TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) menilai perhatian Indonesia pada pencapaian ketahanan pangan melalui swasembada salah arah. Direktur Perdagangan dan Pertanian OECD, Ken Ash, mengatakan Indonesia lebih baik fokus pada komoditas yang berdaya saing tinggi dan memiliki keunggulan komparatif sehingga mampu bersaing di pasar global dalam produk ekspornya.
Menurut OECD, pemerintah Indonesia sebaiknya mulai meninggalkan tujuan swasembada karena dinilai justru membutuhkan dana besar jika dipaksakan pada komoditas yang kurang berdaya saing tinggi. “Untuk mencapai swasembada, Indonesia membutuhkan biaya besar, seperti memberikan subsidi untuk pupuk, perlindungan pasar impor, juga ekspor,” kata Ken dalam konferensi pers di kantor Kementerian Pertanian, Jakarta, Rabu, 10 Oktober 2012.
Pemerintah Indonesia, katanya, dapat meningkatkan ketahanan pangan melalui fasilitas penanaman modal pertanian, membuka pasar produk pertanian di perdagangan internasional, dan reformasi skema subsidi.
“Perlu beralih dari jenis subsidi menjadi investasi yang lebih strategis, pendidikan dan pembangunan infrastruktur fisik,” ujarnya. Jadi, menurut dia, pemerintah seharusnya lebih fokus pada peningkatan produktivitas dan meningkatkan daya saing agar lebih tangguh.
Pemerintah menargetkan swasembada beras, kedelai, jagung, daging, dan gula pada 2014. Untuk beras dan jagung ditargetkan agar swasembada berkelanjutan karena selama ini produksi kedua komoditas itu sudah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Adapun kedelai, gula, dan daging belum swasembada sehingga selama ini masih harus impor.
Menurut dia, Indonesia bisa mengimpor produk pangan yang tidak bisa diproduksi sendiri atau kurang berdaya saing tinggi, tapi Indonesia juga bisa mengekspor produk pangan unggulan yang mampu diproduksi. “Indonesia dapat impor pangan yang tidak dapat diproduksi sendiri. Pemerintah harus memiliki kebijakan keamanan pangan dan mempertimbangkan pendapatan masyarakat karena masih banyak masyarakat yang belum dapat mengakses pangan," katanya.
Selama periode 2006-2010, dukungan pemerintah kepada sektor pertanian yang diukur dengan Producer Support Estimate (PSE) rata-rata mencapai 9 persen dari total nilai produksi yang diterima petani atau lebih rendah dari rata-rata negara anggota OECD. Laporan OECD ini mengusulkan reformasi yang dapat memperbaiki efisiensi dukungan untuk petani maupun konsumen miskin.
Kajian kebijakan pertanian Indonesia (Review of Agricultural Policies: Indonesia) menyatakan bahwa mendorong penanaman modal swasta berkelanjutan pada sektor pertanian merupakan hal penting. Sebab, hal itu dapat meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian, memaksimalkan manfaat pembangunan dari sektor pertanian yang kuat, dan mencapai ketahanan pangan.
ROSALINA
Berita lain:
BEI Akan Selidiki Kabar Penjualan Saham Bumi
Tak Taati Aturan Asuransi, Lima Maskapai Ditegur
Maersk Line Perluas Produk ke Indonesia
Brunei Minat Investasi di Kalimantan dan Papua
Medco Eksplorasi Panas Bumi di Gunung Ijen
Kronologi Pendaratan Darurat Helikopter Mil-8