TEMPO.CO, Jakarta - Penarikan 13 penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi yang dilakukan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia dinilai sebagai bentuk arogansi polisi. Pernyataan itu disampaikan peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Oce Madril.
Menurut dia, sangat sulit untuk tak menghubungkan penarikan tersebut dengan bergulirnya kasus korupsi simulator SIM yang diduga melibatkan mantan Kepala Korps Lalu Lintas, Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Terlebih, surat penarikan itu dikirimkan bersamaan dengan penahanan Djoko di Rumah Tahanan Guntur di Manggarai, Jakarta Selatan, Senin, 3 Desember 2012 lalu.
"Momentumnya pas. Ditambah lagi penarikan itu akan menunjukkan bahwa polisi itu superior," tutur Oce ketika dihubungi Tempo, Rabu, 5 Desember 2012. Dia juga merujuk pada penarikan penyidik jilid pertama yang dilakukan tak lama setelah KPK menggeledah markas Korps Lalu Lintas.
Oce menilai Polisi semestinya memahami penarikan penyidik itu merupakan masalah sensitif yang dapat memperpanjang konflik antara kepolisian dan KPK. "Kinerja KPK itu kan sangat tergantung pada kinerja penyidik," tuturnya.
Apalagi nama Komisaris Polisi Novel Baswedan yang menjadi ketua tim penyidik kasusu simulator SIM masuk dalam daftar tersebut. Sebelumnya, sembilan dari 13 penyidik yang tidak diperpanjang masa tugasnya itu diketahui telah mengajukan permintaan alih status menjadi penyidik tetap KPK. Penarikan ini menjadi tahap kedua yang dilakukan kepolisian.
Pada 14 September 2012, polisi juga menarik 20 penyidik dengan alasan masa tugas yang sudah berakhir. Padahal 12 penyidik diantaranya baru bertugas di KPK selama setahun.
ANGGRITA DESYANI
Berita terpopuler lainnya:
Rumor Nikah 2 Bulan Aceng-Shinta Jadi Omongan
Tujuh Kasus Korupsi Pembelit Bupati Aceng
Mabes Polri Akui Tarik Novel Baswedan
Keluarga Fany Cabut Gugatan Terhadap Bupati Aceng
Tak Penuhi UMP, Pengusaha Ini Dipenjara