Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BINTANG film Bambang Irawan, Oktober lalu meninggal akibat
penyakit lever yang diderita sejak 1976, setelah mengalami 3
kali operasi Oktober 1976, Agustus 1978 dan 5 Oktober 1979.
Ia lahir di Semarang S Februari 1932. Setamat SMA (1954) dia ke
Jakarta untuk cari kerja dan sempat menjadi penganggur beberapa
lama--suatu masa yang mempertemukannya dengan isterinya, Arzia
Dahar, yang kini disebut Ade Irawan. Dari pernikahan mereka
lahir 5 orang anak.
Tahun 1960-an adalah jaman keemasan Bambang. Tawaran untuk main
cukup banyak, sehingga tahun 1961 sanggup beli rumah seharga Rp
150 ribu. "Saya sendiri waktu itu usaha kecil-kecilan. Dagang
kain batik dan lurik, untuk tambahan beli keperluan dapur," kata
Ade lagi.
Pada saat itu, walau dunia perfilman mulai lesu, keuangan
keluarga Bambang tidak terganggu. Bahkan tahun 1963 datang raja
rokok kretek dari Kudus, Pak Harto, menawari Bambang untuk bikin
film. Bambang pun tidak menolak. Maka didirikanlah PT Agora Film
yang segera memproduksi Aku Hanya Bayangan, dicukongi Pak
Harto. Sesudah itu Bambang pun cari kredit dari Bank Koperasi
Tani & Nelayan. Dan tak kurang dari 34 film sempat diproduksi
sampai tahun 1976.
Namun tak semua film produksinya itu berjalan lancar. Banyak
yang macet setengah jalan serta banyak yang tak bisa beredar.
Akibatnya perusahaan yang dikelola bersama Harjo Mulyo itu
mengalami krisis keuangan berat, bersamaan dengan sakitnya lever
Bambang. Dan, "Mas Harjs Mulyo justeru mengundurkan diri di
saat kebangkrutan itu . . .," tutur Ade sambil menghela nafas.
3 buah rumah, tanah, uang tabungan serta 2 mobil antik amblas
menjadi penyumbat hutang perusahaan. Yang tinggal hanya 1 mobil
antik abu-abu yang sedang turun mesin dan sebuah sepeda motor
Yamaha. Dan keluarga itu kini menempati sebuah rumah yang
dipinjamkan oleh seorang keluarga Bambang secara cuma-cuma untuk
4 tahun lamanya. Ukuran 8 x 10 meter, berdinding tembok.
"Saya tidak menyesal dengan apa yang ada sekarang," ujar Ade,
kini 42 tahun. "Kalau toh Agora harus bangkrut bersama wafatnya
Mas Bambang, itu memang sudah kodrat-Nya. Dulu pun kami
berangkat dari nol. Tapi syukurlah kami punya familiyang sering
membantu. Dan terkadang saya atau anak saya mendapat kontrak
untuk main film."
Harjo Mulyo sendiri, 55 tahun, mengundurkan diri dari Agora
karena "tidak sefaham lagi dan ingin berusaha sendiri," katanya.
Usahanya itu nampaknya maju. Di rumahnya dibuka usaha penyewaan
peralatan pesta meski selama di Agora dia mengaku tak bisa
membeli apa-apa yang berarti. "Paling-paling cukup buat makan
saja," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo