TEMPO.CO, Padang - Kemacetan lalu lintas yang terjadi setelah gempa Aceh 8,5 pada skala Richter di sejumlah jalan raya di Kota Padang, Rabu 11 April 2012 lalu, menunjukkan warga belum siap menghadapi kemungkinan terjadinya tsunami. Masih banyak warga yang naik kendaraan, bahkan menunggu di tepi pantai untuk melihat apakah air laut surut, padahal tak semua tsunami didahului surutnya air laut.
Patra Rina Dewi, Direktur Eksekutif Komunitas Siaga Tsunami, mengatakan cara evakuasi belum dipahami dengan benar. “Semestinya evakuasi dilakukan dengan berjalan kaki, tapi kami tak bisa melarang masyarakat menggunakan kendaraan,” kata Patra, yang aktif memberi edukasi mitigasi gempa dan tsunami di Padang.
Kesiapan warga Padang menghadapi tsunami amat penting karena wilayah itu menghadapi ancaman gempa megathrust di Mentawai yang berkekuatan 8,9 pada skala Richter. Gempa itu diperkirakan memicu tsunami yang langsung menuju kota berpenduduk lebih dari 850 juta jiwa itu.
Peneliti gempa dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Danny Hilman Natawidjaja, mengkritik proses evakuasi yang sudah berulang kali disosialisasi itu. “Respons masyarakat masih kacau-balau,” kata pakar gempa Sumatera itu. “Kesiapan masyarakat harus diperbaiki karena bahaya masih mengintai.”
Kekacauan yang terjadi ketika evakuasi ini membuat pemerintah pusat berencana mengevaluasi jalur evakuasi, termasuk yang ada di Aceh. Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono menyatakan jalur evakuasi yang tak jelas berpotensi menimbulkan korban. “Ke depan, masalah evakuasi akan diprioritaskan,” ujarnya Kamis 12 April 2012 kemarin.
Ketidaksiapan warga juga diperparah oleh sistem peringatan dini yang tak memadai. Koordinator Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana Sumatera Barat, Ade Edward, mengatakan kurangnya fasilitas membuat mereka tak bisa cepat memberi tahu masyarakat.
Enam sirene yang dipasang BMKG di Sumatera Barat, yakni di Padang, Padang Pariaman, Agam, Pasaman Barat, Pesisir Selatan, dan Kota Pariaman, hanya terdengar dalam radius satu kilometer. “Sirene harus diperbanyak. Untuk Padang yang memiliki garis pantai 400 kilometer, butuh 600 sirene,” kata Ade.
Sementara sirene di Padang berbunyi, sirene di Banda Aceh dan Aceh Besar justru bungkam. Dari enam sirene, hanya satu yang berbunyi.
Penanggung jawab Pusat Kendali Operasi di Badan Penanggulangan Bencana Aceh, Iskandar, mengatakan ada masalah pada kartu yang digunakan untuk mengaktifkan sirene. Masalah ini akan disampaikannya kepada Wakil Presiden Boediono, yang akan berkunjung ke Aceh Jumay 13 April 2012 hari ini.
Deputi Bidang Geofisika BMKG, Prih Harjadi, mengatakan padamnya listrik di Aceh membuat aktivasi sirene dari kantor pusat BMKG tak bisa dilakukan. Sirene harus diaktifkan secara manual. “Dua sirene bisa dihidupkan, tapi baru menit ke-40 pascagempa,” kata Prih.
Gempa besar yang terjadi Rabu 11 April 2012 lalu terhitung istimewa, yaitu gempa kembar yang terjadi di luar zona subduksi. Peneliti gempa Danny Hilman mengatakan, gempa pertama berkekuatan 8,5 pada skala Richter, disusul beberapa gempa susulan berkekuatan kecil. Dan berselang dua jam setelahnya, gempa berkekuatan 8,1 pada skala Richter kembali mengentak dari dasar Samudra Hindia. "Keduanya adalah gempa utama. Kami menyebutnya gempa kembar," kata dia.
FEBRIANTI | ANTON WILLIAM | ADI WARSIDI | MAHARDIKA SATRIA HADI | ANANDA BADUDU | ISTMAN MP
Berita Terkait:
Perbedaan Gempa 2004 dan 2012
Kronologi Waktu Gempa Aceh Versi BNPB
Sebagian Sirene Peringatan Tsunami Tak Berbunyi
Gempa Aceh, Warga Padang Sempat Panik
Kronologi Waktu Gempa Aceh Versi BNPB
Sebagian Sirene Peringatan Tsunami Tak Berbunyi
Pasca Gempa Aceh, Gempa Padang Mengintai
Gempa Aceh Rusak Bandara Simeulue
Empat Orang Luka di Simeulue Akibat Gempa
Gempa Susulan di Medan Sampai Sebelas Kali