Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Empat bulan menjabat Direktur Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Andy Noorsaman Sommeng bakal menghadapi hari-hari tersibuknya pekan ini. Pemerintah menetapkan pembatasan penggunaan bahan bakar minyak per 1 Mei 2012, jika tak ada perubahan jadwal. Keputusan ini memancing respons keras dan riuh dari publik. Salah satu yang ramai diperdebatkan, bagaimana pembatasan—atau pengendalian, dalam istilah BPH Migas—disokong mekanisme yang bersih, adil, dan transparan; dan bagaimana memastikan BBM bersubsidi benar-benar jatuh ke tangan konsumen yang berhak.
Ditemui pekan lalu di kantornya di lantai empat Gedung BPH Migas, Jalan Kapten Tendean, Jakarta Selatan, Andy menjelaskan, tugas badan yang dia pimpin adalah mengatur dan mengawasi penyediaan serta distribusi bahan bakar. Sebagai "pemeran utama" lakon pengendalian bahan bakar minyak, BPH Migas memperkirakan kuota BBM bersubsidi bakal habis pada Oktober mendatang. Perkiraan ini didasarkan pada realisasi konsumsi yang melebihi kuota setiap bulan.
Semula dua opsi disiapkan. Pembatasan penggunaan atau menaikkan harga. Tatkala pilihan kedua terbentur keputusan politik, pemerintah memilih memaksimalkan opsi pertama. Pembatasan akan dilakukan terhadap kendaraan roda empat dengan kapasitas mesin 1.500 cc ke atas. "Isu yang penting adalah ketersediaan bahan bakar, bukan harga," ujar Andy kepada Tempo.
Pekan-pekan menjelang 1 Mei, Andy sibuk bukan main. Dia melompat dari satu rapat ke rapat lain untuk memastikan kelancaran tugas lembaganya. "Tak boleh sampai terjadi kelangkaan," dia menegaskan. Tugas baru di BPH Migas mengembalikan doktor teknik kimia lulusan Prancis ini ke "khitah". Juga memberinya lebih banyak kesempatan menerapkan ilmu dan bidang yang amat dia kuasai.
Wartawan Tempo Andari Karina Anom, Hermien Y. Kleden, dan Bobby Chandra, serta fotografer Dwianto Wibowo, menemui Andy pada Selasa pekan lalu. Meski sudah ditunggu sejumlah acara lain, dia tetap menjawab setiap pertanyaan dengan rileks dan detail.
Apa isu terpenting bagi BPH Migas, menyusul keputusan pembatasan bahan bakar minyak per 1 Mei 2012?
Karena dibatasi pada 40 juta kiloliter (untuk pemakaian pada 2012), amat berat bagi kami untuk mengawasi dan mengaturnya. Kami ingin membanjiri wilayah Indonesia timur dengan ketersediaan, supaya pembangunan ekonomi mereka cepat. Tapi kalau 40 juta kiloliter sudah habis di Jawa dan Bali—dua pulau dengan konsumsi terbesar—tak ada alternatif lain untuk Indonesia timur. Padahal mereka bilang, berapa pun harganya akan mereka ambil. Mereka sudah terbiasa dengan harga Rp 10 atau 20 ribu, yang penting barang ada. Jadi, isu (terpenting) adalah ketersediaan, bukan harga.
Mekanisme pengaturan dan pengawasan cukup disokong oleh kebijakan atau menurut Anda harus dengan instansi penegak hukum?
Keduanya harus bersamaan karena problemnya sudah sistemik. Kalau hanya mengawasi pedagang eceran yang membeli bensin Premium Rp 4.500, lalu dijual lagi Rp 6.000 per liter di botol, gampang. Kasihan juga kalau kita menindak kalangan ini. Yang jadi masalah adalah (mengawasi pemain) kelas kakap: BBM yang menjadi hak publik dipakai untuk industri.
Penyelewengan distribusi di SPBU sih kecil dibanding kasus-kasus pencurian BBM bersubsidi untuk industri....
Memang begitu. Maka kami membentuk semacam satuan tugas yang melibatkan semua instansi penegak hukum. Penindakan dan penyelidikan kriminal kan di bawah yurisdiksi kepolisian. Kami membantu menurut tugas dan fungsi BPH Migas. Kami mengerti mana distribusi yang benar. Kami juga meminta bantuan dari BAIS, BIN, dan lembaga-lembaga terkait lain untuk memberi informasi penyelewengan.
Mengapa pembatasan BBM sifatnya hanya imbauan dan bukan diwajibkan, supaya lebih efektif?
Yang sekarang kami lakukan (bahkan) bukan pembatasan, tapi pengendalian. Artinya mengendalikan jangan sampai (harga) naik-turun. Kuotanya dibatasi 40 juta kiloliter. Kami akan melihat bagaimana kuota tersebut dibagi ke 33 provinsi, sekian ratus kota dan kabupaten. Setiap hari saya menerima surat permohonan kenaikan kuota.
Tidak ada yang minta penurunan kuota?
Ha-ha-ha…, surat itu semua meminta kenaikan. Saya melihat saudara-saudara kita di (Indonesia) timur itu jatahnya kecil tapi tidak banyak menuntut. Penggunaan mereka selalu dalam batas. Kasihan kalau mereka tidak dibantu.
Dibantu dengan cara apa, misalnya?
Misalnya ada tiga pompa bensin di sini (Jakarta) ditutup dan dipindah ke daerah timur. Itu besar artinya buat mereka. Di sini kita berlimpah-ruah bensin, di sana harganya sampai Rp 20 ribu per liter. Makanya kami menggiring orang berinvestasi ke timur. Tentu ada insentif untuk pemerintah daerah. Ada yang kirim SMS ke saya begini: "Kenapa orang di Jawa selalu mempermasalahkan harga BBM naik, sementara kami bingung soal ketersediaan?" Kita di Jawa dininabobokan oleh harga BBM murah.
Kan, bisa bekerja sama dengan pemerintah daerah?
Dengan (adanya) Peraturan Presiden Nomor 15/2012 (tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis BBM Tertentu), kami bisa bekerja sama dengan pemerintah daerah. Walau belum ada nota kesepahaman, beberapa pemerintah daerah sudah mengatur distribusi BBM karena takut kehabisan. Misalnya berapa liter sehari untuk motor, berapa untuk mobil. Mereka juga berhati-hati.
Berhati-hati dalam hal apa?
Mereka tidak mau menjual kepada sembarang mobil di daerah pertambangan. Kalau mobil-mobil pertambangan dikasih pelat kuning, artinya mereka diizinkan keluar ke jalan raya dan bisa main "seruput" di pompa bensin. Di daerah Sumatera, misalnya, ada yang sekali mengisi tangki bisa sampai Rp 3 juta!
Berapa uang negara bisa dihemat dari program pembatasan BBM?
Menurut hitung-hitungan kami, di Jakarta ada 1,9 juta unit kendaraan di bawah 1.500 cc dan sekitar 1,6 juta unit di atas 1.500 cc. Di Jawa Barat, 986 ribu kendaraan di bawah 1.500 cc dan 600 ribu di atasnya. Total Jawa Barat dan Jakarta sekitar 2,5 juta kiloliter yang bisa dihemat. Jumlah itu bisa dipakai untuk membangun infrastruktur di daerah.
Bisakah pembatasan ini membuat konsumen lari ke SPBU asing?
Kemungkinan orang beralih itu pasti terjadi, karena saya melihat karakter kalangan menengah di perkotaan seperti itu.
Anda setuju pendapat ini: beralihnya banyak konsumen ke SPBU asing bisa mematikan pompa bensin Pertamina?
Tidak! Dari 4.500 SPBU yang ada di Indonesia, kurang-lebih 75 persennya milik Pertamina yang bertanda "Pasti Pas". Fasilitas dan pelayanannya bagus, toiletnya juga bersih, ha-ha-ha.... Dan petugasnya pasti bilang, "Mohon dilihat, Pak, dari nol ya (sebelum mereka mengisi BBM ke kendaraan konsumen). Janganlah kita mendikotomikan ini asing, ini lokal.
Mengapa?
Pompa bensin (asing) juga perusahaan berbadan hukum Indonesia. Memang produk mereka diambil dari Singapura. Tapi apa bedanya dengan kita yang mengimpor dan mungkin sumbernya dari mereka juga? Barangnya sama-sama tidak diambil dari perut bumi kita. Kalau kita impor dengan biaya tinggi, sementara mereka bisa efisien menghasilkan bahan bakar yang jarak tempuh per liternya lebih jauh, yang diuntungkan kan konsumen kita juga.
Petronas membuat tangki penimbunan di Medan. Minyak dari Malaysia bisa langsung disimpan di situ. Biaya operasionalnya lebih murah, sehingga harga ke konsumen juga bisa lebih murah.
Harga di konsumen akhir itu marginnya kecil. Mereka untung dari menjual jasa, buka minimarket dan iklan yang lebih bagus, sehingga orang yang semula ke Pertamina beralih. Tapi tenaga kerjanya juga orang Indonesia. Berpikirlah lebih terbuka. Kalau sudah berdemokrasi tapi kita masih berpikir sentralisasi, ya, susah.
Anda punya usul solusi?
Mendorong dunia usaha membuka investasinya di Indonesia timur. Jangan seperti sekarang, mereka hanya mau buka pompa bensin di daerah-daerah yang daya seruputnya besar: Jabotabek. Di Jalan Tendean ini saja (kantor BPH Migas terletak di Jalan Tendean, Jakarta Selatan) ada sekian pompa bensin, karena daerah ini daya seruputnya besar. Yang harus kita pikirkan adalah agar mereka (mau) berinvestasi di daerah.
Ada pendapat bahwa ini semacam liberalisasi bagi perusahaan asing.
Ya, selalu ada yang mengaitkan ini dengan liberalisasi. Padahal ini berkaitan dengan kecukupan dan ketersediaan minyak. Saat ini, setengah produksi minyak kita impor kok, bukan produk dari perut bumi kita. Kita bukan lagi negara yang kaya minyak. Kita harus kreatif mencari sumber energi lain. Jangan beranggapan energi, terutama minyak, itu given dan terus-menerus ada.
Pada triwulan I 2012, pemakaian BBM kita ada di angka 10 juta kiloliter. Apakah BPH Migas akan "membagi rata" sisa konsumsi tahun ini?
Tidak. Karena kalau begitu artinya kami tak melakukan apa-apa.
Jadi seperti apa teknis pengaturan dan pengawasannya?
Untuk pengawasan distribusi ada tiga badan usaha (yang terlibat): AKR, Pertamina, dan Petronas. Kami memberlakukan aturan keras. Misalnya kami dapat memonitor langsung setiap transaksi di nozzle (slang pengisian bensin). Karena kunci distribusi itu ada di nozzle. Sampai suatu saat nanti kami bisa memantau hingga ke pelat nomornya.
Tingkat kontrolnya seperti apa?
Kami bisa menegur pompa bensin yang memberikan BBM bersubsidi kepada mobil dengan pelat nomor sama yang mengisi penuh sampai tiga kali. Mereka (para pemilik SPBU) harus bisa mengontrol agar subsidi yang diberikan tepat sasaran. Lalu soal teknologi dan informasi yang berkaitan dengan sistem pelaporan yang terintegrasi dengan kami: jika penyaluran BBM bersubsidi melebihi kuota, (SPBU) itu tidak akan dibayar oleh negara.
Bisa beri satu detail?
Misalnya, jatah (tiap SPBU) 1.000 kiloliter. Ketika angka (pemakaian) sudah menunjukkan 998 kiloliter, dia sudah harus stop. Jika lebih, (negara) tidak akan membayar dan dia yang akan rugi.
Komentar Anda tentang bentuk kerja sama Pertamina dengan perusahaan asing?
Selama ini banyak pengamat bilang seolah-olah minyak tinggal ambil di sumur, langsung dipakai. (Padahal) kita butuh modal besar dan teknologi tinggi. Teknologi kita masih bisa kita capai. Yang sulit adalah (mendapat) modal besar karena tingkat ketidakpastian (investasi di sini) tinggi. Kemampuan Pertamina terbatas. Maka kita mengundang investor asing seperti ConocoPhillips, ExxonMobil, Shell, dan Chevron. Lalu ada yang beranggapan bahwa peta (energi) Indonesia sudah dikuasai asing. Padahal mereka kan tukang cangkul saja.
Tapi bagian "tukang cangkul" itu besar, lho....
Iya, tetapi kalau tidak dapat (minyak), risiko mereka tanggung sendiri. Kalau dapat, juragannya tetap kita. Bayangkan kalau kita sudah berinvestasi segitu besar, ternyata loss. Lebih baik mereka yang menanggung risiko itu. Dana kita lebih baik dipakai untuk bangun SD inpres dan kebutuhan rakyat lainnya.
Menurut Anda, apa yang diperlukan untuk meningkatkan pemerataan BBM di Indonesia timur?
Pertama, meningkatkan dan membangun infrastruktur dan menyediakan fasilitas penyimpanan. Seperti sekarang ini, saya minta ke Pertamina supaya kilang Kasim di Sorong, Papua, dioperasikan lagi. Menurut laporan BP Migas, di sana ada minyak yang fit in kepada Kasim sebanyak 9.000 barel per hari, sementara kapasitas kilang itu 10 ribu barel. Artinya, kalau itu berjalan, kebutuhan (minyak) untuk Indonesia timur lumayan terpenuhi. Minyak mentahnya dari Papua juga. Kami senang sekali kalau ini terjadi, karena ketersediaan meningkat.
Andy Noorsaman Sommeng Pendidikan:
Karier:
Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, Oktober 1959
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo