TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Dalam Negeri tengah mengkaji wacana agar kepala daerah, yakni gubernur, bupati, dan wali kota, tidak lagi tergabung dalam partai politik setelah terpilih memimpin sebuah daerah. "Kami lagi mendalami wacana ini," kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Djoehermansyah, saat dihubungi Tempo, Sabtu, 8 September 2012.
Menurut dia, Kementerian akan mengusulkan wacana tersebut untuk masuk ke dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah jika memang dalam pengkajian disimpulkan bahwa wacana ini baik bagi sistem pemerintahan Indonesia. "Harus ditimbang dulu baik-baik, dikaji matang-matang," ujar Djoehermansyah.
Kendati begitu, Djoehermansyah mengatakan, Kementerian sangat tertarik dengan wacana ini. Soalnya, penerapan wacana ini bakal menjadikan kepala daerah milik semua masyarakat, bukan milik partisan. Tapi, dengan catatan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah harus mendukung secara profesional kepada kepala daerah yang sudah tak berpartai.
"Kalaupun dia bukan ketua partai lagi, tetap mesti didukung secara obyektif demi kepentingan rakyat banyak," ucap Djoehermansyah. Ia menyatakan proses pengkajian dan pendalaman terhadap wacana ini terus dilakukan Kementerian hingga kini. Namun ia menolak berkomentar ihwal selesainya proses pendalaman tersebut.
Djoehermansyah mengatakan wacana kepala daerah yang mesti melepaskan jabatan politik sejauh ini belum terdapat dalam draf RUU Pilkada yang dibahas pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat. Wacana ini berkembang di tengah masyarakat setelah beberapa waktu lalu disahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY Yogyakarta.
Aturan yang menjadi sorotan terutama Pasal 18 Ayat 1 N yang menyebutkan bahwa gubernur dan wakil gubernur tidak menjadi anggota partai politik. Wacana ini, kata Djoehermansyah, bahkan tidak hanya ditujukan pada kepala daerah, tapi juga jabatan publik lainnya, misalnya presiden dan menteri.
Tujuannya agar para pejabat publik tersebut benar-benar menjadi milik masyarakat, bukan milik partai politik lagi. "Supaya fokus dan konsentrasi mengurus jabatan pemerintahan, sedangkan partai diurus yang lain," ujarnya. Menurut Djoehermansyah, penerapan wacana tersebut menemui persoalan ketika dihadapkan pada sistem pemerintahan di Indonesia.
Sebetulnya, Indonesia menganut sistem presidensial, tapi faktanya berbau parlementer. Yaitu ketika para pejabat publik, seperti presiden atau kepala daerah, membutuhkan banyak dukungan politik di parlemen. "Itu dilema. Kita menganut sistem presidensial, tapi ada nuansa parlementer," kata dia.
Ia menjelaskan, Kementerian akan melihat kasus Yogyakarta dalam penerapan wacana kepala daerah tak berpartai. Pada 9 Oktober, Sri Sultan Hamengku Buwono X akan dilantik menjadi gubernur menyusul disahkannya UU Keistimewaan Yogyakarta. "Apakah DPRD akan mendukung kebijakan Sultan? Saya yakin didukung kalau kebijakannya demi masyarakat," ujar Djoehermansyah.
Ihwal pembahasan RUU Pilkada, Djoehermansyah mengatakan, Kementerian sudah membahasnya dengan Komisi Pemerintahan DPR. Komisi masih harus menggelar rapat dengar pendapat dan studi banding sebelum akhirnya bertemu dengan pemerintah. "Akhir Oktober sudah bertemu dengan kami, dan Desember selesai," ucap dia.
PRIHANDOKO