu. 

Kami menulis surat ke banyak lembaga di dunia, termasuk PBB, pemerintah negara, ataupun perusahaan. Kami menyerukan tiga hal, yaitu embargo senjata, memutuskan hubungan bisnis dengan tentara Myanmar, dan mencabut impunitas. Poin-poin ini sama seperti laporan yang kami serahkan ke PBB sebelumnya.

Upaya kami sudah membuahkan hasil. Beberapa perusahaan yang berbisnis dengan tentara Myanmar sudah memutus kerja sama mereka, seperti perusahaan bir asal Jepang serta perusahaan dari India dan Australia. 

Saat ini kami masih berkontak dengan orang-orang yang ada di Myanmar. Mereka terus melaporkan kondisi di sana. Sudah ratusan ribu orang yang mengungsi. Ada kemungkinan dalam tiga bulan ini situasi akan semakin kritis. Bahan pangan semakin minim, penanganan pandemi juga tidak berjalan. Ini mengerikan. Saya tidak tahu bagaimana nasib mereka nanti.

NUR ALFIYAH
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Nur Alfiyah

Nur Alfiyah

Bergabung dengan Tempo sejak Desember 2011. Kini menjadi redaktur untuk Desk Gaya Hidup dan Tokoh majalah Tempo. Lulusan terbaik Health and Nutrition Academy 2018 dan juara kompetisi jurnalistik Kementerian Kesehatan 2019. Alumnus Universitas Jenderal Soedirman.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus