TEMPO.CO , Morotai:Muhlis Eso dan Mahani, keduanya 32 tahun, telah berumah tangga lebih dari setengah umur mereka. Keduanya adalah pengumpul barang-barang sisa peninggalan Perang Dunia II di Morotai. "Kadang kalau panas-panas Muhlis menggali, saya memayunginya dengan daun pisang," kata Mahani di rumah mereka, Jumat 14 September 2012.
Muhlis dan Mahani tinggal di Daruba, Morotai Selatan. Enam anak menyemarakkan rumah mereka yang berlantai tanah, dengan dinding papan dan atap seng bertambal rumbia.
Sepuluh tahun terakhir, Muhlis hanya bekerja mencari barang peninggalan Perang Dunia II. Barang berupa koin, helm tempur, senapan dan aneka rupa peluru, hingga botol-botol cola buatan Auckland bawaan tentara Sekutu dikumpulkan. Bukan untuk dijual tapi sekedar dipamerkan pada siapapun yang mau mengerti dan peduli pada sejarah. Maka asap di dapur Mahani pun tak bisa senantiasa mengepul.
"Kalau tak ada uang ya kita makan pisang," katanya sambil menggendong Sani, anaknya yang nomor empat. Pipi kanan bocah 6 tahun itu bengkak karena sakit gigi.
Mahani bertutur, ia pertama kali mengenal Muhlis saat masih berumur 14 tahun. Saat itu, gadis Mahani yang tinggal bersama bibinya di Tobello baru turun dari kapal di Pelabuhan Daruba. Hendak pulang ke rumah orang tuanya, sekitar 3 kilometer sisi timur pelabuhan, ia menumpang angkot. Kebetulan sopirnya adalah Muhlis. "Itu pertama ketemu, tak lama, kami menikah," ujarnya.
Mahani sepenuhnya mengerti kegemaran aneh suaminya itu. Muhsin berasal dari Joubela, sebuah desa 10 kilometer sebelah barat Daruba. Di desa itulah paling banyak ditemukan peninggalan Perang Dunia II, baik dari Sekutu, maupun Jepang.
Sejak bertemu Mahani, Muhsin telah menunjukkan kecintaannya pada barang-barang bersejarah itu. Saat itupun, "koleksi" Muhsin telah cukup banyak, meski hanya disimpan di kamarnya. "Dia suka karena kakeknya sering cerita tentang sejarah perang."
Setelah menikah, Mahani bahkan kerap menemani suaminya itu berburu artefak. Jarak 10 kilometer dari Daruba ke Joubela mereka tempuh dengan angkutan umum. Bila tak ada duit, jalan kaki pun jadi. Berangkat pagi, tiba tengah hari, petang pulang lagi. Saat-saat itulah romansa di bawah daun pisang terjadi.
Semangat Muhsin menggali makin menjadi saat menemukan teman sehati. Enam orang dari kampung halaman turut dalam misi.
Kini, artefak temuan Muhsin dan rekannya telah berjumlah ratusan. Semuanya dipajang di ruang depan rumahnya yang berukuran 2,5 kali 3 meter. Ruang pamer Muhsin ini tak beda dengan ruang lain di rumahnya. Agar tak langsung menyentuh tanah, si empunya rumah mengalasi koleksi peluru dan senapannya dengan karpet plastik.
Punya bejibun koleksi dan kerap menerima tamu dan wisatawan yang tertarik sejarah di rumahnya, Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BPPP) Morotai pun menaruh perhatian pada kerja Muhsin. Setahun terakhir, ia menerima honor sebesar Rp 500 ribu tiap bulan yang dibagi dengan rekan-rekannya. "Tapi sungguh bukan itu yang saya cari," katanya.
Muhsin yang lulusan SMA itu mengaku cukup senang bisa memamerkan koleksi dan berbagi pengetahuan tentang sejarah kampungnya pada siapapun yang peduli. Ia juga meminjamkan beberapa koleksinya untuk Museum Sejarah Perang Dunia II yang dibangun pemerintah.
Atas hidupnya sekarang, ia tak lupa berterima kasih pada Mahani. "Saya tak bisa apa-apa kalau tidak didukungnya," katanya sambil merangkul pinggang sang istri.
PINGIT ARIA
Baca pula:
Keunggulan Braga Festival Tahun Ini
Veteran Perang Dunia II Pangling Lihat Morotai
Jawa Timur Gelar Pesta Rakyat Sebulan Penuh
Christine Hakim dan Sail Morotai
Banyumas Gelar Festival Serayu
Pulau Morotai Akan Dijadikan Cagar Budaya