TEMPO Interaktif, Jakarta - Pamriyanto alias Suryo Saputro alias Pian menilai, aksi perampokan bank CIMB Niaga, Medan, pada Agustus 2010, sifatnya halal. Karena itu, Pamriyanto yang pernah mengikuti pelatihan militer di Pegunungan Jantho, Aceh Besar itu, mau terlibat di dalamnya.
“Saya waktu itu masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) makanya nggak mungkin saya bekerja di luar. Menurut saya itu halal karena saya butuh,” kata Pamriyanto dalam sidang terdakwa tindak pidana terorisme, Abu Bakar Ba’asyir, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin, 4 April 2011.
Ia mengaku mendapat jatah Rp 10 juta dari sejumlah duit yang dirampok. Uang itu sudah ia belanjakan untuk membeli pakaian lebaran, dan kebutuhan makan sehari-hari. Namun saat ditanya jaksa berapa total uang yang dia rampok berserta belasan kawan, Pamriyanto mengaku tak tahu.
“Saya kurang tahu. Setelah saya ambil duit, tas saya masukkan mobil. Setelah itu saya nggak tahu lagi. Keseluruhannya berapa saya nggak tahu karena yang bagian menghitung uang bukan saya. Yang jelas bagian saya Rp 10 juta,” aku Pamriyanto yang mengaku tidak mengenal Ba’asyir.
Aksi perampokan, kata Pamriyanto, dilakukan siang hari, sekitar pukul 12.00. Saat itu situasi sedang ramai. Bersama enam belas kawan, Pamriyanto pun merangsek masuk ke dalam gedung bank, berbekal AK47 dan FN. Dengan senjata tersebut, tak sulit bagi Pamriyanto dkk untuk mendapatkan uang yang mereka incar.
“Uang yang dirampok bundelan isi Rp 50 ribu. Berapa bundelnya kurang tahu, karena langsung dimasukkan ke ransel. Tapi ranselnya nggak sampai penuh. Ya terisi sekitar separuh. Setelah itu kami kabur dengan enam motor, berboncengan,” ungkapnya.
Jaksa kemudian menanyai Pamriyanto, apakah sebagai muslim yang berakal ia membenarkan aksi perampokan pimpinan Taufik tersebut. Apalagi aksi perampokan itu sampai menewaskan seorang aparat, Briptu Manuel Simandjuntak. “Itu kan pribadi masing-masing, Pak,” jawabnya.
Isma Savitri