"Tapi untuk Palestina, untuk membangun markas Jamaah Anshorut Tauhid di Solo, dan sebagainya, bukan untuk pelatihan militer," kata Michdan saat mendampingi kliennya itu di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hari ini, Senin 14 Februari 2011.
Dalam sidang hari ini, jaksa menuntut Ba'asyir dengan tujuh pasal berlapis. Pimpinan Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) ini dituding merencanakan, membantu, mendanai dan melakukan provokasi atas sejumlah aksi terorisme.
Jaksa menuding Ba'asyir berperan besar dalam aksi pelatihan militer di Pegunungan Jalin Jantho, Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darusalam pada Februari 2010 lalu. Selain merencanakan, Ba'asyir juga didakwa memberikan bantuan dana untuk pelatihan militer ini. Menurut jaksa, pada Maret 2009, Ba'asyir memberikan dana tunai sebesar Rp 5 juta kepada Ubaid untuk melakukan survei tempat pelatihan militer.
Selain secara langsung, Ba'asyir juga memerintahkan Ubaid mengambil dana sebesar Rp 10 juta kepada Thoyib, bendahara JAT. Uang Rp 15 juta ini lantas diberikan Ubaid kepada Dulmatin di daerah Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Ubaid, Abu Tholut, dan Dulmatin pun menggunakan uang ini menuju Aceh.
Ba'asyir juga diduga mendanai pembelian senjata api ilegal yang digunakan dalam pelatihan militer di Aceh. Pada September 2009, menurut jaksa, Ba'asyir memerintahkan Ubaid untuk mengambil uang sebesar Rp 60 juta dari Thoyib. Pada Oktober 2009, Ba'asyir juga menelepon Ubaid untuk mengambil uang sebesar US$ 5 ribu dari rumahnya.
Selain itu, jaksa juga mendakwa Ba'asyir melakukan doktrinasi yang membenarkan penjarahan harta kekayaan orang lain untuk membiayai jihad. Hal ini juga dibantah pengacara Ba'asyir lainnya, Mohammad Assegaf.
Menurut Assegaf, soal ceramah agama yang memperbolehkan fa'i (perampokan untuk pembiayaan jihad) dan jihad (berperang melawan kaum kafir) yang dituduhkan kepada Ba'asyir, tidak benar. "Itu ceramah yang bersifat umum," ujarnya. Ia mengatakan, Ba'asyir tak pernah menyetujui jihad di dalam wilayah yang tak berkonflik. "Kalau jihaad itu seperti di Afganistan, Palestina, bukan di Indonesia."
Senada dengan Assegaf, menurut Michdan, Ba'asyir tak pernah menyetujui adanya fa'i di Indonesia. "Fa'i hanya boleh dilakukan dalam kondisi perang," kata Michdan.
FEBRIYAN